Solusi Progresif Fikih Ekologi atas Tambang Nikel di Raja Ampat
Dr. Agus Hermanto, MHI
(Komisi Penelitian MUI Lampung / Penulis Buku Fikih Ekologi)
Problem lingkungan, pada akhir-akhir dekade ini kerap menjadi isu glabal, hal ini terjadi karena semakin lemahnya kepedulian manusia (sebagai Khalifah) yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan. Populasi penduduk di bumi yang semakin banyak, sehingga kerap kali memantik setiap makhluk hidup untuk mempertahankan diri sesuai komunitasnya, sehingga nilai kesalingan dalam sebuah jaringan ekosistem kerap kali terabaikan. Ditambah dengan semakin majunya teknologi yang menjadi alat bantu manusia semakin canggih, sehingga tanpa disadari manusia kerap menjadi sombong dan serakah, seolah-olah bumi dan sumberdaya alam ini adalah miliknya hingga bebas melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan hingga mengakibatkan kerusakan alam secara nyata.
Allah Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ”
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”.
Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat langsung dari tindakan dan perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan hukum Allah swt. Kerusakan ini bisa berupa bencana alam, pencemaran, atau berbagai bentuk gangguan terhadap keseimbangan alam.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa Allah akan merasakan kepada manusia sebagian dari akibat perbuatan mereka, sebagai peringatan dan pelajaran agar mereka kembali ke jalan yang benar. “Agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat dari perbuatan manusia dan bahwa ada konsekuensi atas perbuatan tersebut, agar manusia bisa kembali pada jalan yang lurus dan menjaga bumi.
Isu lingkungan di Raja Ampat meliputi eksploitasi tambang nikel di pulau-pulau tertentu yang seharusnya dilindungi. Aktivitas tambang nikel, khususnya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, dianggap merusak lingkungan dan melanggar peraturan yang ada. Merusak lingkungan bukan hanya pada sekitarnya, melainkan lebih luas bahwa bumi yang memiliki sumberdaya alam haruslah diolah sesuai kebutuhan dan dilarang untuk mengeksplorasi secara berlebihan, karena jika hal itu dilakukan akan banyak mafsadah yang muncul, baik skala lokal, nasional maupun global.
Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, terutama di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, menjadi isu utama terkait kerusakan lingkungan.
Penambangan nikel di pulau-pulau tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyatakan bahwa pulau tersebut tidak boleh ditambang. Nikel merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan, namun eksploitasi tambang nikel yang berlebihan akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti perusakan hutan, polusi air, dan gangguan ekosistem laut yang kaya. Teguran dari berbagai aktivis dari berbagai lembaga, ormas hingga masyarakat sejatinya adalah nurani fitrah yang mengharapkan kelestarian alam secara berkelanjutan, bakna sebagian dari mereka melakukan protes terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, dengan menyoroti dampak negatif yang akan terjadi dan bahkan telah terjadi bagi lingkungan.
Dalam hal ini, pemerintah adalah pemilik otoritas, sehingga Pemerintah harus mempertimbangkan pertimbangan ini secara komprehensif.
Penulis melihat dengan kacamata fikih ekologi bahwa eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, terutama di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, menjadi isu lingkungan yang serius, karena aktivitas tersebut melanggar peraturan dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pilihan untuk menghentikan sementara aktivitas tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem Raja Ampat, sebagaimana ajaran agama bahwa hukum menjaga lingkungan adalah wajib bagi penghuni bumi.