Prinsip-Prinsip Syari’ah
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Adapun prinsip-prinsip moderasi sebagaimana firman Allah swt., wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (QS. al-Baqorah ayat 143), adalah sebagaimana berikut; Pertama, Tawasut (mengambil jalan tengah, Kedua, Tawazun (keseimbangan), Ketiga, I’tidal (lurus dan tegas), Keempat, Tasamuh (toleransi), Kelima, Musawah (egaliter), Keenam, Syura (musyawarah), Ketujuh, Islah (reformasi), Kedelapan, Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Kesembilan Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), Kesepuluh, Tahadhur (berkeadaban).
- Tawassuth (Tidak Berlebihan)
Tawassut yang berarti pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrat (berlebihan dalam beragama) dan tidak tafrit (mengurangi ajaran agama). Merupakan sikap berharga yang sudah diajarkan al-Qur’an dan dipraktekkan oleh rasulullah saw., agar umatnya bisa menjadi umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah swt., dalam surat Ali Imran ayat 110.
Rasulullah saw., bersabda sebagaiaman yang disebutkan dalam beberapa hadist diantaranya, yaitu:
خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baiknya perkara adalah pertengahannya”
Di samping itu, Rasulullah saw., juga mengingatkan umatnya untuk menhindari hal-hal yang melampaui batas sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu yang mengakibatkan bencana dan adzab menimpa mereka. Sikap melampaui batas yang bisa menjadi ibrah dari umat terdahulu melipuiti berbagai bidang;
Pertama, di bidang teknologi sebagaimana kaumnya Nabi Nuh as., yag dikenal dengan banu Rasib yang mana pada mulanya mereka memiliki iman kepada Allah swt., namun kemudian bergeser menjadi penyembah selain Allah swt., yaitu berhala Wudd, Suwaa, Yaqhuth, Ya’qub dan Nasr. Akibat dari perbuatan mereka diadjab melalui banjir bandang.
Kedua, dibidang munakahat, seperti halnya kaum Luth as., yang dikenal dengan perbuatan homoseksual, padahal Nabi Lut telah memperingatkanakibat yang akan diterima umatnya atas perbuatan tersebut. Kemungkaran tersebut kemudian dibalas dengan adzab berupa hujan batu, gempa bumi, angina kencang yang menyebutkan mereka binasa.
Ketiga, dibidang perekonomian, seperti halnya kaum Madyan yang terkenal dengan perbuatan curang dan penuupuan disaat terjadi transsaksi jual beli. Berulang kali Nabi Syu’aib memperingatkan, tapi terus diabaikan sesingga mereka mendapatkan adzab dari Allah berupa hawa panas yang membinasakan mereka.
Keempat, dibidang kekuasaan, seperti halnya raja Fir’aun yang telah mengaku dirinya sebagai Tuhan, dan teah diingatkan oleh Nabi Musa as., akan tetapi tetap saja, yaitu mengikuti hawa nafsunya dan menindas kaum Israil membunuh anak-anak bayi laki-laki dan seterusnya, sehingga ia dan bala tentaranya ditenggelamkan dalam lautan.
- Tawazun yaitu keseimbangan,
Tawazun yaitu pemahaman dan pengamalan agamanya dilaksanakan secara seimbang dan meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi tegas dalam menyatakan prinsip dan dapat membedakan antara penyimpangan dan perbedaan.Tujuannya adalah untuk mampu merealisasikan sikap seimbang, tentu harus diawali dengan keseimbangan dalam melihat beberapa objek kajian.
Dalam al-Qur’an ada beberapa definisi makna tawazun, dalam (surat al-Kahfi: 18:105). Mawazinuh, dalam (surat al-A’raf:7:8) dan (surat al-Qori’ah: 101:6-8), al-waznu dan al-mizan, (surat al-Rahman: 55:7-9) Mauzun (surat al-Hijr:15:19 dan al-mizan (surat al-An’am: 6: 152), (surat al-Hud: 11: 84), (surat al-Syura: 42: 17) dan al-Hadid: 57: 25).
