Resensi Buku: Nyanyian Cinta dari Bilik Pesantren
Oleh: Akhmad Syarief Kurniawan
Pegiat LTN NU Lampung Tengah
Sastra hadir dan mengembangkan diri dalam ranah makna. Sastra tidak lagi berbicara tentang ajaran formal. “Agama” dalam sastra adalah nilai-nilai akhlakul karimah sebagai pertanggung jawaban kepada peradaban yang mengembangkan kemaslahatan manusia dan alam yang mendukung kehidupannya. Maka komitmen sastra adalah keberpihakan kepada nilai tanggung jawab, kasih sayang, keadilan, kejujuran, pokoknya seluruh nilai keterpujian. Komitmen ini akan menjadi semangat bagi seorang sastrawan untuk berkarya, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Dalam konteks sastra Pesantren, salah satu Budayawan Daerah Istimewa Yogyakarta, Gus Zainal Arifin Thoha dalam bukunya berjudul: Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren, 2002, ia menyampaikan, “saya membayangkan ribuan santri dalam suatu Pesantren baik putera maupun puteri, masing-masing mereka membaca karya sastra, entah karya Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal, Omar Khayam, Jami’, Sa’di, Hafiz, atau orang lainnya, lalu diantara mereka sendiri antar kamar atau antar komplek saling mendiskusikan dan mengkomparasikan satu dengan lainnya. Minggu berikutnya, mereka berpacu dalam penulisan karya sastra. Begitu seterusnya, dan Pesantren itu sendiri menerbitkan antologi sastra (puisi, cerpen, novel, naskah drama, puisi, esai-esai, dan sebagainya.”
Dihadapan kita sekarang antologi cerpen santri pilihan Nyanyian Cinta yang diprakarsai Pesantren Basmala Indonesia (Pesantren Karya dan Wirausaha) Semarang, Jawa Tengah dan PW IPPNU Jawa Tengah. Ada dua belas santri – maksudnya santri dan mahasantri, santri betulan dan santri mbeling, namun semuanya sungguh-sungguh hadir dari dunia pesantren – yang masing-masing menyertakan satu cerpen. Secara alfabet mereka adalah sebagai berikut; KH. Ahmad Mustofa Bisri (Muhasabah Sang Primadona); Abidah El Khalieqy (Hidup El Maut!!); Ahmadun Yosi Herfanda (Wali Tiban); Anif Sirsaeba (Zikir Cinta Untuk Ananda); Arief Budi Santoso (Mas Umar); Habiburrahmann El Shirazy (Nyanyian Cinta); Mita El Rahma (Bacaan Al Quran buat Simbah); Muhammad Kasmijan (Sayap-sayap Cinta-Nya); Prie GS (Perantara); Tazkiyatul Mutmainnah (Langkah-langkah Tua); Titik Indriyana (Maaaak….!!); dan Ukhti Mulia (Peri Kecil di Hari Pernikahanku)
Andaikata barisan dua belas cerpenis kita pandang sebagai musafir yang sedang melintas padang kehidupan nyata, maka tampak paling depan adalah sang suhu, yakni Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri). Mengiringi dibelakangnya adalah para pendekar, Ahmadun Yosi Herfanda, Prie GS, Abidah El Khalieqy, dan Habiburrahman El Shirazy. Tujuh lainnya adalah cantrik-cantrik yang sedang mengikuti jalan sastra kesantrian yang telah dirintis oleh sang suhu.
Dalam cerpennya, Muhasabah Sang Primadona, hal. 13, Gus Mus, menceritakan seorang perempuan muda yang berhadapan masalah besar. Masalah ini datang justru setelah dia sukses menjadi artis tenar, kaya dan punya suami gagah, bahkan sang primadona juga sudah berjilbab, rajin ngaji, dan jadi penceramah keagamaan. Lho, kok bisa? Gus Mus memulai sebuah persoalan yang bagi kebanyakan santri adalah penyelesaian. Ya, kalau seorag ibu muda cantik, kaya, sudah mau mengaji, dan berjilbab, bukankah itu sudah ideal ? Memang demikian bagi santri yang belum fasih membaca “kitab kehidupan”. Namun bagi Gus Mus yang pernah menulis buku Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial ini, jilbab, bahkan gelar ustadzah sekalipun hanyalah simbol dan harus diberi makna yang akan memberi bobot nilai dalam kehidupan nyata. Buat apa semuanya bila kondisi ini tidak disertai dengan bobot nilai kehidupan nyata berupa kemampuan menjaga komunikasi yang konstruktif dengan suami dan anak-anaknya.
Habiburrahman El Shirazy lewat cerpennya Nyanyian Cinta, hal. 22, melukiskan hubungan penuh kasih sayang antara Hafshah dan Mahmud dengan latar kehidupan seputar Universitas Al Azhar, Mesir. Habib memang jempolan bila melukiskan situasi ditempat kuliahnya dulu itu. Dengan cerpennya ini Habib pun mengajak para santri lainnya membaca kehidupan nyata; bahwa ruh kesantrian dalam hidup ini memang harus bermuara para rahmatan lil ‘alamin. Kasih sayang dalam makna yang seluas-luasnya.
Dalam cerpen Langkah-langkah Tua, hal. 164, Tazkiyatul Mutmainnah, juga mengajak pembaca melangkah memasuki kehidupan nyata. Ketika menghadapi masalah kemiskinan, orang tidak cukup menghafal dan berfasih-fasih dengan surat Al Maa’un. Tokoh pak Romli yang sudah renta dilukiskan selalu mengakrabi anak-anak muda yang dimiskinkan oleh sistem kapitalis. Sementara tokoh aku yang berasal dari keluarga santri malah menikmati posisi sebagai sekerup dalam mesin sistem yang menghisap sesama manusia itu.
Untuk menjawab kegelisahan Gus Zainal Arifin Thoha, semoga para santri diseluruh seantero Nusantara wabil khusus di Propinsi Lampung akan lebih rajin membaca karya-karya sastra, apalagi menulis dan mempublikasikannya. Salah satu ikhtiarnya adalah membaca buku antologi Nyanyian Cinta ini, sederhana nan berkualitas. Wallahu ‘alam.
IDENTITAS BUKU :
Judul : Nyanyian Cinta Antologi Santri Pilihan
Penulis : KH. Ahmad Mustofa Bisri, Ahmadun Yosi Herfanda,
Habiburrahman El Shirazy, Abidah El Khalieqy, Prie GS, dkk
Penerbit : Republika, Pesantren Basmala Indonesia dan
PW IPPNU Jawa Tengah
Terbit : Cetakan III, Januari, 2007
Tebal : 198 Halaman
Nomor ISBN: 979-321067-2
Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, Pegiat LTN NU Lampung Tengah