Opini: Hardiknas 2025, Saatnya Bangun Pendidikan Bersama

Opini: Hardiknas 2025, Saatnya Bangun Pendidikan Bersama

Share :

Hardiknas 2025, Saatnya Bangun Pendidikan Bersama
Rita Zaharah
Pengurus MUI Lampung

Setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) adalah ajakan untuk berhenti sejenak dan menoleh ke belakang: sudah sejauh mana kita melangkah dalam membangun pendidikan yang bermutu? Di tahun 2025 ini, pertanyaan itu menjadi semakin penting, terutama ketika kita semua memimpikan Indonesia Emas 2045—sebuah cita-cita besar yang hanya bisa dicapai dengan fondasi pendidikan yang kokoh.

Namun, membangun pendidikan berkualitas bukan tugas satu pihak saja. Di sinilah makna “partisipasi semesta” menemukan relevansinya. Pendidikan yang adil dan merata hanya bisa terwujud jika seluruh elemen bangsa—pemerintah, guru, siswa, keluarga, hingga masyarakat luas—bergerak bersama, saling memperkuat dan berkolaborasi dalam semangat gotong royong.

Pemerintah tentu memiliki tanggung jawab utama dalam merancang kebijakan, mengalokasikan anggaran, dan membangun infrastruktur pendidikan. Tetapi peran itu tidak akan cukup tanpa keterlibatan aktif dari pendidik yang menjadi ujung tombak di lapangan. Guru bukan hanya pengajar, mereka adalah penggerak peradaban. Maka, peningkatan kapasitas dan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas nasional.

Di sisi lain, peserta didik bukan sekadar objek pembelajaran. Mereka adalah aktor utama yang perlu dilibatkan dalam proses pendidikan secara aktif. Sistem pendidikan kita perlu memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat, berekspresi, dan menemukan potensi dirinya. Pendidikan bukan pabrik seragam, melainkan taman yang memekarkan keberagaman talenta.

Keluarga, sebagai madrasah pertama dan utama, juga memiliki peran vital. Pendidikan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Keteladanan, dorongan moral, dan dukungan emosional dari orang tua adalah faktor penentu tumbuhnya karakter dan semangat belajar anak-anak. Kolaborasi antara rumah dan sekolah harus menjadi budaya, bukan hanya formalitas.

Masyarakat luas juga tidak boleh berpangku tangan. Dunia usaha, komunitas lokal, tokoh agama, hingga media massa punya kontribusi besar dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Program magang, beasiswa, literasi digital, hingga kampanye anti-bullying bisa digagas dan dijalankan oleh berbagai pihak di luar institusi pendidikan formal.

Semangat partisipasi semesta bukan hanya soal siapa berbuat apa, tetapi soal bagaimana kita semua merasa memiliki tanggung jawab yang sama. Pendidikan bukan hanya urusan guru dan murid di ruang kelas; pendidikan adalah denyut kehidupan yang harus dikuatkan bersama, dari desa hingga kota, dari pelosok hingga pusat.

Hardiknas 2025 menjadi panggung yang tepat untuk memperkuat semangat ini. Refleksi tahun ini harus mengarah pada pertanyaan: apakah sistem pendidikan kita sudah membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya? Apakah suara orang tua didengar? Apakah kebutuhan siswa diperhatikan? Apakah masukan guru diakomodasi? Jika belum, inilah saatnya untuk berubah.

Menuju Indonesia Emas, kita tidak hanya butuh lulusan dengan nilai tinggi, tetapi juga manusia-manusia unggul yang memiliki karakter, kreativitas, dan kepekaan sosial. Ini hanya bisa dicapai bila proses pendidikan dibangun dalam kebersamaan, bukan individualisme. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang hidup di tengah masyarakat, bukan yang terisolasi dalam birokrasi.

Contoh-contoh baik sudah mulai bermunculan. Ada sekolah yang menggandeng UMKM lokal untuk praktik kewirausahaan siswa. Ada desa yang membentuk forum literasi untuk mendukung anak-anak belajar di luar jam sekolah. Ada komunitas orang tua yang aktif berdiskusi dengan guru untuk memperbaiki metode pembelajaran. Inisiatif semacam ini perlu disebarluaskan dan diperkuat.

Tentu, tantangan masih banyak. Ketimpangan akses pendidikan, rendahnya literasi di beberapa daerah, dan masih minimnya partisipasi orang tua adalah pekerjaan rumah kita bersama. Tapi tantangan itu tidak seharusnya membuat kita pesimis—justru menjadi alasan kuat mengapa partisipasi semesta menjadi keniscayaan, bukan pilihan.

Hardiknas bukan hanya hari mengenang Ki Hadjar Dewantara, tetapi hari untuk menyegarkan kembali semangatnya: bahwa pendidikan adalah alat pembebasan, dan setiap warga negara punya hak sekaligus kewajiban untuk menjadikannya lebih baik. Pendidikan tidak boleh eksklusif; ia harus hadir untuk semua.

Kini saatnya menggeser paradigma. Dari pendidikan yang bersifat sentralistik menuju pendidikan yang inklusif dan kolaboratif. Dari pendidikan yang didesain dari atas ke bawah menjadi pendidikan yang tumbuh dari bawah dan bergerak ke atas. Dari kompetisi menuju kooperasi. Semua itu hanya bisa terjadi jika partisipasi semesta benar-benar diwujudkan, bukan sekadar jargon.

Menuju 2045, generasi muda Indonesia harus dibekali dengan pendidikan yang bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menguatkan hati dan membentuk jiwa kepemimpinan. Pendidikan seperti ini hanya mungkin lahir dari tangan banyak orang yang bersatu dalam tujuan mulia. Dan Hardiknas 2025 ini adalah waktu yang tepat untuk memulainya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *