Opini: Menggugah Kesalehan Sosial Lewat Haji dan Qurban

Opini: Menggugah Kesalehan Sosial Lewat Haji dan Qurban

Share :

Menggugah Kesalehan Sosial Lewat Haji dan Qurban
Kiai. Khabibul Muttaqin, SHI
Pengasuh PP Nashihuddin Bandar Lampung

Setiap kali bulan Dzulhijjah datang, dua ibadah besar kembali menyapa kesadaran umat Islam: haji dan qurban. Kedua ibadah ini sering kali kita maknai sebagai puncak kepatuhan spiritual. Namun, di balik lantunan talbiyah dan deru pisau qurban, ada pesan sosial yang sering kali terabaikan. Haji dan qurban bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan sesama. Inilah momentum untuk menggugah kesalehan sosial.

Kesalehan sosial adalah wujud dari iman yang tidak berhenti di dalam masjid atau di pelataran Ka’bah. Ia menjelma dalam sikap peduli, adil, jujur, dan dermawan kepada lingkungan sekitar. Haji dan qurban, jika dilakukan dengan pemahaman mendalam, bukan hanya menjadi ritual, tapi juga pemicu transformasi sosial. Sayangnya, di tengah arus konsumerisme dan simbolisme keagamaan, makna sosial ini kerap memudar.

Ibadah haji, misalnya, seringkali lebih dilihat sebagai prestasi pribadi. Bahkan tak jarang menjadi simbol status sosial: yang sudah berhaji disegani, yang belum merasa tertinggal. Padahal, perjalanan haji mengandung nilai-nilai kesetaraan, kebersamaan, dan penghapusan sekat-sekat duniawi. Di sana, semua orang mengenakan kain ihram yang sama, berdiri di tempat yang sama, dan mengucap kalimat yang sama: “Labbaikallahumma labbaik.”

Kesederhanaan dan kesatuan dalam haji bukan tanpa maksud. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak dibedakan oleh kekayaan, warna kulit, atau jabatan. Namun, sepulang dari tanah suci, apakah nilai-nilai itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita menjadi lebih empatik kepada tetangga miskin, lebih adil dalam bekerja, atau lebih jujur dalam berbisnis? Di sinilah kesalehan sosial diuji.

Demikian pula dengan qurban. Ibadah ini adalah simbol puncak pengorbanan. Nabi Ibrahim rela “mengorbankan” anaknya demi ketaatan kepada Allah. Namun, substansi qurban bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan kesiapan untuk melepaskan ego dan berbagi kepada yang lebih membutuhkan. Sayangnya, qurban seringkali terjebak dalam seremoni tahunan tanpa semangat sosial yang nyata.

Distribusi daging qurban seharusnya menjangkau mereka yang benar-benar lapar, yang selama ini tak terdengar suaranya. Qurban bisa menjadi instrumen keadilan sosial jika dilakukan dengan penuh kesadaran. Lebih dari itu, semangat qurban bisa ditransformasikan ke dalam bentuk lain: berbagi rezeki secara rutin, membina ekonomi keluarga dhuafa, atau mendukung pendidikan anak-anak miskin.

Haji dan qurban seharusnya membentuk karakter sosial seorang Muslim. Karakter yang tidak hanya rajin ibadah ritual, tetapi juga peka terhadap penderitaan sesama. Di tengah masyarakat yang masih diliputi ketimpangan sosial, kesalehan ritual perlu digandengkan dengan kesalehan sosial agar agama tidak sekadar menjadi formalitas, tapi hadir sebagai solusi atas persoalan nyata.

Menariknya, sejarah Islam menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik dalam memadukan ibadah dan pembelaan sosial. Saat menunaikan haji wada’, beliau tidak hanya mengajarkan manasik, tetapi juga menyampaikan khutbah yang memuat prinsip-prinsip hak asasi manusia: larangan menumpahkan darah, penghapusan riba, dan penegasan hak perempuan. Ini menunjukkan bahwa haji adalah ruang penyadaran kolektif.

Jika kita menghayati semangat itu, maka ibadah tidak akan berhenti di prosesi. Ia akan menjadi kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial. Haji akan mendorong lahirnya pemimpin yang adil dan rendah hati. Qurban akan memunculkan generasi dermawan yang menolong tanpa pamrih. Kesalehan sosial bukanlah cita-cita muluk, tapi keniscayaan dalam Islam yang hidup dan membumi.

Dalam konteks kekinian, kita bisa mulai dengan langkah kecil. Misalnya, menjadikan momen qurban sebagai ajang untuk mengenal lebih dekat warga miskin di lingkungan sendiri. Atau menyelenggarakan haji mabrur bukan hanya dengan seremonial penyambutan, tapi dengan komitmen pasca-haji: membentuk komunitas peduli lingkungan, membina UMKM, atau membimbing remaja masjid.

Lebih jauh, pemerintah dan lembaga keagamaan bisa memainkan peran penting. Haji dan qurban bisa dijadikan agenda pembinaan umat secara lebih terstruktur. Edukasi tentang makna sosial ibadah harus diperkuat dalam bimbingan manasik haji maupun khutbah Idul Adha. Media juga bisa mengangkat kisah-kisah inspiratif dari para pelaku qurban atau jamaah haji yang berdampak positif di masyarakat.

Kesalehan sosial juga bisa diperkuat lewat teknologi. Aplikasi qurban online, misalnya, bukan sekadar alat transaksi, tetapi bisa dikembangkan menjadi platform pemberdayaan. Begitu pula pelaporan haji selain teknis pelayanan, juga bisa mencakup laporan perubahan sosial yang diinisiasi oleh alumni haji.

Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan, tapi juga hubungan dengan sesama manusia. Haji dan qurban adalah dua contoh nyata bahwa ibadah harus punya dampak sosial. Ketika seorang Muslim berhaji, lalu sepulangnya menjadi pemimpin yang amanah, pedagang yang jujur, atau tetangga yang dermawan maka itulah haji yang mabrur. Ketika qurban tidak hanya menyentuh perut orang miskin, tapi juga menghapus air mata dan membangkitkan harapan itulah qurban yang sejati.

Menggugah kesalehan sosial lewat haji dan qurban bukan perkara baru, tapi sangat mendesak untuk dihidupkan kembali. Umat Islam harus terus berupaya mengaktualisasikan nilai-nilai ini, agar agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, melainkan kekuatan kolektif yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *