Opini: Makna Hari Tasyrik dalam Perspektif Islam

Opini: Makna Hari Tasyrik dalam Perspektif Islam

Share :

Makna Hari Tasyrik dalam Perspektif Islam

Prof. Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag.
Guru Besar UIN Jurai Siwo Lampung

Hari Tasyrik tahun 1446 Hijriah yang bertepatan dengan tahun 2025 Masehi baru saja berlalu. Namun, hal itu tidak berarti kita bisa melupakannya begitu saja. Dalam lintasan sejarah Islam, hari-hari Tasyrik menyimpan pelajaran berharga bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setiap peristiwa masa lampau termasuk yang terjadi sebelum kita mampu berkarya adalah sejarah yang harus terus diingat dan dipetik hikmahnya. Dari sejarah itulah, kita belajar melangkah dengan lebih bijaksana demi menapaki masa depan yang lebih baik.

Hari Tasyrik, yang jatuh pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, merupakan lanjutan dari perayaan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah. Selama empat hari ini, umat Islam dilarang berpuasa. Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk bersyukur dan merayakan nikmat Allah dengan penuh suka cita, terutama melalui kegiatan bersama dalam menyembelih dan menikmati daging kurban, baik di masjid, mushalla, perkantoran, atau rumah masing-masing.

Secara etimologis, kata Tasyrik berasal dari bahasa Arab syarraqa, yang berarti “matahari terbit” atau “menjemur sesuatu”. Dalam literatur klasik seperti Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzur (w. 711 H), dijelaskan bahwa hari Tasyrik disebut demikian karena pada masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam menjemur daging kurban di bawah sinar matahari. Hal ini dilakukan sebagai solusi atas keterbatasan teknologi penyimpanan, agar daging dapat lebih awet dan tidak mudah membusuk.

Pendapat lain menyatakan bahwa istilah Tasyrik digunakan karena penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah matahari terbit, yakni dimulai pada 10 Dzulhijjah usai salat Id, dan boleh dilanjutkan hingga matahari terbenam pada 13 Dzulhijjah. Maka, dalam empat hari tersebut, umat Islam dianjurkan untuk menikmati makanan, khususnya daging kurban, dan dilarang berpuasa.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan hewan kurban ketika menunaikan haji.”
(HR. Bukhari, no. 1859)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyebut hari-hari ini sebagai hari raya dan saat untuk makan dan minum:

“Hari Arafah, Idul Adha, dan hari-hari Tasyrik adalah hari raya kita, umat Islam. Hari-hari tersebut adalah hari untuk makan dan minum.”
(HR. An-Nasa’i, no. 2954)

Di samping bersyukur dan bergembira, umat Islam juga dianjurkan memperbanyak amal ibadah pada hari Tasyrik, seperti berzikir, berdoa, dan tentu saja menyembelih kurban. Dzikir adalah bentuk penghambaan yang senantiasa mengingat kebesaran Allah dan mensyukuri nikmat hidup. Doa menjadi sarana spiritual untuk memperkuat iman dan taqwa serta memohon keselamatan di dunia dan akhirat. Sedangkan kurban menjadi wujud solidaritas sosial, mempererat hubungan antarmanusia, dan menyebarkan keberkahan.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Kautsar ayat 2:

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”

Kurban adalah bentuk syukur dan pendekatan diri kepada Allah. Ibadah ini tidak sekadar ritual penyembelihan, tapi juga menanamkan nilai ikhlas dan menjauhkan diri dari sifat riya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 162-163:

“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”

Ini berbeda dengan praktik orang-orang musyrik yang menyembelih hewan tanpa menyebut nama Allah. Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kurban adalah bentuk keikhlasan dan pengabdian total hanya kepada Allah SWT.

Hari Tasyrik juga memiliki makna khusus dalam ibadah haji. Bagi jamaah yang berada di Mina, hari-hari ini adalah waktu untuk melontar jumrah: al-ula, al-wustha, dan al-aqabah. Pada 10 Dzulhijjah jamaah melontar jumrah aqabah, dan pada 11-13 Dzulhijjah ketiganya dilempar secara berurutan.

Ritual ini mengingatkan kita pada peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS digoda setan dalam perjalanannya melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim melempar batu di tiga lokasi berbeda untuk mengusir setan. Akhirnya, karena ketaatannya, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba putih, sebuah keajaiban dan bukti cinta Allah kepada hamba-Nya yang taat.

Melontar jumrah adalah simbol melawan godaan setan yang terus menerus. Sementara kurban menjadi lambang ketaatan total kepada Allah. Keduanya mengajarkan kita tentang pentingnya kesabaran, keteguhan hati, dan ketakwaan.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa setiap ujian dari Allah pasti sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Kurban bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sarana untuk menumbuhkan empati, menekan ego, dan membentuk pribadi yang rendah hati serta peduli kepada sesama.

Marilah kita jadikan hari Tasyrik sebagai momentum memperdalam spiritualitas dan memperkuat ukhuwah. Kurban bukan tentang daging atau darah yang sampai kepada Allah, tetapi tentang ketakwaan dan ketulusan hati. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk istiqamah dalam berkurban setiap tahun, demi meraih ridha-Nya. Wallahu A’lam.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *