Akar Ikhtilaf Pada Nalar al-Narajil
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Perbedaan itu fitrah, dan bahkan Rahmah, karena dengan adanya Ikhtilaf, akan semakin banyak ilmu dan pemahaman yang kita dapatkan, sehingga menjadi rahmah. Begitulah sabda Rasulullah saw, (إختلاف أمّتى رحمة) Ikhtilaf yang terjadi pada umatku (kata Nabi) adalah rahmat. Ikhtilaf menurut Yusuf al-Qardhawi dapat dibagi menjadi dua, yaitu (إختلاف العقل) perbedaan pemikiran dan (إختلاف الأخلاق ) perbedaan akhlak. Konteks rahmat dalam kajian hukum Islam dalam menyikapi ikhtilaf adalah perbedaan seputar pemikiran. Bahwa setiap manusia dianugerahi akal pikiran yang sehat dan sempurna kecuali orang gila yang tidak terbebani hukum. Dalam suatu perkataan mulia diungkapkan (إكمال العقل اتّباع رضوان الله تعالى واجتناب عن نواهيه فخلاف ذلك جنون) kesempurnaan akal seseorang, akan senantiasa mengikuti ridha Allah Ta’ala, dan menjauhkan segala yang dilarang, sedangkan orang yang menyalahi kaidah ini adalah orang gila. Sedangkan ikhtilaf kedua adalah perbedaan yang disebabkan oleh akhlak, maksudnya adalah perbedaan yang disebabkan karena suatu sikap seseorang yang menyebabkan berbeda dalam sikap hingga menyebabkan pertikaian baik dalam ucapan hingga perbuatan.
Nalar al-Narajil adalah sebuah metode ijtihad yang penulis tawarkan guna menganalisis proses ijtihad dengan berbagai prinsip-prinsip dan tahapan-tahapan yang dilalui. Nama al-Narajil adalah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti kelapa. Pada buah ini memiliki tahapan demi tahapan sesuai lapisan yang ada pada buah ini. Lapisan pertama menunjukan bukti hukum Islam yang universal dan komprehensif, sebuah keuniversalan secara utuh dan sempurna hingga dapat dilihat dari segala sudut. Hukum Islam memiliki karakter, yaitu memudahkan (التيسير), berkeadilan (العدل), demokrasi(الشورى), dan berkesimbangan (المساوة). Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa hukum Islam adalah (شمول) menyeluruh. Pada lapisan inilah Islam menunjukkan dirinya yang dinamis ( صالح لكل زمان ومكان) agama Islam dinamis (kebenarannya) untuk setiap waktu dan tempat.
Pada lapisan kedua adalah pendekatan itu sendiri (approach), menunjukkan bahwa Islam dapat dikaji dengan banyaknya disiplin keilmuan, atau banyaknya pendekatan, baik yang masih relevan (interdisipliner, multidisipliner, hingga transdisipliner). Proses merekonstruksi hukum, dan atau merekonstruksi huhum, bahkan hingga mendeskonstruksi hukum, haruslah dilalui secara benar, karena jika proses itu dilakukan dengan cara yang tidak benar (baik dalam mengginakan teori/pendeketan, atau argument hukum yang digunakan, hingga kelemahan mujtahid dalam berijtihad) akan berakibat fatal. Pada pendekatan ini, ada dua pendekatan yang biasa dilakukan yaitu intra doctrinal reform, yaitu sebuah pendekatan hukum dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam usul fikih. Sedangkan yang kedua adalah ekstra doctrinal reform yaitu pendekatan hukum yang juga dapat dilakukan dengan pendekatan selain usul fikih, adalah pendekatan yang dilakukan dengan teori-teori yang berkembang pada umumnya.
Maka, pada lapisan ketiga pada buah kelapa, terdapat sebuah tempurung yang sangat kuat dan keras, menujukkan sebuah filter bahwa hukum Islam dikonstruksi melalui tujuan yang jelas, pasti dan terukur, karena proses ini dilakukan dengan kehati-hatian serta keseriusan dalam memilah dan memilih ‘illat hukum dan dalam mengambil dalil yang relevan dengannya. Dalam konteks hukum Islam, maqasid al-syari’ah (tujuan hukum) haruslah diperioritaskan, baik yang bersifat dharûriyah (primer), hajjiyah (skunder), dan tahsiniyah (tersier). Secara primer tujuan hukum adalah untuk melindungi agama (hifdz al-dîn), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aqil), menjaga nasab (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mâl). Keseluruhan unsur tersebut di atas, digunakan untuk menelaah realita hukum agar dapat rerukur yaitu untuk mengambil manfaat dan menolak kerusakan (li jalbi al-mashâlih wa li daf’i al-mafâsid). Tidak hanya pada wilayah tujuan hukum saja, melainkan juga dalam konteks mujtahid (ulama yang berijtihad), haruslah kompeten dalam proses ijtihadnya, sehingga tidak menghasilkan hukum yang cacat. Analoginya, bahwa jika pada lapisan ini cacat atau tempurung kelapa ini pecah, maka akan berakibat buruk pada bagian dalamnya.
Sehingga pada lapisan keempatnya ini adalah inti (bahan) yang dijadikan sebuah objek dalam kajian hukum ini, yaitu nash al-Qur’an dan al-Sunah. Sebuah lapisan dalam yang dilapisi oleh tempurung. Menggambarkan pada dua kajian pokok yang merupakan intisari dari kajian hukum itu sendiri, inti kelapa dan air mengisyaratkan objek kajian hukum Islam yang pada ujung paling atas bersambung dengan tangkai yang dapat menembus beberapa laisan tempurung, serabut dan juga lapisan halus paling luar yang menunjukkan bahwa ketauhidan seorang mujtahid dengan setetus menjadi orang yang beriman adalah hal yang mutlak, sehingga kajian hukum Islam tidak elok jika dikaji oleh seorang yang orientalis dengan tidak adanya iman yang melekat padanya, karena jika itu dilakukan akan mengabaikan tujuan hukum maqashid al-syari’ah dan ini akan berakibat fatal. Betapa tidak, bahwa hukum syarâ’ itu berlaku bagi orang yang mukallaf dan beriman, dan tidak sebaliknya, bahwa orang yang tidak beriman adalah tidak dianggap sebagai akhli ibadah (laisa min ahli ibadah), jika mereka (orang yang tidak beriman) bukan ahli ibadah, maka mereka tidak terbebani hukum, dan tidak mungkin orang yang tidak terbebani hukum lantas memiliki hak untuk berijtihad. Maka penulis menekankan bahwa nilai taihid dalam konteks hukum Islam menjadi induk lahirnya hukum syara’.
Dari Nalar Al-Narajil ini dapat dipahami bahwa akar ikhtilaf sejatinya ada pada lapisan kedua, yaitu lapisan approach (pendekatan), yaitu sebuah hukum yang mutaghayyir akan senantiasa dapat dilakukan dengan penggalian ”illat dan penggunaan teori yang beragam, hingga penggunaan dalil yang relevan akan sangat menentukan hasil dari suatu hukum. Mengingat bahwa kaidah (الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما) hukum akan senantiasa berkisar antara ada dan tiadanya ”illat. Hukum fikih bersifat relatif, dinamis dan rinci, sehingga ‘illat hukum menjadi faktor yang dapat menjadi ada dan tiadanya hukum, apakah wajib, sunah, mubah, makruh atau bahkan haram akan senantiasa dapat dilihat pada argumen dan bukti hukum itu sendiri.