Fikih Kebersihan: Kepedulian sebagai Kunci Penanggulangan Sampah
Dr. Agus Hermanto, MHI
(Penulis Buku Fikih Kebersihan Kontemporer/Dosen UIN Raden Intan Lampung)
Kebersihan dan bersuci adalah dua konsep yang sering disamakan, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda dalam khazanah Islam. Dalam bahasa Arab, kebersihan dikenal dengan istilah al-nadzafah, sementara bersuci disebut al-thaharah. Meski keduanya berkaitan erat, thaharah lebih menekankan pada dimensi spiritual dan hukum, yaitu upaya menyucikan diri dari hadats dan najis agar sah dalam beribadah. Sementara itu, nadzafah lebih bersifat fisik, merujuk pada keadaan yang tidak ternodai oleh kotoran, namun belum tentu memenuhi syarat kesucian dalam konteks ibadah.
Dalam fikih, thaharah mencakup dua hal: kesucian dari hadats (yang mewajibkan wudhu atau mandi besar), dan penghilangan najis yang terbagi menjadi tiga kategori, yakni najis ringan (mukhafafah), sedang (mutawassitah), dan berat (mughaladzah). Sedangkan fikih sendiri secara bahasa berarti pemahaman (al-fahmu), dan secara istilah berarti ilmu yang membahas hukum-hukum syariat Islam yang bersifat praktis berdasarkan dalil-dalil yang terperinci.
Fikih bukanlah ajaran yang kaku dan membeku. Ia adalah sistem hukum yang bersifat dzanni (relatif), yang berkembang seiring dengan perubahan zaman dan kondisi. Dalam kaidah disebutkan, al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman yaitu hukum mengikuti ada atau tidaknya sebab (illat). Artinya, hukum Islam senantiasa relevan selama tetap berpijak pada kemaslahatan (kebaikan) dan menolak kemudharatan.
Dari kerangka inilah muncul satu cabang kajian penting: fikih kebersihan (fiqh al-nadzafah). Ini adalah elaborasi hukum syariat yang bersifat praktis, berdasarkan dalil dan argumentasi logis, mengenai pentingnya menjaga kebersihan. Dalam perspektif fikih, kebersihan adalah bentuk kemaslahatan yang harus dijaga, sedangkan kotoran atau pencemaran adalah bentuk kemudharatan yang harus dihindari.
Fikih kebersihan mencakup dua dimensi: kebersihan internal dan eksternal. Kebersihan internal mencakup tubuh, pakaian, dan hal-hal yang melekat langsung pada diri seseorang. Sedangkan kebersihan eksternal meliputi lingkungan hidup seperti rumah, jalan, air, udara, hingga ekosistem alam yang lebih luas.
Seiring meningkatnya populasi manusia dan pesatnya perkembangan teknologi, kesadaran akan pentingnya kebersihan sering kali terabaikan. Manusia sebagai khalîfah fî al-ardh (wakil Tuhan di bumi) seharusnya bertindak sebagai penjaga dan pelindung ciptaan Tuhan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Bumi yang semula bersih kini menghadapi krisis kebersihan dalam berbagai bentuk seperti pencemaran air, udara, dan tanah akibat kelalaian manusia dalam menjaga amanah ekologis.
Salah satu isu paling mendesak dalam konteks kebersihan lingkungan adalah persoalan sampah. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang masif, dan kurangnya kesadaran serta sistem pengelolaan yang baik menyebabkan volume sampah terus meningkat setiap tahun. Sampah rumah tangga mendominasi, namun masih banyak yang tidak dipilah dan langsung dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa pengolahan yang memadai.
TPA di berbagai daerah mengalami overkapasitas, sebagian besar menggunakan sistem terbuka yang mengancam kesehatan dan mencemari lingkungan. Pencemaran air tanah, pelepasan gas metana ke udara, serta bau busuk adalah efek nyata dari pengelolaan sampah yang buruk. Rendahnya praktik reduce, reuse, recycle (3R) memperparah keadaan.
Menurut data World Bank, dunia menghasilkan lebih dari 2 miliar ton sampah padat setiap tahunnya. Indonesia menyumbang sekitar 67 juta ton, dengan sekitar 60 persen berasal dari rumah tangga. Sayangnya, hanya 7 persen dari total sampah tersebut yang berhasil didaur ulang, sisanya dibakar atau ditimbun, menyumbang pencemaran lingkungan yang mengancam masa depan.
Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai regulasi, di antaranya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 yang menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen pada tahun 2025. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat, regulasi ini akan sulit terwujud.
Di sinilah urgensi fikih kebersihan menemukan pijakannya. Fikih kebersihan mengajarkan bahwa menjaga kebersihan bukan hanya tuntutan fisik atau kesehatan semata, tetapi juga merupakan ibadah dan wujud ketakwaan. Dalam Islam, menjaga kebersihan diri, pakaian, makanan, dan tempat ibadah adalah bagian dari laku religius sehari-hari yang membentuk pribadi sehat, lingkungan bersih, dan masyarakat beradab.
Kepedulian terhadap kebersihan bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata seperti memilah sampah, mengurangi penggunaan plastik, menjaga kebersihan lingkungan, serta mendukung program pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Fikih kebersihan memberi dasar teologis dan moral bahwa tanggung jawab terhadap kebersihan adalah bagian dari iman dan etika sosial.
Krisis kebersihan adalah cerminan dari krisis kepedulian. Islam telah memberi panduan yang jelas melalui fikih kebersihan agar umatnya hidup bersih, sehat, dan bertanggung jawab. Menjadikan kebersihan sebagai bagian dari budaya dan ibadah adalah langkah penting dalam mengatasi persoalan sampah dan pencemaran lingkungan.
Maka, solusi dari krisis kebersihan bukan semata soal teknologi atau regulasi, tetapi juga kepedulian. Dan kepedulian itu, dalam perspektif Islam, adalah cerminan dari kesalehan sosial. Fikih kebersihan bukan sekadar wacana hukum, tapi panggilan nurani untuk menyelamatkan bumi sebagai rumah bersama yang kita warisi dan akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang.