Universal dalam Islam : Merekonstruksi Pemahaman Antar Ummat beragama
Nirwan Hamid, M. Pd.I
Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
Sektretaris MWC NU Tanjung Senang Bandar lampung
Islam sebagai ad-din adalah agama universal dan komprehensif yang dianugerahkan Allah Swt kepada ummat manusia sampai akhir zaman, sebagai agama yang sempurna dan diridhai Allah Swt. Universal berarti bahwa Islam adalah agama yang diperuntukkan bagi ummat manusia di seluruh penjuru bumi ini dan dapat diimplementasikan oleh ummat manusia sepanjang waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Komprehensif artinya bahwa Islam itu memiliki ajaran yang lengkap dan sempurna (Syumuliyah), kesempurnaan ini disebabkan bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan ummat manusia, tidak saja aspek ritual dan spritual serta ibadah mahdhah, tetapi juga mengatur aspek mu’amalah, mu’asharoh bil ma’ruf yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya dan lain sebagainya.
Peradaban Islam adalah peradaban kemanusiaan. Disebut apa saja peradaban itu asal sejalan dengan nilai-nilai universal, atau yang biasa juga disebut ajaran dasar Islam, dapat diterima sebagai peradaban Islam. Mungkin memang pada awalnya ada suatu masa penyesuaian tetapi masa itu tidak perlu terlalu lama karena esensi nilai-nilai Islam sejalan dengan asas kemanusiaan. Tidak heran jika Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dapat menyaksikan sendiri ajaran agama yang dibawanya menyebar ke berbagai penjuru dunia. Menurut Thomas Carlile, tidak ada seorang tokoh selain Nabi Muhammad yang mampu menyaksikan ajaran yang dikembangkannya dianut hampir separuh belahan dunia.
Islam adalah agama yang didasarkan pada kepasrahan kepada kehendak Allah Swt. Ini merupakan agama yang menghendaki kepatuhan kepada Allah Swt, realiltas murni yang semuanya akan kembali kepada-Nya. Islam menghendaki kedamaian. Islam merupakan kehidupan itu sendiri yaitu meliputi; tingkah laku kita, apa yang kita pikirkan, rasakan, dan seluruh aspek kehidupan dari mana kita datang dan pada siapa kita kembali. Oleh karena itu agama Islam selalu menggunakan term ad din sebagai pengayom dari seluruh hidup manusia, dalam pandangan Islam tradisional tidak ada sesuatu yang sekuler. Pada saat yang sama, Islam menempatkan kebenaran yang abadi dari setiap permulaannya. Yaitu kebenaran tauhid yang dibawa sejak dulu. Menurut al Qur’an, manusia dituntut untuk patuh dengan Allah. Oleh karena itu, Islam tidak didasarkan pada sesuatu yang partikular namun didasarkan pada realitas absolut itu sendiri, bersamaan dengan kesatuan dan keunikannya.
شَهِدَاللهُ اَنَّهُ لَاِالَهَ اِلَّاهُوَ وَالْمَلَئِكَةُ وَاُوْلوُا اْلعِلْمِ قَائِمًا باِاْلقِسْطِ لَااِلَهَ اِلَّاهُوَ الْعَزِيْزُاْلحَكِيْمُ , اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَاللهِ الِإسْلاَمَ وَمَااخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتَابَ اِلَّا ِمنْ بَعْدِ مَاجَاءهُمُ الْعِلَمَ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاَيتِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سَرِيْعُ اْلحِسَابِ.
Artinya: “ Allah menyatakan bahwasanya tiada Tuhan selain Dia yang berhak disembah yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang berilmu (juga mengatakan yang demikian itu) tak ada Tuhan selain Dia (yang berhak disembah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Agama (yang di ridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena (kedengkian) yang ada pada mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesugguhnya Allah Maha cepat hisab-Nya”. (QS. Ali-imran: 18-19)
Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh kalangan intelektual muslim yang memang sudah seharusnya seorang muslim mengakui hal itu, tetapi orientalis barat juga mengakui hal tersebut seorang H.A.R.Gibb mengatakan: “Islam is much more than system in theology, it’s a complete civilization” Islam lebih dari sekedar ajaran teologi tetapi sebuah peradaban yang komplek. Oleh karena itu, sungguh tidak relevan dan tidak sepantasnya jika ada sebagian ummat Islam yang mengatakan bahwa Islam itu hanya seatas sebagai agama ritual saja, apalagi jika dituduh sebagai faktor penghambat kemajuan dan pembangunan, pandangan seperti ini bisa jadi mucul karena yang bersangkutan belum memahami Islam secara utuh dan komprehensif. Sebagai agama yang memiliki ajaran yang komprehensif, Islam meliputi tiga pokok ajaran yaitu aqidah, syariah dan ahlak yang diantara ketiganya memiliki hubungan yang begitu erat dan terkait sehingga merupakaan sistem yang komprehensif.
Kebenaran universal berarti bahwa konsep kebenaran yang ada di alam semesta ini hanya satu, tunggal dan Mutlak. Akan tetapi derivasi/turunan dari Kebenaran universal ini mewujud dalam berbagai bentuk dan nilai kehidupan. Kebenaran universal ini juga merupakan konsekwensi logis dari keesaan Allah Swt, sehingga nilai kebenaran ini pun bersifat transeden, esoteris dan metahistoris (terlepas dari dimensi keduniawian). Pada prakteknya ketika kebenaran mutlak dan universal yang berasal dari Tuhan yang esa ini di komunikasikan kepada manusia yang relatif, terjadi demanifestasi nilai Kebenaran, dari sebelumnya esoteris menjadi eksoteris, transeden menjadi immanen, dan dari metahistoris menjadi terhistorisasi. Tidak hanya itu, akibat dari interaksi kebenaran mutlak yang datang dari Allah Swt ini dengan manusia yang relatif, terjadi fragmentasi dan remanifestasi konsep kebenaran menjadi kebenaran-kebenaran kecil yang bersifat parsial dan kemudian terpolarisasi oleh arus kehidupan duniawi. Kebenaran-kebenaran parsial tersebut kemudian terlembagakan dalam institusi dan pranata sosial seperti paguyuban dan kelompok-kelompok ideologis sampai pada institusionalisasi nilai kebenaran parsial tersebut ke dalam pranata sosial yang bernama agama.
Sehingga konsekwensinya adalah, nilai-nilai kebenaran parsial tersebut mewujud dalam agama-agama yang di bawa oleh para utusan Allah Swt sebelum datangnya Nabi Muhammad Saw yang bertugas menghimpun kebenaran-kebenaran yang berserakan itu menjadi satu himpunan Kebenaran yang utuh. (Dimensi duniawi hanya mampu mendekati nilai kebenaran dan tidak mungkin mampu menggapai kemutlakan kebenaran, karena esensi duniawi adalah relatif). Jadi disinilah letak universalitas Islam, dia datang untuk menghimpun dan membawa kesatuan nilai-nilai agama sebelumnya menjadi suatu tatanan nilai keagamaan yang menghormati pluralitas ajaran dan tidak terjebak pada realitas realitas tradisi dan simbol masing-masing agama. Kesatuan nilai-nilai tersebut hanya bisa tercapai, jika kita melakukan penelusuran dan perenungan secara intelektual dan spiritual. Kesatuan itu pula, kita sadari berangkat dari realitas keagamaan yang berbeda, karena setiap agama diturunkan dalam rentang kontinuitas ruang dan waktu yang berbeda pula. Oleh karena itu, konsekwensinya adalah agama mengalami reinterpretasi dalam bentuk kemasan simbol-simbol dan tradisi tertentu yang heterogen. Sebagai contoh, kita mengenal sholat, puasa dan zakat dalam ajaran Islam. Kemudian kebaktian dan ajaran cinta kasih dalam doktrin ke kristenan, serta bentuk tradisi-tradisi tertentu pada agama Yahudi. Secara substansial, semua itu memiliki maksud dan tujuan yang tidak berbeda, yaitu sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan.
