Haji dan Qurban: Antara Ritus Ibadah dan Transformasi Sosial
Gatot Bintoro Putro Aji, M.E.Sy
Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung
Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia mengarahkan hati dan langkahnya ke dua peristiwa monumental: haji dan qurban. Keduanya adalah ibadah yang bukan hanya menjadi penanda ketaatan kepada Allah, tetapi juga simbol kesatuan umat dan kepedulian sosial. Namun, di balik kekhidmatan dan kemegahan dua ibadah ini, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: apakah haji dan qurban kita hari ini masih menyentuh makna sosial yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad?
Haji adalah puncak ibadah dalam Islam, sebuah perjalanan fisik dan spiritual menuju Baitullah. Jutaan orang berbondong-bondong, menanggalkan identitas duniawi, mengenakan pakaian ihram yang sama, dan menyatu dalam dzikir dan doa. Namun, makna haji sejatinya tidak berhenti di ritual tawaf atau lempar jumrah. Ia adalah momentum tazkiyah, penyucian diri, dan juga pernyataan bahwa manusia tidak memiliki apa-apa selain kehambaan di hadapan Allah.
Ironisnya, di banyak tempat, gelar “Haji” telah menjadi semacam status sosial. Seolah-olah seseorang baru dianggap mulia setelah menyandang predikat itu. Bahkan, di beberapa komunitas, gelar haji bisa membuka akses ekonomi dan politik yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa praktik ibadah yang seharusnya menegaskan kesetaraan justru sering kali dibajak menjadi alat pembeda sosial.
Jika kita kembali ke esensi, haji mengajarkan solidaritas umat. Bayangkan, dalam satu waktu, jutaan manusia dari berbagai bangsa dan bahasa melakukan gerakan yang sama, dengan niat yang sama. Ini adalah simbol kesatuan global Islam. Tapi pertanyaannya, apakah semangat ini terbawa pulang? Apakah para hujjaj yang kembali ke tanah air menjadi agen perubahan sosial, atau justru kembali ke rutinitas lama yang kering makna?
Qurban pun demikian. Ibadah ini tidak berhenti pada penyembelihan hewan, melainkan simbol kesiapan seorang hamba melepaskan apa yang paling dicintai demi ketaatan kepada Allah. Qurban adalah bentuk konkret dari tauhid, mengutamakan kehendak Allah di atas ego, nafsu, dan dunia. Tapi maknanya akan berkurang jika hanya dijadikan rutinitas tahunan tanpa refleksi batin dan perenungan sosial.
Dalam konteks masyarakat modern, qurban seharusnya menjadi momentum pendistribusian keadilan. Daging yang dibagikan kepada kaum miskin bukan sekadar bantuan pangan, tetapi pernyataan bahwa umat Islam tidak boleh membiarkan kesenjangan ekonomi berlangsung terus-menerus. Sayangnya, seringkali distribusi qurban justru lebih banyak menyasar mereka yang sudah cukup, sementara yang benar-benar butuh malah terpinggirkan.
Nilai-nilai sosial dalam haji dan qurban harus diperkuat kembali. Kita butuh lebih dari sekadar keberangkatan fisik ke Mekkah atau penyembelihan hewan di masjid. Yang dibutuhkan adalah penghayatan mendalam bahwa ibadah bukan hanya tentang hubungan vertikal dengan Allah, tapi juga tanggung jawab horizontal dengan sesama manusia. Di sinilah letak transformasi sosial yang terkandung dalam kedua ibadah tersebut.
Haji bisa menjadi titik balik kehidupan seorang Muslim jika dijalani dengan niat yang benar dan kesadaran spiritual yang tinggi. Seorang haji seharusnya pulang sebagai pribadi yang lebih jujur, adil, dan peduli. Qurban pun bisa menjadi awal dari gerakan sosial jika dikemas sebagai bagian dari program pemberdayaan umat, seperti qurban produktif atau pengembangan ekonomi berbasis peternakan rakyat.
Transformasi sosial dari ibadah ini juga dapat dicapai melalui kebijakan publik. Pemerintah dan lembaga keagamaan bisa menjadikan momentum haji dan qurban untuk memperkuat solidaritas sosial. Misalnya, dengan memastikan distribusi hewan qurban menjangkau wilayah-wilayah tertinggal, atau membangun kesadaran zakat dan wakaf bersamaan dengan momen besar Dzulhijjah.
Namun demikian, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Biaya haji yang semakin tinggi dan praktik komersialisasi ibadah menjadi perhatian tersendiri. Ibadah yang mulia ini mulai terjebak dalam logika pasar. Begitu pula dengan qurban online yang kadang kehilangan ruh karena pelakunya tak tahu kapan, di mana, dan bagaimana hewan itu disembelih. Di sinilah pentingnya edukasi dan literasi keagamaan yang menyentuh makna, bukan sekadar tata cara.
Dalam sejarah Islam, ibadah tidak pernah terlepas dari misi sosial. Nabi Muhammad SAW selalu mengaitkan ibadah dengan perubahan moral masyarakat. Haji Wada’ menjadi bukti bahwa ibadah tertinggi pun berujung pada deklarasi hak asasi manusia: penghapusan riba, pengembalian amanah, dan penghormatan atas darah serta kehormatan sesama.
Kini, umat Islam harus bertanya pada diri sendiri: apakah haji dan qurban yang kita lakukan memberi dampak sosial yang nyata? Apakah mereka yang telah berhaji menjadi lebih peduli terhadap tetangganya? Apakah qurban yang disembelih benar-benar menyentuh hati yang kelaparan, atau hanya menjadi tradisi simbolik tahunan tanpa efek lanjutan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berarti menghidupkan kembali semangat profetik dalam ibadah. Ibadah yang tidak memisahkan antara spiritualitas dan sosialitas. Ibadah yang mengubah, bukan hanya menggugurkan kewajiban. Ibadah yang menjadi titik awal perubahan pribadi sekaligus pembebasan umat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Haji dan qurban adalah ladang spiritual yang luas. Di sana ada ruang kontemplasi, ruang pengorbanan, ruang solidaritas, dan ruang perjuangan. Jika dimaknai secara utuh, keduanya bisa menjadi senjata sosial yang ampuh untuk membentuk masyarakat Islam yang berkeadilan dan berperadaban.
Dari Mina hingga kampung halaman, dari Ka’bah hingga rumah tetangga kita, semangat pengorbanan dan keikhlasan harus terus menjalar. Haji dan qurban tidak boleh hanya menjadi kenangan ibadah atau album foto, tapi warisan nilai yang menggerakkan. Karena pada akhirnya, Allah tidak melihat berapa kali kita berhaji atau berapa besar hewan yang kita sembelih, tapi seberapa tulus kita mewujudkan kebaikan bagi sesama.
Jika demikian yang terjadi, maka haji dan qurban benar-benar menjadi jalan menuju keberkahan. Tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi masyarakat luas. Sebab hakikat ibadah adalah penghambaan kepada Tuhan dan pengabdian kepada sesama. Dan di sanalah letak transformasi sosial yang sejati.