Keseimbangan atau tawazun menunjukkan sikap moderasisikap tengah ini tidak cenderung ke kanan dank e kiri, yang merupakan bentuk keadilan, kebersamaan kemanusiaan, namun juga bukan berarti tidak memiliki pendapat. Sikap tegas yang bukan berarti sikap keras apalagi ekstrim. Sebuah sikap yang dalam melakukan sesuai kebutuhan atau secukupnya, tidak ekstrim, tidak liberal dan tidak berlebih-lebihan. Baik keseimbangan antara hubungan kepada Allah dan sesame manusia itulah kebutuhan duniawi dan ukhrawi.
Tawazun berasal dari kata tawazana, yatawazanu, tawazunan, berarti seimbang atau memberikan sesuatu atas haknya tanpa ada penambahan dan apalagi pengurangan, dalam hal ini disebut sunah kauniyah, sebagaimana firman Allah swt., dalam (surat al-Infithar:82:6-7) dan (surat al-Rahman:55: 7). Dalam hal fitrah insaniyah, sebagaimana firman Allah (surat al-Mulk:67:3). Keseimbangan juga sesuai dengan forsinya, sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam hadisnya yang tidak berlebihan dalam makan, berpuasa dan lainnya (HR. Bukhari Muslim). Keseimbangan merupakan bentuk perwujudan dari Islam yang sempurna.
- I’tidal (menempatkan sesuatu pada tempatnya)
I’tidal adalah menempatkan pada tempatnya, melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan propoionalnya, prinsip tersebutlah yang dianut oleh ahlussunah wal Jama’ah, dalam rangka menjaga nilai-nilai keadilan dan sikap lurus, serta menjauhkan dari segala sikap ekstrim. Sebagaiaman dijelaskan dalam surat al-Ma’idah ayat 8, surat al-Hadid ayat 25.
- Tasamuh yaitu toleransi.
Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah alaal-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-halbaru yang lebih relevan);
Tasamuh, sering diterjemahkan dengan istilah toleransi, Hasyaim Muzadi mendefinisikan toleransi menjadi dua macam, yaitu toleransi secara teologis dan toleransi secara sosiologis. Dalam teologis, toleransi dibagi pada dua hal, yaitu internal dan eksternal, internal yaitu sebagaimana prinsip lana a’maluna w alakum a’malukum, (QS. al-Qasas ayat 55, bagi kami amalan kami bagi kalian amalan kalian. Sedangkan secara eksternal adalah sebagaiaman dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 256; “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam” namun demikian, allah juga berfirman dalam surat al-Qasas ayat 56.
Sedangkan toleransi secara sosiologis, sikap menerima pendapat orang lain, tetap berbuat baik secara muamalah, namun juga tetap menjaga prinsip sendiri.dengan cara demikianlah Islam dapat diterima oleh segala kultur. Sebagaimana nabi Muhammad saw., yang hidup di madinah yang bertemu dengan banyaknya golongan, namun Islam tetap dapat diterima.
Selain itu, melalui pembagian demikian, bisa semakin mengantarkan seseorang untuk dapat menyadaribahwa betapa pentingnya menerima nasihat yang datang dari orang lain dan tidak selalu menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Sebagaiaman dijelaskan dam suatu kaidah (la yaqbalul khata’a min nafsihi wala yaqbalul shawaba min ghairihi. (tidak menerima kesalahan yang mencul dari dirinya sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari orang lain”.
Hal ini bersumber dari sabda Rasulullah saw., (innama bu’istu bil hanifati samhah), “aku diutus untuk membawa agama yang lurus (toleran.melalui hadis inilah islam dapat diterima oleh semua kalangan baik suku yang berbeda maupun kultur yang berbeda-beda.
Konsep keadilan, keseimbangan dan tasamuh adalah faham ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Pemikiran ini sejatinya telah dirumuskan oleh Imam al-Hasan As’yari (w. 260H/873M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 324H/935M) di bidang aqidah dan mengikuti salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hanbali).dalam bidang syari’ah dan dalam bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali dan Junaidi al-Baghdadi. Adapun prinsip aswaja adalah dapat beradaptasi satu sama lainnya dalam berdakwah, tidak jumud, tidak kaku dan tidak ekslusif maupun elastis apalagi ekstrim.
Sebuah kerangka pemikiran yang menghantarkan pada keadilan (adalah), keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tawazun), dapat menghantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri atupun ke kanan. Maka aswaja adalah orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sector kehidupan yang dibangun di atas prinsip moderasi keseimbangan, keadilan dan toleransi.
Ada tiha prinsip toleransi, yaitu; Pertama, tidak keluar dari batas syari’ah, Kedua, tidak memonopoli kebenaran, dan Ketiga, toleransi hanya dalam hal-hal yang bersifat dhanni.
- Musawah (egaliter)
Musawah, artinya tidak membeda-bedakan karena factor kultur, budaya, hal ini sebagaimana dipaparkan oleh firman Allah swt., dalam surat alHujarat ayat 13.
- Syura (musyawarah)
Syura adalah musyawarah yaitu suatu jalan untuk mencapai mufakat dengan cara demokrasi. Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai kesepakatan.
- Islah (reformasi),
Sebagaimana dalam suatu kaidah (al-muhafadzatu ‘ala qadimi shalih wal akhdu bil jadiidil ashlah) menjaga yang lama yang masih baik dan memperbaikinya dengan hal yang lebih baik.
- Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas)
Aulawiyah, artinya mendahulukan hal yang lebih baik daripada perkara yang belum begitu urgen, sebagaimana dalam suatu kaidah (al-musbatu muqaddamun ‘alaa al-nafi), Sesuatu yang telah ditetapkan (nash0 haruslah diutamakan daripada hal yang dinasfikannya. Hal ini juga sebagaimana dalam suatu kaidah (dar’ul mafasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih), membuang kemaslahatan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan. kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan daripada yang rendah.
- Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif)
Selalu terbuka terhadap hal-hal yang baru, selama di batas-batas yang tidak bertentangan dengan hukum syara’, yaitu suatu perkembangan zaman selama membawa kemaslahatan bagi manusia.
- Tahadhur (berkeadaban)
Menjunjung tinggi nilai-nilai akhlakul krimah, karakter, identitas dan integritas sebagai khairul ummat dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Lawan dari konsep moderasi (wasathiyah) adalah ekstrim. Ekstrim sendiri berasal dari bahasa Inggris extreme, yang berarti perbedaan yang besar, yang dimaksud ekstrim adalah dalam bahasa Arab sering disebut ghuluw, yaitu berlebihan, bisa berlebihan dalam kebenaran atau berlebihan dalam kebutukan, dan kadang disebut tasydid, yaitu keras, keras dalam arti menyikapi perkara dengan cara yang keras tanpa mau bertoleransi, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Nisa’: 4:171). Ayat ini terlalu berlebihan dalam menyikapi Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan dari Maryam (surat al-Taubah: 9:31), dan (surat Ma’idah: 5: 72). Begitu juga tentang keyakinan terhadap Tuhan, sebagaimana dijelaskan (surat al-Maidah: 5: 73). Dalam firman lain juga (surat al-Ma’idah: 5: 77). Ayat di atas menjelaskan al-ghuluw menyangkut tentang aqidah/keyakinan. Term Yahudi dan Nasrani. Yahudi adalah yang tetap berpegang teguh pada kitab taurat, sedangkan Isa adalah yang beranggapan bahwa Isa adalah anak Tuhan.
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.
Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Sindo: 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.
Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda. Wallahu A’lam