Selain dari hal-hal di atas, klaim kebenaran ekslusif masing-masing agama juga memberikan kontribusi yang signifikan bagi konflik antar-agama, sehingga berpotensi memunculkan perselisihan yang bersifat horizontal (sosial) maupun vertical (masalah teologis). Lalu bagaimana Islam melihat permasalahan ini? Adakah Islam juga memiliki klaim eksklusif tentang Kebenaran agamanya?. Salah satu keterangan di dalam Al-Qur’an yang sering di jadikan pijakan kebenaran eksklusif adalah:
“Sesungguhnya agama yang di ridhoi di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran:19)
Sepertinya, jika ini yang menjadikan umat islam terlihat eksklusif dan menjadikan sikap mereka bertentangan dengan inklusifitas Islam yang di ajarkan Al-Qur’an dalam QS. Al-Anbiya:107 (telah di sebutkan sebelumnya), maka agaknya kita perlu melihat kembali ayat tersebut dalam konteks yang lebih luas dan universal.
Jika melihat ayat tersebut dari segi kebahasaan, bahwa Ad-Din dalam ayat tersebut di artikan sebagai agama dan kemudian Al-Islam di artikan sebagai bentuk formal agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. Mari kita lihat ayat tersebut dalam perspektif lain, agar cita-cita universal Islam tidak sebatas wacana. Dalam tinjauan bahasa arab, kata Ad-Din itu berasal dari tiga huruf yaitu Dal, Ya’ dan Nun. Dalam khazanah Arabic, setiap kata yang terbentuk dari rangkaian tiga huruf tersebut merujuk pada pengertian “Hubungan dua pihak yang saling berinteraksi, dimana salah satu pihak lebih tinggi kedudukannya di banding pihak lainnya”. Oleh karenanya, Hutang dalam bahasa arab di namakan Ad-Dain, karena berhutang berarti ada hubungan interaksi antara si pemberi hutang (kedudukannya lebih tinggi) dengan orang yang berhutang. Begitupun dengan Ad-Din (yang dalam bahasa Indonesia di terjemahkan menjadi Agama) merupakan hubungan interaksi antara Allah Swt (kedudukannya lebih tinggi) dengan manusia sebagai makhluk ciptaanNya.
Kemudian mari kita lihat kata Al-Islam, secara etimologis Al-Islam berasal dari akar kata Aslama -yuslimu-Islaman yang berarti keselamatan, kepasrahan, ketundukan dan penyerahan diri. Di dalam Al-Qur’an kita dapati penyebutan Nabi Ibrahim sebagai seorang Muslim (isim maf’ul dari kata Islam), lalu apakah dapat di artikan bahwa Nabi Ibrahim saat itu memeluk agama Islam padahal Nabi Muhammad Saw belum di utus? Tentu tidak. Karena Islam dalam konteks tersebut di artikan sebagai kepasrahan dan ketundukan Nabi Ibrahim pada setiap perintah Allah Swt, sehingga dia layak di sebut Islam dalam artian yang universal itu. Dari sinilah kemudian kata Al-Islam bukan sekedar merujuk pada agama formal terlembagakan yang di bawa oleh nabi Muhammad Saw, melainkan sebagai sebuah sistem nilai substantif yang berasal dari Allah Swt. Sehingga ayat pada QS. Ali Imran:19 tersebut di atas dapat kita formulasikan kembali sebagai berikut:
Sesungguhnya hubungan interaksi yang benar terhadap Tuhan adalah sikap ketundukan menyeluruh terhadap-Nya (dengan mengikuti Kebenaran Mutlak dari-Nya).
Berangkat dari pengertian ini, akan terlihat titik temu antar-agama, yang sama-sama mengakui keesaan Tuhan dan coba mempraktekkan Kebenaran dari Tuhan seraya tunduk dan pasrah terhadapNya. Jika semua agama memahami esensi ini, maka Islamlah kebenaran substantif yang mampu menjadi wasilah atau sarana konsensus (titik temu atau dalam bahasa agama di sebut Kalimatun Sawa’) antar ajaran agama.
Dari sini kemudian Islam menjadi agama universal yang akseptabel dan mampu menciptakan suasana kehidupan keagamaan yang harmonis, toleran dan menjadi Rahmat bagi alam semesta (Rahmatan lil ‘Alamin).
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Torieq
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh