DERADIKALISASI KONTEN MEDIA SOSIAL
Oleh: Imam Mustofa
(Alumni Pondok Pesantren UII)
Media sosial di satu sisi bisa menjadi perekat persatuan dan kesatuan, penguat pilar-pilar perdamaian peneguh ikatan persaudaraan, bahkan ia merupakan sarana yang sangat efektif untuk menjalin dialog masyarakat jagad maya. Namun, di sisi lain ia dapat menjadi sarana untuk mengobarkan api kebencian, bisa menjadi pemacu hembusan angin permusuhan yang sewaktu-waktu bisa menjadi badai perselisihan dan bahkan konflik sosial. Hal ini tergantung konten apa yang ditapilkan di media sosial oleh penggunanya.
Konflik sosial yang sangat rentan adalah konflik yang berlatar belakang sentimen agama, termasuk paham keagamaan. Teks dan ajaran agama yang dinterpretasikan secara tekstual, atomistik tidak jarang akan menimbulkan pemahaman yang radikal, bahkan akan bermetemoforsa menjadi aksi teror. Pemahaman radikal ini akan mudah menyebar bila disebarkan melalui media sosial.
Berbagai konten radikalisasi teks dan pemahaman agama di media sosial menjadi ancaman bagi keharmonisan kehidupan sosial masyarakat di jagad nyata. Kecenderngan ini lah yang akhir-akhir ini terjadi, sampai-sampai pemerintah melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dianggap menebar kebencian berlatar belakang sentimen agama.
Video ceramah agama dan dakwah dengan model menebar kebencian dan cacian, konten berita provokatif, opini-opini liar yang mengedepankan agama sebagai sarana untuk memukul daripada sarana untuk merangkul terasa sesak menjejali media sosial. Teks agama dijadikan justifikasi untuk membenci daripada untuk mencintai, teks agama lebih dijadikan jubah untuk memecah umat daripada menyatukan.
Agama lebih dijadikan wahana untuk menunjukkan perbedaan daripada menutupi perbedaan dengan ajaran yang mengedepankan kesamaan cita-cita dan perjuangan menegakkan nilai-nilai universal, seperti perdamaian, keadilan, kesejahteraan dalam bingkai kebersamaan. Agama dijadikan sebagi pisau yang mencabik kerekatan kain persaudaraan daripada sebagi jarum yang merajut dan menutup lubang-lubang kesalah pahaman dan perbedaan. Inilah sebenarnya bagian dari radikalisasi pemahaman agama.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu deradikalisasi konten media sosial. Perlu tindakan pencegahan provokasi penyebaran kebencian dan permusuhan antar umat beragama di media sosial. Selain itu, media sosial harus lebih banyak diisi konten-konten yang moderat. Konten opini dan wacana yang menghargai perbedaan, mengedepankan persaudaraan, persatuan. Konten-konten yang tidak provokatif dan menimbulkan kecurigaan, keresahan dan kebencian.
Deradikalisasi pada dasarnya merupakan proses untuk meninggalkan pandangan dunia radikal-ekstrimis dan menyimpulkan bahwa ekstrimisme dan tindak kekerasan tidak bisa digunakan untuk mempengaruhi perubahan sosial (Rabasa: 2010). Deradikalisasi ini bertujuan untk menetralisir ideologi radikal para fundamentalis yang menyebarkan paham radikal dan melakukan aksi teror (Saba Noor: 2009). Namun demikian, dalam konteks deradikalisasi media sosial, deradikalisasi dimaknai sebagai upaya untuk meminimalisir konten-konten provokatif dalam media sosial, ksusunya konten yang menggunakan isu-isu agama yang berbasis paham keagamaan.
Deradikalisasi media sosial bisa menjadi formula baru dalam rangka menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial. Hal ini tidak lepas dari semakin menguatya peran media sosial dalam kehidupan sosial masyarakat. Upaya deradikalisasi perlu merambah media sosial online karena bisa menjadi sarana efektif dalam menyebarkan wacana dan opini. Bahkan, diantara langkah Kementerian Luar Negeri Algeria dalam melakukan deradikalisasi adalah dengan cara melakukan pencegahan penggunaan media elektronik, dan terutama media yang terkait dengan teknologi baru, untuk memuji terorisme.
Pendekatan yang perlu digunakan untuk deradikalisasi ini antara lain adalah pendekatan agama. Pemahaman Agama sebagai perangkat untuk mempersaudarakan, menyatukan dan mendamaikan. Pemahaman agama diletakkan pada jalur yang tepat, sebagai “perangkat ilahiyah” untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Pendekatan agama ini sangat penting untuk memberikan pemahaman agama yang tepat, kontekstual dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama kepada masyarakat. Pemahaman kontekstual dan pembumian nilai humanitas agama akan melahirkan aksi atau implementasi beragama yang jauh dari aksi-aksi kekerasan, radikalisme dan terorisme (Mustofa: 2014).
Sejujurnya, deradikalisasi lebih susah dilaksanakan dan memakan waktu yang lebih lama dari pada proses radikalisasi (Striegher: 2013), terlebih deradikalisasi konten media sosial. Namun demikian, mengingat massifnya konten-konten yang “membahayakan” persatuan bangsa dan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mau tidak mau deradikalisasi harus tetap dilakukan. Semua komponen bangsa yang masih menginginkan kehidupan sosial beragama, berbangsa dan bernegara tidak luluh lantah karena kebencian dan tindakan redikal, maka mereka bertanggung jawab untuk melakukan deradikalisasi konten media sosial.