Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
Dr. Agus Hermanto, MH
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat, hingga disebut era modern, maka semakin banyak pula persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Tantangan itu diantaranya disebabkan karena semakin banyak kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, sehingga solusi hukum lama seakan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Pada sisi lain, para ulama sebagai pewaris para Nabi, harus senantiasa berijtihad untuk memberikan solusi-solusi yang solutif sesuai tantangan zaman.
Usul fikih yang pada eranya menjadi salah satu metode istinbath dan ijtihad hukum, terkesan tidak lagi mampu menjawab persoalan zaman, jika usul fikih tidak revitalisasi, karena kajiannya yang terlalu luas sehingga tidak spesifik. Sedangkan untuk menghasilkan produk hukum Islam baru yang kontemporer haruslah menggunakan metode ijtihad baru, terlebih menghadapi suatu persoalan yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana kedudukan Nash yang dapat dipahami secara makna dari isi teks dan juga analogi teks dengan cara qiyas, dengan terpenuhinya empat rukun, yaitu asl, hukmul asl, far’ dan ”illat. Maka yang dibutuhkan selanjutnya untuk menjawab persoalan baru adalah harus melakukan pembaruan metode ijtihad, ibarat suatu metode adalah mesin, maka mesin lama tidak lagi mampu mengolah bahan-bahan baru yang dibutuhkan untuk menjawab produk pasar yang dibutuhkan saat ini, maka tidak ada solusi kecuali menambah kapasitas mesin atau menggantinya. Untuk itu kemudian para ulama modern berupaya dengan nalar sehatnya untuk menyiapkan metode baru dalam menjawab persoalan baru yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer yang terus berkembang seiring perkembangan pola hidup masyarakat dan perkembangan iptek yang begitu pesat.
Pasca lahirnya rekonstruksi ushul fikih dalam perjalanan panjang menjawab persoalan zaman, maka sebagian ulama juga melakukan dikonstruksi metode ijtihad dengan penalaran hukum, dengan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Bermula dari situlah kemudian produk hukum Islam semakin progresif dan corak hukum Islam (fikih) semakin masif dan fleksibel. Namun demikian, tidak juga cukup mengembangkan metode baru atau menggantinya hingga menghasilkan produk hukum yang lebih responsif dan progresif, karena penalaran yang tanpa dibarengi filter syara’ sebagai batas ratio legis akan juga menghasilkan produk hukum yang liberal tanpa landas dan batas, dan demi alasan hak asasi manusia hingga tuntutan gender yang over limits akan juga lepas dari frame syara’ yang diinginkan.
Untuk itu, perlu adanya kontrol metodologi ijtihad, yaitu kontrol terhadap proses lahirnya fikih yang bercorak baru. Lahirnya teori pembanding pada nalar Al-Narajil menawarkan metode baru untuk mengontrol metode ijtihad baru hingga dapat menghasilkan sebuah hukum yang lebih maslahat dan bernilai kemaslahatan yang lebih rajih. Teori pembanding pada nalar Al-Narajil adalah sebuah analisis hukum dengan menganalisis pada lapisan demi lapisan pada Al-Narajil. Lapisan itu ada lima dan masing-masing dari lima lapisan itu memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang menjadi bahan perbandingan dalam penemuan hukum. Lapisan pertama adalah sifat hukum Islam bersifat komprehensif, mencakup prinsip hukum yang taisir (memudahkan), adl (keadilan), syura (demokrasi), dan musawah (persamaan). Lapisan kedua, kajian hukum Islam bersifat inklusif, artinya dapat dilakukan dengan banyak pendekatan, seperti pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis, dan medis untuk melihat rukhsah (keringanan hukum).
Lapisan ketiga, tujuan hukum (maqasid syari’ah), yang terpenuhinya kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), tersier (tahainiyat). Pada prinsip primer mencakup lima asas hukum yaitu menjaga agama (hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-aql), menjaga nasab (hifdzu al-nasl), dan menjaga harta (hifdzu al-mal).
Pada lapisan ke empat adalah kualitas mujtahid yang mencakup penguasaan bahasa Arab, mengahafal al-Quran dan hadis, memahami ulumul Quran, memahami ulumul hadis dan hal lain yang menjadi syarat mujtahid.
Lapisan kelima, yaitu bahan atau objek kajian baik pemahaman Nash atau pemahaman madah yang dihadapi. Dan terakhir adalah sumbu yang menghubungkan lapisan satu sampai kelima adalah Tauhid yaitu ketuhanan atau keimanan.
Cara kerja teori pembanding adalah menelusuri hukum dengan cara melihat pada lapisan-lapisan yang ada dalam nalar Al-Narajil, yang disebut prinsip-prinsip dalam teori pembanding. Adapun prinsip dari teori pembanding adalah sebagai berikut, pertama, kembalikan perkara yang juz’i pada perkara yang kulli, contohnya jika kajian poligami, maka lihatlah pada kajian hukum perkawinan secara utuh, apakah keinginan poligami yang diinginkan telah memenuhi syarat dari sifat komprehensif. Apakah poligami sudah sesuai dengan prinsip taisir, adl, syura, dan musawah?
Prinsip kedua adalah tilik kembali pendekatan yang digunakan dalam penentuan hukum poligami, apakah sudah sesuai dengan pendekatan ilmiah yaitu pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis hingga medis?
Pada prinsip ketiga adalah pastikan tujuan hukum yang diinginkan dalam poligami telah sesuai dengan tujuan syara’ dan tidak bertentangan dengan kebutuhan perkawinan yang bertujuan mewujudkan keluarga sakinah, baik secara primer, sekunder dan tersier, yang mencakup lima asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta?
Prinsip ke empat yaitu lihat kembali kualitas dan kapasitasnya mujtahid, apakah telah benar memahami bahasa, memahami tafsir ayat, hadis dan ilmu ulumul quran dan hadis dan lainnya?
Prinsip kelima adalah bahasan atau objek, telusuri secara benar ayat, hadis dan juga persoalan poligami yang terjadi, dan terakhir adalah sumbu dari nalar Al-Narajil, sehingga penting dipastikan keimanan mujtahid, karena hukum untuk mukallaf sehingga tidak layak jika mujtahid itu adalah orientalis atau orang yang lemah imannya apalagi tidak beriman.
Bertitik dari analisis ini maka perlu disimpulkan hukum poligami tersebut, untuk mendapatkan nilai kemaslahatan yang rajih.