Tahlilan dan Pancasila: Spiritualitas Islam dalam Bingkai Keindonesiaan

Tahlilan dan Pancasila: Spiritualitas Islam dalam Bingkai Keindonesiaan

Share :

Tahlilan dan Pancasila: Spiritualitas Islam dalam Bingkai Keindonesiaan

Oleh: Prof. Dr. KH. Moh. Mukri, M.Ag.
(Ketua Umum MUI Provinsi Lampung)

Dalam kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai keislaman yang membumi mampu bersinergi dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Salah satu tradisi yang lahir dan tumbuh dalam ruang interaksi antara Islam dan budaya lokal adalah tahlilan.

Meski tidak disebut secara tekstual dalam al-Qur’an maupun Hadits, tahlilan merupakan salah satu bentuk ekspresi keislaman yang otentik di Nusantara, sebuah praktik spiritual dan sosial yang mencerminkan harmoni antara agama dan budaya, antara tauhid dan kemanusiaan.

Secara etimologis, tahlil berasal dari kalimat tauhid La ilaha illallah, inti ajaran Islam yang mengesakan Allah SWT. Dalam praktiknya, tahlilan adalah rangkaian baca’an zikir, do’a, serta surat-surat pendek dari al-Qur’an seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, serta Yaasiin yang dilantunkan secara berjama’ah untuk mendoakan orang yang telah wafat.

Biasanya dilakukan pada malam hari pertama, ketiga, ketujuh, ke-emlat puluh, keseratus, hingga keseribu pasca wafatnya seseorang. Bukan hanya saat tertimpa musibah, Tahlilan juga dilakukan sebagai ikhtiar menujukkan syukur atas nikmat dan capaian yang telah diraih.

Namun lebih dari itu, tahlilan adalah simbol spiritualitas sosial. Ia menjadi ruang bagi umat untuk merenung tentang kematian, membangun solidaritas dengan keluarga yang ditinggalkan, serta mempererat tali silaturahim antarwarga. Makanan yang disediakan dan doa yang dipanjatkan bersama menggambarkan nilai gotong royong dan kepedulian sosial yang khas Indonesia.

Akar Budaya dan Legitimasi Syariat

Tahlilan bukanlah warisan luar, melainkan hasil akulturasi Islam dan budaya lokal yang dibingkai dalam semangat dakwah rahmatan lil ‘alamin. Walisongo seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang adalah contoh ulama yang tidak menolak budaya, melainkan meluruskan dan mengislamkannya secara hikmah dan bertahap.

Maka, tahlilan lahir dari metode majlis dzikir dalam tasawuf yang diadopsi oleh masyarakat secara kultural. Tahlilan merupakan manifestasi dakwah Wali Songo yang tetap mempertahankan tradisi sekaligus mewarnai dengan nuasa islami. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih:
al-muhafadhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik)

Dalam kajian Ushul Fiqh, tahlilan mendapat pijakan dari prinsip maslahah mursalah (kemaslahatan umum) dan ‘urf shahih (tradisi baik yang tidak bertentangan dengan syariat). Maka menolaknya secara mutlak hanya karena tidak ada contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW, adalah bentuk pendekatan tekstual yang mengabaikan realitas sosial dan tujuan syariat.

Tahlilan mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menegaskan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan yang Esa, dan kehidupan berbangsa serta bernegara harus dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan. Pengamalan sila ini tercermin dalam kehidupan spiritual masyarakat, termasuk dalam bentuk ibadah dan pengakuan atas keesaan Tuhan.

Kalimat La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah”), sebagai inti Tahlilan adalah sebuah ungkapan tauhid (keesaan Tuhan) yang paling mendasar dalam Islam. Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, tahlilan sering dilakukan sebagai bentuk dzikir bersama, terutama saat memperingati kematian seseorang.

Tahlilan bukan sekadar tradisi, melainkan merupakan bentuk ibadah karena berisi dzikir, doa, dan pembacaan ayat-ayat suci yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam konteks Pancasila, tahlilan mencerminkan pengamalan sila pertama karena mengandung pengakuan dan penguatan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tahlilan juga menumbuhkan kesadaran spiritual dalam kehidupan masyarakat sekaligus menjadi sarana mempererat silaturahmi dan kerukunan, yang juga dilandasi oleh nilai-nilai religius.

Dengan demikian, kegiatan tahlilan, khususnya pengucapan kalimat La ilaha illallah, adalah wujud nyata dari pelaksanaan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Tradisi tahlilan, yang sering dilakukan untuk mendoakan orang yang telah wafat, mencerminkan pengamalan sila kedua Pancasila. Nilai-nilai yang tercermin antara lain sebagai wujud empati dan kepedulian Sosial.

Kehadiran masyarakat dalam acara tahlilan menandakan adanya rasa empati yang mendalam terhadap keluarga yang sedang berduka. Tanpa diundang secara formal, orang-orang datang sebagai bentuk solidaritas. Mereka berbagi kesedihan, ikut mendoakan, dan memberikan penguatan moral kepada keluarga almarhum.

Tahlilan menunjukkan penghargaan terhadap kehidupan dan kematian seseorang. Mendoakan orang yang telah meninggal adalah bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, terlepas dari status sosialnya. Ini mencerminkan sikap beradab dalam memandang kehidupan manusia sebagai sesuatu yang suci dan bernilai.

Dalam tahlilan, tidak ada pembeda antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat. Semua duduk bersama, berdoa bersama, dan makan bersama. Ini menunjukkan nilai persamaan derajat serta semangat kebersamaan yang menghapus sekat-sekat sosial.

Kehadiran masyarakat dalam tahlilan bukan karena imbalan, melainkan dilandasi oleh ketulusan hati. Mereka datang karena rasa kasih sayang, kepedulian, dan penghormatan kepada almarhum maupun keluarganya. Sikap ini selaras dengan prinsip kemanusiaan yang tulus dan adil.

3. Persatuan Indonesia

Dalam praktik sosial-keagamaan di Indonesia, tahlilan tidak hanya dimaknai sebagai ritual keagamaan umat Islam, melainkan juga sebagai ajang mempererat ikatan sosial antarwarga.

Tahlilan kerap dilaksanakan di lingkungan masyarakat ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, terutama pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan seterusnya. Acara ini secara alami menghadirkan berbagai elemen masyarakat, dari latar belakang ekonomi, usia, hingga tingkat pendidikan yang beragam. Semua duduk bersama, berdoa, menyimak tausiyah, dan menikmati hidangan yang disajikan tuan rumah.

Menariknya, dalam banyak kasus di wilayah plural seperti pedesaan di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, warga non-Muslim juga menunjukkan penghormatan terhadap acara tahlilan.

Mereka mungkin tidak ikut dalam doa bersama, tetapi hadir untuk menyampaikan bela sungkawa, membantu persiapan acara, atau turut menjaga ketertiban lingkungan selama acara berlangsung. Ini menunjukkan adanya pengakuan kultural dan rasa saling menghormati antarumat beragama.

Dengan demikian, tahlilan menjadi semacam “jembatan kultural”—sebuah ruang sosial yang melampaui batas-batas identitas agama dan budaya. Tradisi ini mencerminkan semangat Persatuan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam sila ketiga Pancasila.

Bukan hanya memperkuat solidaritas internal umat Islam, tetapi juga membangun kohesi sosial lintas keyakinan, yang memperkokoh kehidupan bermasyarakat di tengah keberagaman.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Dalam pelaksanaan tahlilan, biasanya ada seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat (seperti ustaz, imam masjid, atau sesepuh kampung) yang berperan sebagai pemimpin doa dan pelaksana kegiatan.

Pemimpin ini tidak hanya memimpin secara teknis, tetapi juga memberikan keteladanan dalam nilai-nilai keislaman, kebersamaan, dan solidaritas sosial. Hal ini mencerminkan prinsip kepemimpinan yang bijaksana dan berlandaskan nilai-nilai luhur, sebagaimana ditekankan dalam sila keempat.

Sebelum pelaksanaan tahlilan, warga atau keluarga yang berduka biasanya mengadakan musyawarah untuk menentukan waktu, tempat, bentuk kegiatan, serta pembagian tugas seperti siapa yang membaca doa, menyediakan konsumsi, atau mengurus logistik lainnya.

Musyawarah ini menunjukkan praktik demokrasi yang mengedepankan hikmat dan mufakat, bukan keputusan sepihak, melainkan hasil kesepakatan bersama yang mencerminkan semangat kebersamaan.

Dalam masyarakat, tidak semua warga terlibat secara langsung dalam perencanaan. Biasanya ada perwakilan dari keluarga, RT, pengurus masjid, atau kelompok pengajian yang ditunjuk untuk menyampaikan keputusan, menyusun susunan acara, atau menyampaikan undangan kepada warga.

Bentuk perwakilan ini memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang dipercaya mewakili aspirasi bersama, sejalan dengan prinsip perwakilan dalam sistem demokrasi Pancasila.

Tradisi tahlilan tidak hanya merupakan kegiatan keagamaan, tetapi juga mencerminkan praktik nyata dari sila keempat Pancasila. Melalui kepemimpinan yang bijak, musyawarah yang mencerminkan kebersamaan, dan perwakilan yang dipercaya, masyarakat menjalankan nilai-nilai demokrasi secara kontekstual dalam budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal seperti tahlilan memiliki kontribusi penting dalam memperkuat demokrasi Pancasila di tingkat akar rumput.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Tahlilan merupakan kegiatan yang menyatukan semua kalangan masyarakat, tanpa membedakan status ekonomi, pendidikan, jabatan, atau latar belakang lainnya. Baik orang kaya maupun yang kurang mampu duduk bersama di tempat yang sama, membaca doa dengan niat yang sama, dan menikmati hidangan yang sama.

Tidak ada kursi khusus, makanan spesial, atau perlakuan istimewa—semuanya dipersatukan dalam kesederhanaan dan kebersamaan. Hal ini mencerminkan nilai keadilan sosial, di mana setiap orang diperlakukan setara dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu ciri khas dalam tahlilan adalah pembagian berkat atau makanan yang diberikan kepada para jamaah. Makanan ini bukan hanya simbol rasa syukur dan penghormatan kepada yang telah wafat, tetapi juga menjadi bentuk sedekah kepada masyarakat.

Dalam konteks ini orang kaya dan miskin menerima makanan yang sama, tanpa perbedaan. Makanan dibagikan tanpa pamrih, dengan semangat gotong royong dan saling berbagi. Tradisi ini membantu menciptakan rasa cukup dan kebahagiaan bersama, meski sederhana.

Pembagian berkat makanan dalam tahlilan menjadi praktik nyata dari distribusi keadilan dalam bentuk yang paling manusiawi dan penuh empati.

Terlepas dari fakta muatan luhur dalam tahlilan, sebagian kelompok yang menolak tahlilan sering kali berpijak pada pendekatan fikih yang sempit dan rigid. Padahal, semangat Islam bukan hanya pada bentuk, tetapi pada esensi: menebar rahmat, memperkuat ukhuwah, dan menjaga harmoni.

Tahlilan adalah warisan Islam Nusantara yang bukan hanya sah secara syariat, tetapi juga strategis dalam memperkuat keindonesiaan.

Jika kita berkomitmen pada Pancasila sebagai dasar negara, maka kita juga harus menerima keberagaman ekspresi keislaman yang tumbuh dari akar budaya bangsa. Tahlilan adalah contoh nyata bahwa agama dan ideologi negara tidak perlu dipertentangkan, melainkan dapat dan harus bersinergi.

Tahlilan bukanlah sekadar tradisi, melainkan ekspresi spiritual, sosial, dan kultural yang memperkuat jati diri bangsa. Ia menjembatani nilai-nilai Islam dengan keindonesiaan, menyatukan tauhid dengan gotong royong, dan meneguhkan bahwa Islam yang hidup di bumi Nusantara adalah Islam yang ramah, damai, dan berpancasila.
Menjaga tahlilan adalah menjaga ruh bangsa sebuah warisan luhur yang menyatukan spiritualitas dengan kebangsaan dalam bingkai Pancasila.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *