Opini: Haflah Akhirussanah dan Khataman Alfiyah Ibnu Malik: Jejak Ilmu Peradaban di Ponpes Nashihuddin

Opini: Haflah Akhirussanah dan Khataman Alfiyah Ibnu Malik: Jejak Ilmu Peradaban di Ponpes Nashihuddin

Share :

 

 

Haflah Akhirussanah dan Khataman Alfiyah Ibnu Malik: Jejak Ilmu Peradaban di Ponpes Nashihuddin
Kiai. Khabibul Muttaqin, SHI
Pengasuh PP Nashihuddin Bandar Lampung

Di tengah gemuruh zaman yang kerap mengaburkan batas antara kebijaksanaan dan kecepatan, Pondok Pesantren tetap tegak sebagai benteng peradaban. Salah satu yang tak henti menyalakan pelita ilmu itu adalah Pondok Pesantren Nashihuddin yang beralamat di Jl. Sejahtera Gg. Pesantren, Kelurahan Sumber Rejo, Sejahtera, Kemiling, Bandar Lampung. Di pesantren ini, tradisi bukan sekadar romantisme masa lalu tetapi jembatan emas menuju masa depan. Inilah yang tergambar jelas dalam acara Haflah Akhirussanah dan Khataman Alfiyah Ibnu Malik. Dua momentum sakral yang bukan hanya menghidupkan teks, tapi juga menyuburkan konteks.

Secara harfiah, haflah berarti perayaan. Namun dalam khazanah pesantren, haflah akhirussanah lebih dari sekadar acara tutup tahun. Ia adalah muara dari proses panjang pencarian ilmu, ibarat mata air yang mengalir dari ribuan doa, berjuta harapan, dan tak terhitung cucuran keringat para santri. Di dalamnya terkandung semangat syukur, refleksi, dan tekad baru.

Di Pesantren Nashihuddin, haflah bukan sekadar pentas seni atau formalitas seremonial. Ia menjadi wadah ekspresi intelektual dan spiritual santri, Pertunjukan hadrah, hingga drama pendidikan yang menggugah kesadaran, semua menjadi bukti bahwa pesantren ini mengembangkan aspek ruhani dan rasional secara berimbang.

Lebih jauh, haflah menjadi media komunikasi pesantren dengan masyarakat. Ia membuka jendela agar publik menyaksikan langsung hasil pembinaan selama satu tahun penuh. Masyarakat diajak untuk melihat bagaimana nilai-nilai keilmuan, akhlak, dan keteladanan ditanamkan secara konsisten, bukan dengan pendekatan indoktrinatif, melainkan dengan keteladanan dan pembiasaan.

Salah satu puncak haflah di Pesantren Nashihuddin adalah khataman Alfiyah Ibnu Malik. Kitab yang terdiri dari seribu dua bait syair ini adalah mahakarya gramatika Arab yang telah menjadi rujukan utama dalam memahami ilmu nahwu dan sharaf. Di pesantren, kitab ini bukan sekadar bacaan, tapi medan latihan berpikir logis, analitis, dan disiplin ilmu.

Mengkhatamkan Alfiyah bukanlah perkara ringan. Ia menandai kedewasaan intelektual seorang santri. Butuh ketekunan, konsistensi, dan bimbingan yang intens dari para guru. Maka tak heran jika para santri yang berhasil mengkhatamkan Alfiyah kerap mendapat kehormatan tersendiri. Mereka dianggap telah melewati satu gerbang penting dalam dunia keilmuan Islam klasik.

Namun khataman ini bukan hanya simbol akademik. Ia juga menjadi ritual spiritual. Ketika bait-bait syair dilantunkan, ketika sanad keilmuan dibacakan, ketika ijazah diturunkan, saat itulah ilmu dipindahkan dengan penuh keberkahan. Tidak hanya lewat teks, tetapi juga lewat doa dan restu para guru. Di sini, ilmu bukan sekadar informasi, melainkan warisan. Dan warisan itu dijaga bukan hanya dengan hafalan, tetapi dengan adab.

Dalam era modern yang seringkali meminggirkan tradisi atas nama efisiensi, pesantren justru hadir sebagai institusi yang menyeimbangkan masa lalu dan masa depan. Di Pesantren Nashihuddin, tradisi khataman dan haflah bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah bagian dari strategi kebudayaan, bagaimana sebuah lembaga pendidikan mampu membumikan nilai-nilai Islam klasik dalam konteks kekinian.

Tradisi di sini bukanlah nostalgia. Ia adalah identitas. Dalam tradisi itulah tersimpan nilai-nilai keistiqamahan, penghormatan pada guru, pemuliaan ilmu, dan kesadaran spiritual yang mendalam. Tanpa tradisi, pendidikan hanya akan menjadi transfer pengetahuan. Tapi dengan tradisi, pendidikan menjelma menjadi proses pembentukan karakter dan peradaban.

Pesantren bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah kawah candradimuka, tempat tempa jiwa. Di sinilah para santri diajarkan bukan hanya ilmu-ilmu Islam, tetapi juga nilai-nilai kehidupan. Kesederhanaan, kemandirian, solidaritas, kedisiplinan, dan kerendahan hati menjadi nilai-nilai yang diinternalisasi secara konsisten. Dalam dunia yang makin individualis, pesantren menjadi ruang kolektif yang memanusiakan manusia.

Pondok Pesantren Nashihuddin dengan segala aktivitasnya menunjukkan bahwa pesantren tidak anti kemajuan. Ia justru menjadi institusi yang paling siap dalam menjaga akar sambil menjangkau langit. Dengan tetap mengajarkan kitab-kitab klasik seperti Alfiyah, sambil membuka ruang bagi diskusi isu-isu kontemporer, pesantren ini membuktikan bahwa Islam tidak stagnan, tetapi dinamis dan transformatif.

Khataman dan haflah bukan akhir dari proses, melainkan awal dari pengabdian. Santri-santri yang telah melalui proses panjang itu tidak hanya disiapkan untuk menjadi ustadz atau kiai. Mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin, guru, akademisi, penulis, pegiat sosial, bahkan inovator. Dengan bekal ilmu yang mendalam dan karakter yang kuat, mereka dapat mengisi berbagai ruang kehidupan dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.

Di tengah krisis moral dan kebingungan arah di masyarakat modern, keberadaan santri menjadi sangat relevan. Mereka adalah generasi yang tidak hanya paham hukum, tetapi juga paham adab. Mereka tidak hanya tahu dalil, tetapi juga punya hikmah. Dan semua itu ditempa dalam proses panjang yang berpuncak pada acara seperti khataman dan haflah ini.

Di tengah hiruk pikuk dunia yang dipenuhi dengan kegaduhan dan kegelisahan, acara Haflah Akhirussanah dan Khataman Alfiyah Ibnu Malik di Pondok Pesantren Nashihuddin menjadi oase yang menenangkan. Ia menjadi penanda bahwa masih ada lembaga yang merawat ilmu dengan penuh cinta, menjaga tradisi dengan penuh hormat, dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

Dari pesantren seperti Nashihuddin inilah harapan masa depan bangsa disemaikan. Bukan dengan kekuatan materi atau popularitas semata, tetapi dengan ketulusan, ilmu yang mendalam, dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Semoga cahaya ilmu dari Pondok Pesantren Nashihuddin terus menyinari zaman. Dari bait-bait Alfiyah yang dikhatamkan hingga langkah-langkah santri yang menebar manfaat di tengah masyarakat. Karena sesungguhnya, siapa yang menjaga ilmu akan dijaga oleh ilmu itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *