Keseimbangan (Keharmonisan) dalam Kehidupan Baru (New Normal)
Oleh : Harto Wibowo, SE, MM
Kabag TU Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[1]
“Yang paling Nampak pada diri manusia adalah kelemahannya, maka barang siapa melihat kelemahan dirinya sendiri, ia akan menggapai keseimbangan terhadap perintah Allah”. (Imam Syafi’i)
Al Hasan Al Bashri berkata, “Berpikir satu jam lebih baik dibandingkan ibadah satu tahun. Perkataan siapa saja yang tidak mengandung hikmah maka itu semua percuma, siapa yang diamnya tidak berfikir maka itu termasuk syahwat. Barang siapa yang tidak berfikir mengambil pelajaran maka itu termasuk permainan.”
Berfikir (tafakur) memaknai keseimbangan (kerharmonisan) akan kehidupan baru (new normal); Terkadang untuk menjadi agar kehidupan teratur diperlukan rasa seperti halnya rasa cinta, rasa tegang, sedih, gelisah bahkan marah atau ketidak percayaan antara satu dengan lainya bahkan antara kelompok (komunitas) sekalipun, hal semacam ini menjadi sangat lumrah karena sifat-sifat kehidupan itu telah ada dalam setiap jiwa manusia, bahkan terjadinya kelompok-kelompok antara golongan satu dengan golongan yang lainya ini akibat perbedaan sifat-sifat kehidupan manusia.
Kehidupan komunal amatlah penting bagi ras manusia. Sebab kalau tidak, tidak akan sempurna eksistensi mereka serta kehendak Allah agar manusia memakmurkan alam dan pilihan-Nya agar mereka menjadi khalifah (Ibnu Khaldun). Bermula dari sifat-sifat kehidupan individu manusia yang mencari keseimbangan (keharmonisan), timbul pula paham-paham aliran dan komunitas yang pada akhirnya mengukuhkan pandangan-pandangan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainya, bahkan pertentangan-pertentangan demi kepentingan akan timbul juga dengan sendirinya, sehingga akan bermuara pada sebuah konflik sebagai sesuatu yang pasti terjadi.
Tafakur (merenung) akan keseimbangan (keharmonisan) dalam kehidupan baru (new normal), dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengambil langkah bijak, yang perlu kita ketahui bahwa setiap orang selalu berhubungan atau interaksi sosial antara satu dengan yang lainya bahkan hubungan komunitas satu dengan komunitas lainya semata-mata untuk saling mengenal sesuai syari’at (bermuamalah) dalam artian umum, sehingganya Allah SWT berfirman;
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS; Al Hujurat : 13)
Perlu disadari bahwa kehidupan dalam menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda, menerima kebenaran cukup mengikuti (bertaqlid), sedangkan menemukan kebenaran akan diperoleh melalui perenungan (tafakur), sedangkan keduanya saling mengisi dan melengkapi, sebagaimana Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata “Janganlah kamu mengenal dan mengikuti kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kamu akan mengetahui siapa tokohnya.”
“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS; 2 : 269)
Alam semesta ini secara taat mengikuti aturan tertentu yang disebut oleh Sang Maha Pencipta/Maha Pengatur. Ketaatan itulah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut Sunnatullah) yang memungkinkan alam semesta ini dapat kokoh, rapi, dan seimbang. Bisa dibayangkan akibat bila bumi suatu ketika membangkang tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditetapkan-Nya untuknya. Pastilah alam raya ini akan rusak binasa.[2]
Jika langit dan bumi taat kepada aturan Sang Maha Pencipta, maka tentulah manusia akan sama halnya dengan alam semesta ini, karena manusia adalah juga ciptaan-Nya. Semestinyalah manusia wajib memiliki sifat ketaatan pada peraturan yang telah dibuat Allah untuknya (dalam bahasa Al-Qur’an disebut Taqwa), karena jika tidak maka manusia tidak akan dapat “kokoh, rapi , dan seimbang”, sehingga akhirnya menyebabkan jiwanya sakit. Ia akan dilanda oleh rasa khawatir dan gelisah (stress), tidak dapat ikhlas, tidak dapat khusuk, menghalangi sabar, dan lain sebagainya.[3]
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS; 2 : 38)
Tafakur (merenung) bagian dari aktivitas kehidupan baru (new normal) ingin menertibkan, mengatur, dan berpikir logis yang dilakukan oleh seseorang, sebagaimana yang di instruksikan oleh protokol kesehatan terkait covid 19, adalah sesuatu yang baru bagian dari kehidupan masyarakat, sehingganya sesuatu yang baru akan tidak baru kalau kebiasaan itu menjadi budaya (kebiasaan) di lakukan oleh masyarakat, dia (masyarakat) mampu mengurutkan, menata, mengatur dan merapihkan hal-hal yang baru ada disekitarnya, mengetahui prioritas-prioritasnya, serta menjadikan hidupnya selalu selaras dan serasi dengan yang lainnya.
