Opini: Makna Hari Raya Idul Adha: Belajar Taat dan Ikhlas dari Ibrahim dan Ismail

Opini: Makna Hari Raya Idul Adha: Belajar Taat dan Ikhlas dari Ibrahim dan Ismail

Share :

Makna Hari Raya Idul Adha: Belajar Taat dan Ikhlas dari Ibrahim dan Ismail
Kiai. Khabibul Muttaqin, SHI
Pengasuh PP Nashihuddin Bandar Lampung

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar momentum tahunan yang identik dengan penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, Idul Adha adalah panggilan spiritual untuk merenungkan makna ketaatan dan keikhlasan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dua tokoh besar ini tidak hanya menjadi simbol ritual, tetapi menjadi cermin nilai-nilai luhur yang patut dijadikan pedoman hidup di tengah kompleksitas zaman modern.

Dalam Al-Qur’an, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diabadikan sebagai bentuk puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika Ibrahim mendapat perintah dalam mimpi untuk menyembelih anaknya, ia tidak membantah. Ia mengkomunikasikan perintah itu kepada Ismail, yang dengan penuh ketulusan menjawab, “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102). Dialog ini menggambarkan betapa dalamnya iman, serta sejauh mana keikhlasan mampu melampaui naluri manusiawi yang paling dasar, yaitu cinta seorang ayah kepada anaknya, dan ketakutan seorang anak kepada kematian.

Makna utama yang dapat dipetik dari kisah tersebut adalah bahwa ketaatan kepada Allah tidak selalu mudah dan nyaman. Ia menuntut pengorbanan, keberanian, dan kesiapan untuk melepaskan apa yang paling dicintai. Namun, justru dalam pengorbanan itu, letak keindahan iman seseorang diuji. Hal ini sejalan dengan pandangan sosiolog Emile Durkheim yang menyebutkan bahwa ritus agama memiliki fungsi kolektif dan simbolik, yakni memperkuat solidaritas sosial serta menanamkan nilai yang melampaui kepentingan individual.

Di sisi lain, keikhlasan Ismail menunjukkan bahwa pengorbanan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga spiritual. Dalam konteks ini, keikhlasan adalah bentuk kebebasan tertinggi seorang manusia yang mampu menyerahkan egonya kepada kehendak Ilahi. Seorang teolog kontemporer, Fazlur Rahman, menyatakan bahwa keikhlasan bukan sekadar pasrah, melainkan keterlibatan sadar dalam proyek ketuhanan yang lebih besar: mewujudkan nilai-nilai ilahiah dalam realitas dunia.

Idul Adha juga mengajarkan bahwa pengorbanan bukan hanya tentang menunaikan kewajiban ritual, tetapi tentang membangun empati sosial dan semangat berbagi. Daging hewan kurban yang dibagikan kepada masyarakat menjadi simbol nyata dari solidaritas dan kepedulian. Menurut syariat Islam, penerima daging kurban tidak terbatas pada fakir miskin saja. Daging tersebut dapat diberikan kepada kerabat, tetangga, sahabat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), bahkan non-Muslim, selama pemberian itu dilakukan dalam semangat kebaikan dan kemanusiaan.

Pembagian daging kurban secara umum dianjurkan dalam tiga bagian: sepertiga untuk orang yang berkurban dan keluarganya, sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir miskin, dan sepertiga lagi untuk diberikan sebagai hadiah kepada kerabat atau siapa pun yang dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa Idul Adha tidak hanya menguatkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal antara sesama manusia. Inilah nilai etis-sosial dari ibadah kurban yang patut digali secara lebih mendalam.

Maka, memaknai Idul Adha secara ilmiah bukan hanya melihatnya dari sisi ritualistik, tetapi sebagai sistem nilai yang membentuk etos hidup seorang Muslim: taat dalam menjalani perintah-Nya, ikhlas dalam menghadapi ujian-Nya, dan peduli terhadap sesama dalam berbagi nikmat-Nya.

Di tengah arus individualisme dan hedonisme masa kini, semangat Ibrahim dan Ismail memberikan pelajaran bahwa nilai hidup tertinggi bukanlah dalam memiliki, melainkan dalam memberi; bukan pada kenyamanan, melainkan pada pengorbanan bukan dalam mengejar dunia, melainkan dalam tunduk kepada Yang Maha Abadi. Idul Adha, pada akhirnya, adalah hari raya yang mengajak manusia untuk kembali pada fitrahnya sebagai makhluk yang taat dan ikhlas kepada Sang Pencipta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *