Gagasan Fikih Ekologi Dr. Agus Hermanto, MHI Menyoal Raja Ampat dan Nikel
Rudi Santoso
(Komisi Infokom MUI Lampung)
Raja Ampat adalah anugerah agung yang Tuhan titipkan kepada manusia. Gugusan pulau pulau tropis yang menyimpan kekayaan biodiversitas laut tertinggi di dunia itu bukan hanya kebanggaan nasional tetapi juga representasi nyata dari tanda tanda kebesaran Ilahi di muka bumi. Namun di balik keindahannya yang memesona Raja Ampat kini menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi sampah wisata dan tekanan pariwisata yang tak terkendali.
Salah satu isu yang kini sangat sensitif dan menjadi perhatian bersama adalah penambangan nikel di kawasan Raja Ampat. Meskipun aktivitas penambangan ini masih sangat terbatas potensi kerusakannya menjadi kekhawatiran besar. Raja Ampat adalah kawasan konservasi dan destinasi pariwisata yang penting dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Pemerintah dan aktivis lingkungan terus mengawasi agar kegiatan ekstraktif seperti penambangan nikel tidak merusak ekosistem yang rapuh dan kaya ini.
Dalam konteks ini gagasan fikih ekologi yang digagas oleh Dr. Agus Hermanto, MHI menjadi tawaran pemikiran yang sangat relevan. Beliau menekankan bahwa alam adalah amanah ilahiyah sebuah titipan dari Allah yang harus dijaga bukan dieksploitasi. Manusia menurutnya bukan pemilik bumi melainkan khalifah fil ardh wakil Allah yang bertanggung jawab secara etis dan spiritual terhadap kelestarian ciptaanNya. Dalam bukunya Fikih Ekologi yang diterbitkan pada tahun 2021 beliau menegaskan kerusakan lingkungan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah dan pengingkaran terhadap fungsi kekhalifahan.
Konsep ini menggeser pandangan instrumentalistik terhadap alam yang sering menjadikan lingkungan sebagai objek untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi. Dalam fikih ekologi alam justru diposisikan sebagai mitra spiritual manusia. Menjaga laut hutan udara dan seluruh ekosistem bukan semata mata tindakan ekologis tetapi juga bentuk pengabdian religius. Maka merawat Raja Ampat bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis lingkungan tetapi juga bagian dari implementasi ajaran Islam.
Dr. Agus Hermanto, MHI memperkenalkan fikih ekologi sebagai cabang fikih yang menjawab persoalan lingkungan secara holistik dengan pendekatan maqasid alshariah atau tujuan utama syariah. Ia menjabarkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga jiwa hifzh alnafs karena lingkungan yang rusak mengancam kesehatan dan kehidupan manusia. Pelestarian sumber daya termasuk menjaga harta hifzh almal dan relasi ekologis antar makhluk mencerminkan pentingnya jiwar hubungan bertetangga yang harmonis.
Lebih dari itu Dr Agus Hermnato, MHI melihat bahwa krisis lingkungan sejatinya adalah krisis moral dan spiritual manusia. Akar dari kerusakan alam menurutnya terletak pada keserakahan gaya hidup konsumtif dan pemutusan hubungan manusia dengan nilai nilai spiritualitas. Oleh karena itu solusi terhadap krisis ini tidak cukup melalui pendekatan teknokratis semata melainkan memerlukan reformasi spiritual yang mengubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Ia mengusulkan pendekatan dakwah yang lebih kuat dan menyentuh akar kesadaran umat agar menjaga alam menjadi bagian dari kesalehan individu dan sosial.
Dalam konteks Raja Ampat pendekatan ini bisa dikonkretkan dalam berbagai bentuk seperti pengembangan wisata religi ekologis pelibatan tokoh agama dalam pendidikan lingkungan serta penyusunan regulasi yang mempertimbangkan nilai nilai syariah dalam pelestarian sumber daya laut dan daratan. Pesantren dan institusi keagamaan juga dapat berperan aktif dalam membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga ekosistem bukan hanya pilihan moral tetapi kewajiban syar’i.
Pemikiran Dr Agus Hermanto memberi jalan tengah yang penting antara agama dan ekologi antara teks dan konteks antara spiritualitas dan keberlanjutan. Islam dalam pandangannya adalah agama yang ramah lingkungan dan menjadikan pelestarian alam sebagai bagian integral dari ajaran dan praktik keimanan.
Merawat Raja Ampat adalah wujud syukur atas karunia Tuhan. Namun dalam bingkai fikih ekologi itu lebih dari sekadar tindakan konservasi. Itu adalah cara umat Islam menunaikan amanah ilahiyah mengaktualkan maqasid syariah dan membangun peradaban yang selaras dengan kehendak Sang Pencipta.