Opini: Baru Belajar Setitik, Sudah Menghakimi Semesta

Opini: Baru Belajar Setitik, Sudah Menghakimi Semesta

Share :

Baru Belajar Setitik, Sudah Menghakimi Semesta
Rita Zaharah
Pengurus MUI Lampung/Dosen DLB UIN Raden Intan Lampung

Di tengah gelombang semangat keagamaan yang meningkat, kita menyaksikan fenomena unik sekaligus mengkhawatirkan seseorang yang baru mengenal agama sedikit, baru rutin beribadah beberapa waktu, sudah merasa paling benar, paling paham agama, dan paling layak menyalahkan orang lain.

Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan dikenal sebagai “ahli ibadah”. Shalatnya rajin, zikirnya nyaring, pakaiannya religius, tetapi lisannya ringan sekali menvonis orang lain dan merasa dirinya paling benar. Padahal, sejarah Islam mencatat, tidak sedikit kaum yang tampak sangat rajin beribadah namun menyimpang arah karena tidak dibimbing oleh ilmu yang mendalam dan hati yang jernih. Rasulullah SAW pernah bersabda tentang kaum Khawarij, mereka yang rajin ibadah namun memerangi sesama Muslim, bahwa “shalat kalian tidak sebanding dengan shalat mereka,” tetapi mereka tergelincir keluar dari jalan kebenaran sebagaimana anak panah melesat dari busurnya (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah penyakit lama dalam wajah baru, kesalehan yang tidak diiringi dengan kedalaman ilmu dan kerendahan hati. Ibadah yang seharusnya menjadi jembatan menuju Allah Swt malah berubah menjadi menara keangkuhan. Mereka menjadi hakim atas dosa orang lain, tapi lupa mengoreksi arogansi dalam diri sendiri. Seolah karena sering menangis dalam tahajud, mereka merasa berhak mencela orang lain yang belum selevel dalam ibadah.

Namun, agama tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal (hablumminallah), tetapi juga hubungan horizontal (hablumminannas). Kita bisa menangis dalam sujud malam, tetapi jika siangnya kita menyakiti hati orang lain dengan cemoohan dan tudingan, maka hakikat ibadah kita perlu dikaji kembali.

Para ulama besar dahulu dikenal bukan semata karena banyaknya rakaat ibadah, tetapi karena keluasan ilmu dan akhlak yang menginspirasi. Imam Syafi’i, misalnya, meski sangat mendalam keilmuannya, tetap berlapang dada terhadap perbedaan. Beliau berkata, “Pendapatku benar namun bisa jadi salah, pendapat orang lain salah namun bisa jadi benar.”

Inilah yang membedakan orang yang benar-benar berilmu dan benar-benar ahli ibadah. Yang satu, semakin luas ilmunya, semakin bijak menyikapi perbedaan. Yang satu lagi, semakin dalam ibadahnya, semakin rendah hati kepada sesama.

Mereka yang baru belajar satu dua istilah agama, lalu terburu-buru menyalahkan yang lain, lupa bahwa perjalanan menuju Allah Swt itu bukan sprint pendek. Ia adalah maraton panjang, di mana kerendahan hati, konsistensi, dan kasih sayang jauh lebih penting daripada sekadar penampilan luar.

Sudah saatnya kita mengingat bahwa ilmu tanpa adab bisa menyesatkan, dan ibadah tanpa ilmu bisa membawa pada kekeliruan. Mari menjadi pembelajar sejati, bukan penghukum terburu-buru. Menjadi hamba yang merunduk dalam ibadah, bukan yang mendongak untuk menyombongkan diri di hadapan manusia.

Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai berapa banyak ibadah kita dibandingkan orang lain, tetapi seberapa tulus hati kita dalam menjalani agama dan memanusiakan manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *