Teori Pembanding Hukum Pada Nalar Al-Narajil
Dr. Agus Hermanto, M.H.I
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Nalar yang berarti kemampuan berpikir logis, ilmiah dan masuk akal, juga dapat diartikan perangkat manusia yang digunakan untuk mencari kebenaran. Sebuah nalar tidak akan dapat terukur manakala tidak adanya teori yang dibangun. Termasuk nalar Al-narajil yang tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa adanya bangunan teori. Maka daripada itu penulis menggagas sebuah teori yang ditawarkan yaitu teori perbandingan atau dalam Bahasa Arab dikenal dengan al-Muqarran, membandingkan berbeda dengan mengaitkan, mengoneksikan dan juga mengintegrasikan, melainkan bahwa membadingkan itu dapat dilakukan dengan dua hal, pertama membandingkan sebuah pedekatan yang digunakan, karena pendekatan dan teori yang digunakan oleh seorang mujtahid sangat menentukan hasil ijtihadnya, yang kedua adalah membandingkan kapasitas seorang mujtahid, apakah mujtahid yang melakukan ijtihad hukum sesuai dengan kapsitasnya atau tidak. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, karena dengan seperti itu akan tercipta hukum yang lebih baik dan lebih maslahat.
Sebagaimana dikatakan dalam sebuah kaidah:
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
“Hukum itu beredar pada ‘illatnya, baik adanya hukum maupun tidak adanya”
Secara etimologi ‘illat berarti alasan atau sebab, sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaanya. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqih, antara lain:
العِلَّةُ هِىَ الوَصْفُ الظَاهِرُ المُنْضَبِطُ الَذِى جَعَلَ مَنَاطَ الحُكْمِ يُنَاسِبُهُ
“’Illat ialah suatu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser yang dijadikan pergantungan suatu hukum yang ada munasabah antaranya dengan hukum itu.”
Al-Syatibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut:
العِلَّةُ هِىَ المَصْلَحَةُ أَوِ المَفْسَدَةُ الَّتِى رَاعَاهَا الشَارِعُ فِى الطَلَبِ كَفًّا أَوْ فِعْلاً
“’Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ di dalam menyuruh suatu pekerjaan atau mencegahnya.”
Imam Syatibi berkata:
العِلَّةُ هِىَ المَصَالِحُ الشَرْعِيَةُ الَّتِى تَعَلَّقَتْ بِهاَ الأَوَامِرُ وَالمَفَاسِدُ الَّتِى تَعَلَّقَتْ بِهَا النَوَاهِى
“’Illat ialah segala keselamatan syara’ yang bergantung dengannya segala perintah dan segala kerusakan yang bergantung dengannya segala larangan.”
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanabillah dan Imam Baidawi (tokoh ulama fiqih Syafi’iyah), merumuskan definisi illat dengan:
الوَصْفُ المُعَرِّفُ لِلْحُكْمِ
“Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Sebagaimana kaidah dibawah ini:
الحُكْمُ يَتْبَعُ المَصْلَمَةُ الرَّاجِحَةُ
“Hukum itu mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat.
Pada beberapa kaidah ini peneulis ingin menyampaikan bahwa suatu hukum sangat tergantung pada suatu ‘illat (ratio legis), namun demikian, kita dapat menilai dari setiap hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama, bahwa hukum akan tergantung pada kemaslahatan yang paling kuat (rajih).
Teori lahir untuk menopang nalar Al-Narajil, dengan beberapa tahapan, tahapan pertama, mengembalikan suatu perkara pada hukum syumul (komprehensif). Kedua, analisis kembali approauch (pendekatan) yang digunakan oleh penelititi atau mujtahid dan teori atau dalilnya. Ketiga, tilik kembali tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) pada hukum yang sedang dibahas, Keempat, kualitas dan kompetensi mujtahid. Kelima, lihat kembali pada teks dan konteks, teks ada.