Opini: Peran Agama dalam Merperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa

Share :

Peran Agama dalam Merperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
(Serial Hari Kemerdekaan RI)
Nirwan Hamid, M.Pd.I
Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
Sekretaris MWC NU Tanjung Senang Kota Bandar Lampung

Sejarah adanya persatuan dan kesatuan sudah ada sejak masa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Sejak saat itu, arah perjuangan bangsa Indonesia makin tegas, yaitu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Indonesia, sebagai negara yang mempunyai banyak keberagaman dan perbedaan, perlu mempunyai persatuan dan kesatuan. Keberagaman yang terdapat di Indonesia, antara lain agama, suku, etnis, budaya bahasa, maupun adat istiadat.

Makna “persatuan Indonesia” dibentuk dalam proses sejarah panjang. Persatuan adalah hal yang terbentuk tidak secara instan, melainkan melalui proses panjang. Sehingga seluruh bangsa Indonesia memiliki persamaan nasib, satu kesatuan kebudayaan, kesatuan wilayah serta satu kesatuan asas kerohanian Pancasila yang terwujud dalam persatuan bangsa, wilayah dan susunan negara. Negara Indonesia sangat besar dan luas sehingga sangat sulit untuk mengaturnya apabila tidak ada persatuan. Maka dari itu, sebuah persatuan sangat penting di dalam negara agar terwujud kesatuan dan persamaan.  Persatuan sangat penting bagi sebuah negara yang ingin hidup sejahtera. Persatuan juga akan mewujudkan kerja sama yang baik dengan negara lain.

NKRI harga mati merupaka jargon yang kita sematkan pada bangsa kita agar tidak ada yang berani mengganggu keutuhan dan dan kedaulatan Negara kesatuan Republik Indonesia. Bahwa masyarakat kita betul-betul mencintai negaranya lebih dari apapun. Tidak ada yang bisa merenggut negara kita walau hanya sejengkal.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, hal ini dapat dilihat dari keberagaman suku bangsa, bahasa lokal, agama, adat dan budaya yang ada. Masyarakat majemuk (plural society) adalah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti suku bangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Bagi masyarakat plural, potensi konflik sangat dimungkinkan terjadi. Ragam konflik bisa bersumber dari berbagai hal, seperti: adanya konflik antar agama, konflik antar etnis, konflik antar budaya, konflik antar suku ataupun konflik kepentingan antar masyarakat dari daerah atau propinsi yang berbeda. David A.Nadler (1970) sebagaimana dikemukakan oleh Anoraga dan Thoha yang menyatakan bahwa perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari integrasi antara person atau individu dengan lingkungannya. Berbagai karakter yang diperlihatkan oleh individu sesuai dengan jabatanya tentunya akan berbeda-beda. Dan perilakunya adalah ditentukan oleh masing-masing lingkungannya yang berbeda-beda.

Dalam hal ini keberagamaan yang sangat penting dalam memegang kendali persatuan dan kesatuan bangsa karena bangsa kita majemuk dan sangat plural. Pluralitas agama atau kebhinekaan agama merupakan kenyataan aksiomatis (tidak bisa dibantah), dan merupakan keniscayaan sejarah (historical necessary) atau sunnatullah yang bersifat universal. Pluralitas agama harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi dengan bijaksana. Pluralitas agama, budaya dan etnik masyarakat Indonesia pada satu sisi berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain, akan tetapi pada sisi yang lain agama adalah wahana pemersatu bangsa.

Agama dari sudut pandang normatif senantiasa mengajarkan harmoni, kasih-sayang dan kerukunan antara sesama umat beragama, secara internal maupun eksternal. Secara internal terwujud dalam kerukunan dan toleransi diantara sesama pemeluknyadan secara eksternal adanya hubungan yang harmonis diantara pemeluk-pemeluk agama lain.

Dengan kata lain aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat mata, juga aktifitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.

Diskursus problema sosial adalah memperbincangkan kondisi yang terjadi dan berpengaruh dalam kehidupan manusia di mana sebagian besar dari problema itu tidak disenangi oleh manusia dan bahkan berusaha untuk menghilangkannya, misalnya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Problema sosial merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan masyarakat.

Pada era kemajuan tekhnologi dan komunikasi, peran umat beragama seharusnya tidak melulu tertuju pada ruang lingkup internal orang-orang seagama, melainkan mampu menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat berubah dalam menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya arus informasi. Pada kondisi seperti ini, umat beragama mengalami pengaruh bebasnya arus informasi dan mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan penganut agama lain, hal inilah yang kemudian menjadi triger benturan-benturan serta gesekan-gesekan.

Mensikapi problematika sosial-keagamaan, agama dan umat beragama seharusnya “ada” dan “hadir”. Konsekuensinya, umat beragama berperan dan harus terlibat serta melibatkan diri untuk mengatasi permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat. Jika umat beragama hanya menfokuskan diri pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan ibadah rutin, maka peran dan pelibatan diri tersebut tidak terlihat bahkan tak berdampak apa-apa pada orang lain serta masyarakat luas.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpendapat bahwa, kehadiran agama sebagai “titik strategis” oleh berbagai pihak dalam pembangunan, menunjukkan bahwa “peranan” tersebut lebih bersifat superfisial, atau tampak hanya di permukaan saja. Beliau lebih lanjut mengatakan bhawa kalau memang agama telah berperan cukup dalam pembangunan nasional kita, mengapa arah, wawasan dan moralitas pembangunan itu sendiri sangat terasa belum menyerap nilai-nilai keagamaan secara keseluruhan. Tidak dapat diingkari, justru nilai-nilai keagamaan yang mengalami erosi dahsyat dalam era pembangunan ini. Pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak agama manapun, justru semakin berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk meningkatkan produktifitas kerja sebagai bangsa, sehingga mendorong semakin meluas dan seriusnya korupsi.

Dari beberapa uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan:

Pertama, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi (karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan untuk itu). Itu berarti membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial di/dalam masyarakat (konteks umat beragama berada).

Kedua, agama memberi kita arah kehidupan, mengajari kebebasan, dan mengerahkan wawasan agar hidup kita damai. Tuhan yang menurunkan agama, dengan tujuan agar kita tidak terjebak dan terperangkap ketegangan sosial dalam relasi antar sesama kita. Tidak juga dalam relasi orang-orang yang berbeda agama,kita pun tak ingin hal itu terjadi.

Dengan kehadiran agama di muka bumi, diharapkan mampu untuk memperkecil konflik-konflik yang terjadi. Begitu juga dalam bangsa kita Negara Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini, agama telah mampu berkontribusi untuk menjembatani konflik yang ada sehingga mampu memberikan sumbangsih yang nyata pada bangsa kita. Agama mampu menjadi solusi untuk kita semua. Jayalah Negeriku hiduplah Bangsa ku. Merdeka!

Wallahu Al muwafiq Ila Aqwamittarieq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *