Opini: Strategi Dakwah Islam Wasathiyah di Era Digital

Opini: Strategi Dakwah Islam Wasathiyah di Era Digital

Share :

Strategi Dakwah Islam Wasathiyah di Era Digital
Rudi Santoso
Akademisi UIN Raden Intan Lampung/Komisi Infokom MUI Lampung

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara manusia berinteraksi, belajar, dan memahami dunia, termasuk dalam hal keagamaan. Dakwah yang dahulu terbatas pada mimbar, majelis taklim, dan pertemuan fisik, kini telah merambah dunia maya. Media sosial menjadi lahan dakwah yang luas, cepat, dan sangat potensial. Namun, dalam laju digital yang masif ini, muncul kebutuhan mendesak untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam Wasathiyah, atau Islam yang moderat.

Islam Wasathiyah adalah konsep yang menekankan keseimbangan, keadilan, toleransi, serta penolakan terhadap segala bentuk ekstremisme dan kekerasan. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks digital, di mana seringkali kita menjumpai dakwah yang justru bernada keras, provokatif, bahkan mengandung ujaran kebencian. Dakwah yang tidak mencerminkan nilai-nilai wasathiyah dapat menimbulkan disinformasi, polarisasi, dan merusak citra Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, strategi dakwah Islam Wasathiyah di era digital harus dirancang secara cermat. Para dai dan pendakwah digital perlu memahami karakteristik media sosial, di mana informasi tersebar cepat dan luas, tetapi juga sangat rentan terhadap kesalahpahaman. Di sinilah pentingnya pendekatan dakwah yang inklusif, dialogis, dan edukatif.

Salah satu langkah konkret dalam mendukung dakwah yang moderat adalah dengan merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa ini memberikan panduan moral dan hukum bagi umat Islam agar menggunakan media sosial secara bertanggung jawab. Dalam konteks dakwah, fatwa ini menegaskan pentingnya menyebarkan kebenaran, menghindari fitnah, serta menjaga etika dan akhlak dalam berdakwah secara daring.

Fatwa MUI tersebut antara lain melarang penyebaran hoaks, ghibah, hasutan, dan konten yang merendahkan martabat orang lain. Sebaliknya, media sosial harus dimanfaatkan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan menyampaikan dakwah yang mendamaikan. Dengan demikian, dakwah Islam Wasathiyah dapat menjadi penyejuk di tengah bisingnya perdebatan dunia maya.

Strategi dakwah digital yang efektif harus mengedepankan kreativitas dan profesionalisme. Konten dakwah perlu dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, visual yang menarik, dan narasi yang menggugah. Selain itu, pendekatan yang mengedepankan empati, penghargaan terhadap perbedaan, serta solusi terhadap persoalan umat akan lebih diterima dan berkesan bagi audiens digital.

Selain menyampaikan pesan agama, dakwah digital juga harus mampu membangun literasi media di kalangan umat. Banyak masyarakat muslim yang belum memiliki kemampuan menyaring informasi, sehingga mudah terjebak dalam narasi provokatif. Pendakwah wasathiyah hendaknya turut berperan dalam mencerdaskan umat agar bijak bermedia sosial dan terhindar dari jebakan ekstremisme digital.

Pendakwah digital juga perlu membangun komunitas daring yang aktif berdiskusi secara sehat, saling mendukung, dan memperkuat semangat kebersamaan. Komunitas ini dapat menjadi wadah dakwah yang terus berkembang, merespons isu-isu aktual dengan perspektif Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Inilah bentuk nyata dari dakwah yang hidup dan dinamis di era digital.

Dakwah Islam Wasathiyah bukan hanya tentang menyampaikan kebenaran, tetapi juga menyampaikan dengan cara yang benar. Di media sosial, cara penyampaian bisa lebih penting daripada isi pesan itu sendiri. Oleh karena itu, pendakwah perlu memiliki kecakapan komunikasi digital dan pemahaman kontekstual terhadap audiensnya.

Penggunaan bahasa yang ramah, dialogis, dan penuh kasih sayang akan membuat pesan dakwah lebih mudah diterima. Hal ini sejalan dengan keteladanan Nabi Muhammad SAW yang senantiasa berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik, bukan dengan kekerasan atau paksaan. Spirit ini harus dihidupkan dalam strategi dakwah digital kita hari ini.

Strategi dakwah Wasathiyah di dunia digital juga perlu didukung oleh sinergi antara ulama, akademisi, tokoh masyarakat, dan pemuda muslim yang melek teknologi. Kolaborasi lintas sektor ini akan menghasilkan konten dakwah yang lebih berkualitas dan menjangkau lebih banyak kalangan. Dengan demikian, dakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab para ustaz, tetapi menjadi gerakan kolektif umat.

Tak kalah penting, para pendakwah digital perlu menjaga kredibilitas dan integritas pribadi. Di era keterbukaan informasi, citra pribadi pendakwah sangat mempengaruhi efektivitas dakwahnya. Konsistensi antara apa yang disampaikan dan yang dilakukan akan membangun kepercayaan dan loyalitas jamaah digital.

Menghadapi tantangan algoritma media sosial yang kadang lebih mengedepankan kontroversi daripada kedalaman pesan, pendakwah wasathiyah harus tetap sabar dan istikamah. Ketekunan dalam menyebarkan kebaikan akan membuahkan hasil, meski mungkin tak secepat konten yang viral karena sensasi. Di sinilah nilai keikhlasan dan keteguhan berperan besar.

Era digital bukanlah ancaman bagi dakwah Islam, tetapi justru peluang besar untuk menyebarkan pesan-pesan Islam yang sejuk, moderat, dan solutif. Dengan berpedoman pada Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017, serta mengusung semangat Islam Wasathiyah, dakwah digital dapat menjadi sarana efektif untuk membangun peradaban Islam yang toleran dan bermartabat.

Mari kita jadikan dunia digital sebagai ladang dakwah yang subur, tempat menyemai nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan. Karena di tengah derasnya arus informasi, suara moderatlah yang mampu menjadi penuntun umat menuju kedamaian dan keberkahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *