Opini: Alternatif New Normal Life Perspektif Teori Defence Mechanism dan Psikoterapi Islam

Share :

Alternatif New Normal Life Perspektif Teori Defence Mechanism dan Psikoterapi Islam
Oleh: Dr. H. Yahya AD., M.Pd
Dosen UIN Raden Intan Lampung

Kehadiran Covid-19 tidak saja berhasil mengubah sikap dan tatanan hidup umat manusia secara global, tetapi juga menunjukkan sifat-sifat dasar manusia, yakni keluh kesah, resah, dan gelisah. Keluh kesah, resah, dan gelisah adalah bagian dari fitrah manusia, hal ini telah ditegaskan oleh Allah SWT., di dalam Al- Qur’an Surat Al-Ma’arij, ayat 19-21 sebagai berikut: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir,…” (Q.S.70:19-21).

Mengapa manusia bersifat keluh kesah, resah dan gelisah? Jawabannya karena adanya faktor kecemasan di dalam dirinya. Manusia dipengaruhi oleh suasana kecemasan yang dalam psikologi disebut anxiety state. Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang mendorong seseorang berbuat dan bertindak untuk menghindar dari sesuatu bahaya yang mengancam keamanan diri, termasuk jenis penyakit yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya seperti Covid-19. Bahkan kecemasan yang berlebihan, dapat menimbulkan kepanikan yang di dalam psikologi dikenal dengan istilah anxiety,neurosis, atau panic disorder yaitu gangguan panik atau panic attack yakni serangan kepanikan.2 Kondisi jiwa yang panik ini juga telah digambarkan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj, ayat: 2 sebagai berikut: “.dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, melainkan mereka panik terhadap (ancaman) azab Allah yang sangat keras (pedih). (Q.S.22:2).

Intinya bahwa manusia berkeluh kesah, resah, gelisah dan cemas disebabkan takut menderita, takut sakit, bahkan takut mati. Inilah yang disebut dengan kecemasan eksistensial (Existential Anxiety) menurut mazhab psikoterapi Eksistensial Humanistik, yakni perasaan takut, bahkan gentar terhadap sesuatu yang mengancam jiwa (kematian). Tidak jarang kita mendengar petuah bahwa kita tidak perlu takut mati, karena kematian itu sesuatu yang pasti dan tidak ada satu jiwa pun yang dapat menghindar atau lari dari maut apabila waktunya telah tiba. Kepastian itu ditegaskan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut, ayat 57, Surat Al-Anbiya, ayat: 35, dan Surat An-Nisa ayat: 78, sebagai berikut:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Q.S.29:57).

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (Q.S.21:35).

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh,…” (Q.S.4:78).

Bahkan waktunya-pun telah ditentukan tanpa ada penangguhan, seperti ditegaskan dalam Surat Al-Munafiqun, ayat: 11 sebagai berikut:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan,” (Q.S.63:11)

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di atas, dapat dipahami bahwa peristiwa kematian (ajal) adalah sesuatu yang sangat pasti, akan tetapi tidak jarang manusia – oleh faktor kecemasan – masih memohon dipanjangkan umur, bahkan sampai pada detik-detik menghadapi sakaratul maut-pun masih memohon penangguhan, Al-Qur’an Surat Al-Munafiqun, ayat 10 sebagai berikut: lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?” (Q.S.63:10).

Mengapa manusia pada umunya merasa cemas menghadapi kematian? Jawabannya bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) merasa belum cukup amal kebaikan, 2) belum berpengalaman atau belum pernah merasakan mati, sehingga merasa akan menghadapi sesuatu peristiwa yang sangat menegangkan dan sulit untuk dibanyangkan, 3) merasa belum cukup informasi, karena semua yang telah mati dan dikubur tidak ada satu-pun yang kembali membawa berita tentang pengalamannya, 4) terputusnya kelezatan hidup yang selama ini dinikmati. Maka satu-satunya yang dapat menolong kita adalah keimanan dan keyakinan yang benar (haqqul yaqin) tentang kepastian alam akhirat beserta dinamika dan romantikanya, gambaran penderitaan dan kenikmatannya, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat:87 dan Az-Zalzalah ayat:7-8 sebagai berikut:

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (Q.S.4:87).

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya pula,” (Q.S.99:7-8).

Oleh karena kematian adalah sesuatu yang pasti, maka kita dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam sabdanya: اللذات م ذ كرھا ذ اكثروا” perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan hidup”. Mengingat bahwa hidup ini ibarat sedang menempuh perjalanan dan sejauh-jauh kita berjalan pasti ada batasnya. Demikian juga ajal, sepanjang-panjang usia manusia pasti ada batas, yakni ajal. Orang bijak berkata bahwa untuk sukses dalam menempuh perjalanan diperlukan beberapa syarat, antara lain:1) mengetahui tujuan beserta alamat yang jelas, 2) mengetahui rute perjalanan yang akan ditempuh, 3) siap kendaraan yang akan mengantarkan, dan 4) siap bekal dalam menempuh perjalanan. Demikian pula halnya dengan persiapan menuju ajal, harus jelas alamat yang dituju, jelas rute yang ditempuh, siap kendaraan yang akan ditumpangi, dan siap bekal menempuh perjalanan panjang. Andai syarat itu tidak terpenuhi, maka bersiaplah sengsara di tengah perjalanan yang panjang di yaumil akhir.

  1. ANCAMAN COVID19 DAN TEORI DEFENCE MECHANISM (MEKANISME PERTAHANAN DIRI)

Menghadapi wabah Covid19 pada umumnya manusia telah dibuat cemas bahkan panik. Hal itu terlihat jelas dari sikap dan perilaku yang ditampilkannya dalam merespons ancaman virus yang sangat mematikan tersebut. Menurut teori Psikoanalisis (Sigmund Freud), terdapat beberapa jenis kecemasan, antara lain: 1) kecamasan realistis, 2) kecemasan moral, 3) kecemasan neurotik (anxiety, neurotic) dan 4) kecamasan neurosis (anxiety, neurosis).

Pertama, kecamasan realistis adalah rasa takut terhadap ancaman bahaya dari dunia eksternal (luar diri), dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada. Misalnya melakukan kegiatan cuci tangan, menggunakan masker, disinfektan dan antiseptik, menjaga jarak (social distancing), untuk menghindari penularan virus corona (Covid-19). Kedua, kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati nurani. Bagi orang yang hati nuraninya masih berfungsi dengan baik, maka cenderung merasa berdosa apabila tindakannya berlawanan dengan noram sosial dan norma hukum maupun agama. Ketiga, kecemasan neurotik (anxiety, neurotic) atau disebut juga instinctual anxiety adalah kecemasan yang dimunculkan oleh rasa takut terhadap ancaman atau hukuman yang disebabkan oleh tindakannya memperturutkan naluri atau hawa nafsu yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Keempat, kecamasan neurosis (anxiety, neurosis) adalah gangguan kecemasan dalam bentuk neurosa dengan gejala utama perasaan ketakutan secara terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah mengancam, yang sebenarnya tidak nyata.

Dengan kata lain, kecemasan neurosis ini merupakan gangguan kecemasan yang disebabkan oleh munculnya kecemasan berat secara berulang- ulang, sehingga dapat menimbulkan kepanikan. Bentuk kepanikan dapat dipicu oleh berita-berita pilu yang dialami oleh sebagian penderita Covid-19. Betapa tidak, jika dibayangkan orang yang sudah dinyatakan posif tertular virus corona dan masuk rumah sakit, seakan semuanya telah berakhir. Tidak boleh dibesuk oleh siapapun selain petugas medis, itupun diperlihatkan hanya dibalik kaca atau dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang berlapis-lapis. Terbayang andaikan ia mati, maka seolah-olah mati sia-sia tanpa disaksikan oleh keluarga dan sanak famili. Mayatpun dianggap begitu mengerikan, sampai-sampai harus disemprot dengan disenfektan, kain kafannya dari plastik yang berlapis-lapis, kemudian dimasukkan dalam peti mati, lalu dipaku, dilakban dan disemprot lagi dengan disinfektan. Tidak hanya sampai di situ, proses pemakamannya tanpa disaksikan oleh keluarga, sanak saudara bahkan bayatnya pun masih ditolak oleh sebagian warga masyarakat. Gambaran peristiwa seperti inilah yang banyak menghantui pikiran dan perasaan kebanyakan kita akhir-akhir ini, sehingga tidak jarang terasa sangat mencekam dan mengerikan. Namun di satu sisi kita pun berkeinginan untuk bangkit dan berusaha agar segera terbebas dari bahaya (kecemasan) tersebut. Secara psikologis, ketika manusia tidak mampu lagi mengatasi dan mengendalikan kecemasannya secara langsung, realistis dan rasional, maka di sinilah ego manusia akan menempuh cara-cara yang tidak realistis yang dikenal dengan istilah Defence Mechanism atau mekanisme pertahanan diri.

