PMKNU dan Masa Depan NU: Investasi Strategis dalam Mencetak Kader Pemimpin
KH. Taufik Rahman
(Katib Syuriyah PCNU Kota Bandar Lampung)
Nahdlatul Ulama (NU) telah membuktikan eksistensinya sebagai organisasi keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia, yang berakar kuat dalam tradisi dan menjangkau masa depan dengan semangat pembaruan. Dalam dinamika zaman yang semakin kompleks dan kompetitif, Nahdlatul Ulama membutuhkan kader-kader muda yang tidak hanya memahami warisan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga memiliki kapasitas kepemimpinan (leadership) yang adaptif, strategis, dan transformatif. Pendidikan Menengah Kepemimpinan Nahdlatul Ulama (PMKNU) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak re-generasi kepemimpinan tersebut. PMKNU bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan sebuah investasi strategis bagi masa depan Nahdlatul Ulama.
Pendidikan Menengah Kepemimpinan Nahdlatul Ulama (PMKNU) dirancang sebagai ruang kaderisasi menengah yang menjembatani pemahaman ideologis, kemampuan organisatoris, dan kepekaan sosial-politik. Di sinilah NU membangun masa depan, bukan dengan harapan kosong, tetapi dengan proses terencana dan pembentukan karakter yang kuat. Proses ini bukan hanya menekankan pada kompetensi, melainkan juga pada kontinuitas nilai : Merawat Tradisi dan Merespon Modernisasi. Hal ini selaras dengan kaidah ushul fiqh “Al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang berarti Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Tradisi dalam konteks Nahdlatul Ulama bukanlah barang antik yang harus dipertahankan tanpa nalar, melainkan warisan nilai yang hidup dan relevan. Tradisi seperti pengajian, tahlilan, manaqiban, dan budaya pesantren merupakan ruang pendidikan kultural dan spiritual yang membentuk karakter umat. Sementara modernisasi, dalam konteks ini, berarti kemampuan NU untuk menjawab tantangan zaman: digitalisasi, disrupsi sosial, dan perubahan tatanan global. PMKNU menjadi ruang dialektika antara dua kutub ini: bagaimana kader NU dapat mengakar pada nilai-nilai klasik, namun juga mampu tampil luwes dan progresif di ruang-ruang publik modern.
Dalam pembukaan PMKNU Angkatan Pertama di Bandar Lampung, saya selaku Katib Syuriyah PCNU Kota Bandarlampung menyampaikan sebuah pesan “Kun Piringan Wa La Takun Coetan.” Ungkapan ini, meski sederhana, menyimpan filosofi kepemimpinan yang mendalam. “Jadilah seperti piring, dan jangan menjadi coet.” Piring adalah simbol tempat berkumpulnya manfaat. Piring bisa ditempatkan di dapur/meja makan maupun di meja/ruang tamu, ia menampung, menyatukan, dan menjadi pusat perhatian. Sementara coet (tempat sambel) hanya pantas ada di dapur/meja makan yang terkesan tercecer, terabaikan, dan tidak memiliki peran strategis. Kader NU harus menjadi pribadi yang berdaya guna, memberi kontribusi berupa karya nyata, bukan hanya karya kata semata, bukan hanya menjadi pelengkap tanpa pengaruh. Inilah pesan utama PMKNU: membentuk kader pemimpin yang bermakna, bukan yang sekadar ada.
PMKNU adalah lumbung harapan NU dalam menjaga kesinambungan perjuangan. Melalui program ini, NU sedang menanam benih pemimpin yang akan menjadi poros perubahan di masa depan, baik di lingkup organisasi, masyarakat, maupun bangsa. Kader yang lahir dari proses ini diharapkan tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga memiliki keberpihakan pada nilai-nilai keislaman yang toleran dan progresif. Mereka adalah generasi piringan, bukan coetan yang siap memberi manfaat, menampung gagasan, dan menjadi pusat solusi.
Di tengah tantangan global yang menuntut kecepatan, fleksibilitas, dan keteguhan nilai, NU melalui PMKNU telah menunjukkan langkah nyata bahwa masa depan tidak ditunggu, tetapi dipersiapkan. Dan masa depan itu sedang dirajut di ruang-ruang kaderisasi seperti PMKNU. Wallahu a’lam bishawab.