Tahqiqul Manath, Zakat Mal Hasil Bumi/Pertanian
Oleh Abdul Aziz, S.Pd, MH
(Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al Baqarah : 267)
Hasil bumi/pertanian terjemahan dari kata Al Zuru’, satu dari sekian jenis harta kekayaan yang terbebani secara imperatif agar dikeluarkan zakatnya, walau masih ikhtilaf seputar alasan hukumnya (illatnya) dan ruang lingkup hasil bumi/pertaniannya. Perbedaan pada illat ini membawa konsekuensi pada perbedaan dalam menentukan hasil bumi/pertanian apa saja yang terbebani pungutan zakat.
Tahqiqul Manath adalah sebuah tawaran metodologis untuk meneliti kembali secara tajam dan komprehensif agar mampu menangkap substansi – hakiki sebuah illat, Syekh Rasyid Ridla dalam Tafsir Al Qur’an Al Hakim (Al Manar) mendefinisikan Al Zuru’ sebagai tumbuhan yang ditanam manusia, mencakup seluruh tumbuhan yang ditanam, baik berupa makanan pokok seperti biji – bijian atau buah – buahan seperti kurma dan anggur. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap tanaman yang ditumbuhkan bumi, baik berupa makanan atau lainnya wajib dikenai pungutan zakat.
Perbedaan pendapat terjadi pada jenis apa saja hasil bumi yang terbebani pungutan zakat, perbedaan ini muncul karena perbedaan illat (alasan hukum), illat secara terminologis adalah sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, yang kemudian saya sederhanakan menjadi “alasan hukum”, illat hasil bumi yang terbebani pungutan zakat adalah jenis makanan pokok yang merupakan hasil budidaya manusia, jelas pendapat ini merefer hadis Nabi Muhammad SAW yang hanya memungut zakat dari hinthah, sya’ir, tamar dan zabib. Apakah betul illatnya karena makanan pokok pada saat itu, atau karena bernilai ekonomi sehingga menjadi penopang hidup sehari – hari.
Ketika hanya sebatas makanan pokok, dalam konteks Indonesia yang terbebani pungutan zakat, berarti hanya gabah, beras, jagung, sagu, singkong, ubi dan pisang. Lebih spesifik lagi, dan ini yang menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia hanyak mengeluarkan zakat mal hasil bumi dari beras dan jagung saja. Bagaimana dengan hasil bumi berupa tebu, porang, kapulaga, cengkeh, teh, kakau, kopi, tembakau, kedelai, bawang, buah naga, semangka, melon, durian, kelapa, sawit dan lain sebagainya, dan seterusnya, yang hasilnya sering melebihi dari padi dan jagung, artinya lebih bernilai ekonomi.
Ibnu Arabi memberikan penjelasan bahwa makanan itu merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia, maka dengan makanan tersebut, manusia dapat membangun suatu kehidupan dan menyempurnakannya, oleh karena itu jangan lupa mengeluarkan hak – haknya. Ibu Arabi menggunakan term “dengan makanan tersebut manusia dapat membangun kehidupannya”, artinya sebagai penopang kehidupan manusia. Kalau ini yang dijadikan illat-nya, maka seluruh hasil bumi/pertanian yang bernilai ekonomi menjadi terbebani oleh pungutan zakat mal.
Kesimpulannya, Al Zuru’ adalah semua hasil bumi/pertanian yang merupakan tanaman produktif yang mempunyai nilai ekonomi terbebani oleh pungutan zakat mal karena hasil bumi/pertanian tersebut sebagai penopang kehidupan manusia (illat hukumnya). Wallahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab