Behavior Jurisprudence Ala Umar Bin Khattab
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Behaviour Jurisprudence adalah perilaku hukum dipengaruhi manusia dan manusia menjadi perilaku dari hukum, sehingga sebuah hukum dapat bersifat fleksibel, responsif dan progresif serta solutif, pada asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemaslahatan. Sebagaimana Sutjipto Raharjo menanamkan prinsip-prinsip hukum progresif guna menangkal paham hukum yang bersifat positif, Adapun prinsip-prinsip itu adalah bahwa hukum tidak harus law in book, melainkan law in action, hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum serta hukum adalah untuk kemanusiaan dan bukan peran hakim sebagai corong undang-undang.
Jauh sebelum Nonect dengan teori responsif dan Sutjipto Raharjo dan dikembangkan oleh Suteki, sejatinya suatu hukum dalam pendekatan behaviour jurisprudence telah diterapkan oleh Umar bin Khattab pada saat menyelesaikan setiap perkara yang dihadapi. Behaviour jurisprudence adalah suatu model hukum dengan pendekatan psikologi hukum, sosiologi hukum dan epistemologi hukum. Pada nalar pemikiran yang ditawarkan Muhammad Abid al-Jabiry, dengan nalar bayan, burhani dan irfani.
Posisi Umar bin Khattab sebagai Khalifah, senantiasa melakukan ijtihad hukum guna memberikan solusi kepada umat Islam yang telah mulai menyebar ke seluruh wilayah di luar Jazirah Arabiyah, ditambah lagi, umat Islam kala itu mulai terpecah-belah karena banyaknya fitnah dan upaya-upaya dari pihak eksternal untuk memecahkan dan menghancurkan umat Islam, saat itulah Umat bin Khattab berupaya menyatukan umat Islam dengan pandang-pandangan hukum dan dan putusan hukum yang kerap kali keluar dari teks dan sunah Nabi, seperti halnya shalat tarawih yang pada umumnya nabi sendiri kadang shalat di masjid, dan kerap shalat di rumah, dan begitu juga dalam bilangan rakaat, sehingga umat Islam pada masa pemerintahannya Umar bin Khattab yang mereka melakukan shalat tarawih dengan beragam model, akhirnya Umar memutuskan untuk melakukan shalat tarawih di masjid berjamaah dalam bilangan 20 rakaat. Hal ini menunjukkan bahwa Umar sejatinya telah melakukan upaya progresif dalam hukum dengan tidak terpaku pada aturan yang telah ada. Jika dikembalikan pada prinsip-prinsip progresif bahwa hukum tidak harus law in book melainkan law in action, maka Umar bin Khattab telah melakukan hal tersebut, bahkan Umar mengatakan bahwa bid’ah yang paling mulia adalah bid’ah shalat tarawih berjamaah. Dalam prinsip lain jika hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum, maka Umar sejatinya telah memperlakukan hukum untuk kemanusiaan.
Merujuk pada behaviour jurisprudence, bahwa hukum adalah hal yang harus dilakukan dan masyarakat adalah inspirasi hukum, dengan pendekatan psikologi, sosiologi dan epistemologi hukum, hal ini telah juga dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam menyelesaikan tiap perkara yang terjadi.