Disadari atau tidak, pada umumnya manusia acapkali menggunakan mekanisme pertahanan diri ini pada saat menghadapi tantangan dan kesulitan di dalam perjalanan hidupnya. Paling tidak terdapat sembilan jenis mekanisme pertahanan diri secara psikologis menurut teori psikoanalisis, meliputi: 1) pengingkaran atau penyangkalan, 2) proyeksi, 3) fiksasi, 4) regresi, 5) sublimasi, 6) represi, 7) displacement, 8) formasi reaksi, dan 9) rasionalisasi. Apabila teori tersebut diaplikasikan dalam situasi dan kondisi ancaman covid.19, maka akan tergambar perilaku-perilaku sebagai berikut: Pertama, pengingkaran atau penyangkalan, yakni upaya manusia mengatasi kecemasan dengan cara menutup mata terhadap realitas yang mengancam atau proses membutakan diri terhadap kenyataan. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pernyataan, antara lain: a) corona tidak akan masuk ke Indonesia, b) kalau toh berhasil masuk, maka corona akan sembuh sembuh sendiri, c) tidak perlu pakai masker kecuali bagi yang sakit, d) jika ada yang meninggal itu juga tidak seberapa. Kedua, proyeksi adalah upaya mengatasi kecemasan dengan cara mengalamatkan sifat-sifat tertentu kepada orang lain. Misalnya, berhubung kita masih sulit memprediksi kapan Covid-19 berakhir, sementara dampaknya semakin luas dan nyata, maka kita mencoba menunjuk negara-negara lain yang jauh lebih parah dan lebih tinggi tingkat kematiannya, seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, Belgia dan lain-lain. Ketiga, fiksasi adalah upaya mengatasi kecemasan dengan cara terpaku pada langkah pertama karena takut terhadap resiko yang lebih besar apabila mengambil langkah lebih jauh. Misalnya: negara-negara lain sudah memberlakukan lock-down, sementara kita masih berkutat pada tahap cuci tangan, pakai masker, jaga jarak (social distancing), karantina atau isolasi mandiri, sembari menangani kasus yang ada. Namun ternyata hasilnya semakin parah.

Keempat, regresi merupakan upaya mengatasi kecemasan dengan cara mundur ke fase yang lebih awal. Misalnya kita baru saja menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tiba-tiba kita anulir sendiri dengan istilah relaksasi atau pelonggaran dan kembali lagi ke pola perilaku awal seperti cuci tangan, pakai masker, jaga jarak (social distancing), karantina atau isolasi mandiri, sembari menangani kasus yang ada.

Hal ini ditempuh karena takut roda perekonomian semakin anjlok atau bahkan mandeg. Akan tetapi kenyataannya sebagian warga masyarakat tidak lagi mengindahkan anjuran protokol kesehatan, dan akibatnya menjadi semakin parah. Kelima, sublimasi yakni upaya mengatasi kecemasan dengan cara konpensasi atau pengalihan perhatian. Misalnya anjuran untuk tetap beraktivitas, terutama bagi yang berusia 45 tahun ke bawah agar tetap berkarya dan produktif, lupakanlah sejenak Covid.19 dan tetaplah fokus pada pekerjaan. Keenam, represi adalah upaya mengatasi kecemasan dengan cara menekan rasa takut dan traumatik dengan berusaha melupakannya. Misalnya, menganggap corona tidak ada dan tidak pernah ada, tetaplah semangat dan teruslah beraktivitas. Walaupun pada kenyataannya kita tidak pernah benar-benar mampu melupakannya karena dampaknya sangat nyata di sekitar kita. Menurut Sigmund Freud, sesuatu yang dipaksakan untuk melupakannya, justru semakin melekat dalam ingatan.

Ketujuh, displacement adalah upaya mengatasi kecemasan dengan cara pengalihan objek, karena objek yang sesungguhnya yang menjadi sumber kecemasan tidak mampu diatasi. Misalnya: pertambahan kasus positif per 31 Mei 2020 sebanyak 700 orang sehingga total kasus positif menjadi 26.473. Selanjutnya data tersebut tidak kita perhatikan, akan tetapi perhatian kita fokus pada data tentang perbandingan antara yang meninggal (1.613) dengan data yang sembuh (7.308). Berdasarkan data tersebut, kita masih bisa menghibur diri bahwa yang sembuh masih jauh lebih besar ketimbang yang meninggal, dengan kata lain covid.19 masih mampu kita redam. Ada juga yang mencoba membandingkan antara sifat-sifat corona dengan sifat seorang istri, yang menurut anggapannya sulit diatur dan tidak bisa dikendalikan. Meskipun perbandingan tersebut tidak comparable, namun tetap dicoba untuk dibandingkan. Kedelapan, formasi reaksi merupakan upaya mengatasi kecemasan dengan cara melakukan tindakan yang berlawanan. Mislanya; ajakan untuk untuk berdamai dengan covid.19 meskipun pada kenyataannya serangan covid.19 masih sangat gencar dan enggan untuk berdamai.

Seperti ungkapan pak JK, jika hanya satu pihak yang ingin berdamai, sementara pihak lain tidak mau, tentu tidak akan pernah ada perdamaian yang sesungguhnya. Kesembilan, rasionalisasi adalah upaya mengatasi kecemasan dengan cara menciptakan alasan-alasan yang diupayakan masuk akal agar kenyataan yang mengecewakan tidak terlalu menyakitkan. Di sinilah posisi konsep NEW NORMAL LIFE yang kita pilih saat ini. Jika sebelumnya kita telah terbiasa dengan kondisi kehidupan yang normal, tanpa protokol kesehatan yang ketat, tanpa bayang-bayang kecemasan, tanpa beban, lalu tiba-tiba menjadi tidak normal karena ancaman Covid19 sebagaimana yang kita alami akhir-akhir ini. Kemudian kita merasa sudah tidak betah dan sudah tidak sabar lagi ingin segera mengakhiri ketidaknormalan ini, sementara pada kenyataannya kita belum mampu mengatasi ancaman Covid.19, maka kita mencoba merasionalkan dengan istilah New Normal Life. Walaupun sesungguhnya uapaya ini belum benar-benar normal secara realistis seperti yang kita inginkan, akan tetapi paling tidak untuk sementara sudah mampu meredam kecemasan yang ada. Dengan kata lain, jika covid19 tidak mampu kita atasi secara tuntas dalam waktu yang relatif singkat, maka kita yang harus mengalah dan menyesuaikan diri dengan menjalankan protokol kesehatan secara baik dan benar serta selalu menjaga imunitas diri. Lagilagi Allah SWT menunjukkan sfat asli manusia yang tidak sabar dan tergesa-gesa ingin segera terbebas dari musibah 4 sekaligus membuktikan bahwa manusia pada dasarnya lemah dan tidak berdaya menghadapi makhluk Allah bernama covid-19.

  1. NEW NORMAL LIFE PERSPEKTIF PSIKOTERAPI ISLAM

Suatu hal yang harus diyakini bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan maksud agar benar-benar menghambakan diri, tunduk dan patuh mengabdi secara ikhlas kepada-Nya. Meskipun peran yang diembannya sebagai khalifah di muka bumi, namun manusia harus tau diri dan sadar diri bahwa statusnya tidak lebih dari sekedar hamba dan tidak pantas melampaui kewenangannya sebagai hamba. Maka tugas-tugas kehambaan itu haruslah benar- benar dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Untuk membentuk karakter dan kualitas kehambaan itu, Allah menciptakan kehidupan dunia dengan segala dinamika dan romantikanya sebagai sarana ujian. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mulk ayat:2 dan Al-Ankabut ayat: 2 sebagai berikut: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Q.S.67:2).

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?(Q.S.29:2). Ditegaskan bahwa Allah menciptakan mati dan hidup sebagai ujian dan bentuknya pun beraneka ragam, bisa dalam bentuk suka maupun duka, nikmat atau musibah, kesenangan atau kecemasan. Seperti dikemukakan dalam Al- Qur’an Surat Al-Baqarah ayat: 155 sebagai berikut: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S.2:155).

Ditegaskan dalam ayat tersebut di atas bahwa Allah SWT tidak hanya menguji dengan memberikan cobaan berupa kecemasan atau ketakutan, tetapi juga memberikan solusi dengan cara bersabar. Namun untuk dapat bersabar harus dilandasi oleh iman dan taqwa. Adapun tahapan solusi dimaksud tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat: 200 sebagai berikut:  “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (Q.S.3:200).

Berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka solusi untuk mengatasi kecemasan terutama ketakutan dalam menghadapi covid-19 antara lain dengan: 1) terapi iman, 2) terapi sabar, 3) terapi rabithah, 4) terapi takwa, dan 5) terapi tawakkal. Pertama, terapi iman yaitu hadapi segala bentuk problem kehidupan ini, khususnya wabah covid-19 dengan kekuatan iman. Sebuah keyakinan yang pasti

bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari Qudrat dan Iradat Allah. Kepastian itu tertera dalam Al-Qur’an Surat: Al-Hadid ayat: 22, At-Taghabun ayat: 11, dan At-Taubah ayat: 51. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Q.S.57:22).

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S.64:11).

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, ” (Q.S.9:51). Kedua, terapi sabar yakni kita hadapi musibah ini dengan kekuatan sabar, meliputi: 1) sabar dalam menunaikan kewajiban karena Allah dalam berbagai kondisi dan keadaan, b) sabar dalam meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah (meninggalkan dosa & maksiat), 3) sabar dalam melaksanakan amalan2 sunnah yang dapat mengantarkan kita lebih dekat dengan Allah untuk meraih cinta dan kasih syang-NYA. Memilki sifat sabar merupakan perintah Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya yang termaktub dalam beberapa surat dan ayat Al-Qur’an antara lain: surat Ali Imran ayat: 200, Al-Baqarah ayat: 45 & 155, Al-Insan ayat: 12 & 24, sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu,” (Q.S:3:200).

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (Q.S:2:45). “dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S:2:155).

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.” (Q.S:76:24).

“Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera,” (Q.S:76:12).

Ketiga, terapi rabithah dalam pengertiannya secara umum, yakni dengan cara menghubungkan diri atau mendekatkan diri kepada Allah melalui berbagai wasilah, diantaranya dengan sabar dan shalat. Allah memerintahkan agar kita menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Namun shalat yang mampu menjadi penolong dan berfungsi sebagai obat bagi kecemasan dan ketakutan adalah shalat yang khusyu’.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (Q.S:2:45). Selain syarat khusyu’ harus terpenuhi, shalat yang dikerjakan harus secara terus menerus, baik dalam bentuk rutinitas amaliahnya maupun tingkat penghayatan dan aktualisasi nilai-nilai shalatnya dalam kehidupan (shalat daim).

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” (Q.S. 70:19-23).

Shalat yang dikerjakan dengan khusyu’ dan secara terus menerus selain dapat berfungsi sebagai obat, juga mampu mencegah seseorang dari perbuatan dosa dan maksiat.

“…dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S:29:45).

Selain rabithah dengan sabar dan shalat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah dengan zikrullah, bahkan esensi dari ritual shalat itu sendiri dapat dikatakan seluruhny adalah zikrullah. Mulai dari niat kemudian proses bersuci dan pelaksaan serta terpenuhinya semua syarat dan rukunnya tidak terlepas dari zikir kepada Allah. Hingga usai mejalankan ritual shalat pun proses zikrullah tidak boleh terputus. Jika hal-hal tersebut telah terpenuhi, barulah ritual shalat yang kita laksanakan benar-benar fungsional serta efektif menjadi penolong dan obat penyembuh dari keresahan, kegelisahan dan kecemasan jiwa. Inilah yang terkandung dalam perintah-Nya pada surat: Tha-Ha ayat: 14, An-Nisa ayat: 103, dan Ar-Ra’d ayat: 28, sebagai berikut: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (Q.S. 20:14)

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S.13:28).

Keempat, terapi takwa yakni selalu waspada dan penuh kehati hatian dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan cara mematuhi dan menjalankan segala rambu-rambu yang telah digariskan oleh Allah demi meraih kesuksesan hidup dunia dan akhirat. Sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an suart Ali Imran ayat: 102 sebagai berikut:  (Q.S.3:102)

Buah dari terapi takwa adalah akan mendapatkan petunjuk, ampunan, dan pertolongan serta jalan keluar dari permasalahan hidup yang dihadapi serta mendapat karunia yang besar dari Allah. “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan(pertolongan), dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa) mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar” (Q.S. 8:29).

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar” (Q.S.65:2).

Kelima, terapi tawakkal yakni penyerahan diri secara total kepada Allah setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai kemampuan dan tutunan syara’. Inilah yang diajarkan oleh Allah apabila kita ditimpa musibah hendaknya bersabar dan berserah diri (istirja’) kepada-Nya. Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Q.S.9:51). .dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. (Q.S.65:3)

Apabila kita mampu melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, maka kita akan mampu keluar dari himpitan musibah yang sedang melanda. Sebagaimana janji Allah sebagai berikut: Dan orang-orang yang berjihad (berjuang dengan sungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (Q.S.29:69). Intinya fokus pada dua hal penting yang harus kita jaga dalam memasuki Era New Nrmal Life, yaitu “perkuat iman dan imun” insyaAllah selamat dunia akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *