Cinta yang Teruji, Renungan Idul Adha dari Ibrahim dan Ismail
Rita Zaharah
Pengurus MUI Lampung/Dosen DLB UIN Raden Intan Lampung
Hari Raya Idul Adha bukan sekadar perayaan yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan semata, melainkan momen sakral yang mengajak kita merenungkan makna cinta dalam bentuk pengorbanan terdalam. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyuguhkan sebuah narasi cinta yang indah sekaligus penuh kesedihan cinta yang diuji hingga mencapai titik paling getir.
Bayangkan seorang ayah, Nabi Ibrahim, yang diuji dengan perintah Allah untuk mengorbankan anak tercintanya. Dengan segala kasih sayang dan harapan yang menggebu, Ibrahim melangkah di jalan penuh luka, menahan rasa takut dan duka yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Ini bukan ujian biasa; ini adalah tantangan menerima takdir yang mengoyak hati demi ketaatan kepada Sang Pencipta. Cinta seorang ayah tidak hanya sebatas melindungi dan membahagiakan anaknya, tetapi juga rela melepaskan demi ridha Allah.
Di sisi lain, Nabi Ismail yang masih muda harus menelan pahitnya perpisahan dan menguatkan hati untuk menerima takdir yang tampak kejam. Keikhlasan Ismail mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya soal mengejar kebahagiaan bersama, melainkan keberanian menanggung kesakitan demi ridha Allah. Ia menunjukkan kedewasaan spiritual yang menempatkan kehendak Tuhan di atas segalanya, bahkan di atas cinta keluarga.
Secara psikologis, pengorbanan ini meninggalkan luka batin yang mendalam. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan pergulatan hati seorang ayah dan anak, antara kasih sayang dan ketaatan. Namun di balik kesedihan itu tersimpan kekuatan cinta yang tak tergoyahkan oleh ujian. Cinta yang tidak egois, yang rela melepas apa yang paling dicintai demi kebaikan yang lebih besar. Dalam kehidupan sehari-hari, sedikit yang mampu menapaki jalan ini tanpa terjerat kesedihan dan keraguan.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa pengorbanan bukan sekadar kehilangan fisik, melainkan juga menerima luka hati dan kerinduan yang mendalam. Saat Hari Raya Idul Adha, ketika hewan kurban disembelih dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang membutuhkan, kita sebenarnya diajak menapak jejak keikhlasan Ibrahim dan Ismail. Penerima daging kurban bukan hanya mereka yang secara ekonomi kurang beruntung, tetapi juga mereka yang secara sosial dan emosional sangat membutuhkan sentuhan kasih dan kepedulian.
Secara teologis, kisah ini menyampaikan pesan mendalam bahwa cinta kepada Allah harus mengalahkan segala cinta duniawi, termasuk cinta kepada orang-orang terkasih. Ini bukan perkara mudah. Menempatkan kehendak Tuhan di atas segalanya seringkali menimbulkan luka, kehilangan, dan kesepian yang hanya bisa disembuhkan oleh iman dan keteguhan hati. Ibrahim dan Ismail mengajarkan bahwa ketaatan dan keikhlasan bukan ritual kosong, melainkan ujian batin yang menuntut pengorbanan jiwa yang tulus.
Dalam kehidupan modern, renungan ini semakin relevan. Di era yang penuh godaan dan kepentingan pribadi, pengorbanan kerap dianggap lemah atau tidak penting. Namun Hari Raya Idul Adha mengingatkan kita bahwa cinta sejati selalu diuji, bahkan dengan cara yang paling menyakitkan. Kita diajak merenung: apakah kita siap berkorban demi kebaikan bersama? Berani meletakkan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan diri sendiri? Dan mampu menjaga keikhlasan di tengah kerasnya kehidupan?
Hari Raya Idul Adha adalah panggilan untuk kembali ke dalam hati. Meneladani Ibrahim dan Ismail yang dengan air mata dan luka menunjukkan makna cinta sejati. Cinta yang tidak hanya berkata “aku sayang,” tetapi juga berani berkata “aku rela,” meski harus melepas. Ketika kita mampu menghayati cinta yang teruji ini, kita tidak hanya merayakan sebuah hari raya, tetapi juga menghidupkan nilai spiritual yang menguatkan jiwa dan mengikat tali persaudaraan antar sesama manusia.