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS; 4 : 69)
Ciri peradaban manusia atau eksistensi manusia dalam bermasyarakat ditandai dengaan keterlibatannya dalam suatu komunitas tertentu. Dalam setiap membicarakan komunitas perlu pemahaman adanya teori organisasi yang selalu membahas tiga dimensi pokok, yaitu dimensi teknis, dimensi konsep, dan dimensi manusia. Dimensi teknis menekankan pada kecakapan yang dibutuhkan untuk menggerakan organisasi, berisi keahlian-keahlian manajer. Dimensi konsep merupakan motor penggerak dimensi teknis dan sangat erat hubungannya dengan dimensi manusia. Dimensi manusia, mempertaruhkan bahwa manusia dalam organisasi adalah suatu unsur yang kompleks, dan oleh karenanya perlu adanya suatu kebutuhan pemahaman teori yang didukung oleh riset yang empiris sangat diperlukan sebelum diterapkan dalam mengelola manusia itu secara efektif.[4]
Hubungan sosial antara satu dengan yang lainya terkadang luput bahwa masing-masing kita mempunyai hati dan perasaan yang berbeda-beda oleh karena itu kesadaran ini tentunya kita miliki, (sense of belonging); agar hidup tidak melulu memikirkan diri sendiri karenanya kita butuh orang lain untuk berinteraksi. Rasa memiliki baik itu cinta terhadap pasangan yang di tandai dengan menjaga perasaannya dan lain sebagainya, atau semisal juga memiliki rumah tempat tinggal, rumah tempat ibadah, dan kantor yang tentunya juga akan menjaga kebersihan dan keindahan atau kenyaman serta keamanan serta lainya sebagainya. Contoh lainya seseorang karyawan yang merasa memiliki (sense of belonging) tempat dia bekerjanya di sebuah perusahaan atau kantor, tentunya dia akan melaksanakan pekerjaan dengan baik, bukan karena takut terhadap atasannya sehingga apabila di diawasi dia bekerja dengan baik, sedangkan kalau tidak diawasi dia tidak melaksanakan pekerjaannya, demikian besar rasa memiliki (cinta) akan sangat berdampak pada Performance (kinerja, hasil kerja atau prestasi kerja) dengan kata lain bentuk ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT dan Rasululloh SAW adalah salah satu indikator seseorang yang mempunyai sense of belonging yang baik, kenapa dikatakan demikian karena sesuatu yang mustahil kalau seseorang itu sudah tertanam kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW dia tidak terpancar dalam perbuatan atau tindakan kesehariannya, oleh karena itu kesadaran akan cinta terhadap sesuatu menandakan dia akan menjaga segala yang dia cintainya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS; Muhammad”. (47) : 33)
Untuk mencari keseimbangan (keharmonisan) bentuk dari ikhtiar mencari suasana kondusif adalah kita harus tahu apa itu kesedihan, atau kegundahan, kekacauan atau kegelisahan tidak ada kata kermonisan, atau keseimbangan, ketenangan tanpa ada kata-kata yang membuat kontradiktif di atas, seperti kita tahu bahwa Allah SWT selalu menciptakan semua yang ada di dunia ini dengan berpasang-pasangan; ada laki-laki dan perempuan, ada siang dan malam, ada kesedihan ada kesenangan serta ada positif dan negatif seperti Allah SWT berfirman;
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. (QS; : 45)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS; 3 : 190)
Sudah naluri manusia bahwa mencari keseimbangan (keharmonisan) hidup adalah hal yang lumrah, untuk mencari keharmonisan setidaknya kita perlu mensikapi gejolak-gejolak yang ada, sehingga kita harus memahami terlebih dahulu apa itu persoalan, sebuah keniscayaan kalau hidup ini tidak mempunyai gesekan-gesekan antara satu dengan lainnya, semisal gesekan dengan keluarga, teman, atasan dan bawahan serta banyak lagi yang lainya. Itu masalah antara orang dengan orang, ada juga masalah antara kelompok sosial dengan kelompok sosial lainya.
Semua itu wajar-wajar saja apa bila kita bersikap tenang dan sabar. Ada satu hal yang perlu dingat bahwa keseimbangan (keharmonisan) hidup memerlukan perjuangan dan pengorbanan itu pun tidak cukup, karena kita harus melakukan pendekatan-pendekatan Illahiyah (Do’a), terkadang kita lupa bahwa Iblis laknatullah ikut menggoda manusia, dia (iblis) tidak suka dengan jalan lurusnya manusia (keharmonisan, ke-taqwaan seseorang serta kerukunan antara satu dengan lainya dan lain sebaginya), dia (iblis) lebih suka dengan kekacauan antara satu dengan lainya, sehingga kita terkadang selalu luput untuk mewaspadainya, seperti firman Allah SWT berikut;
iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).
(QS ; Al-A’raf : 16-17)
Nasehat Imam Ibnu Qayyim Al Jauzi; Do’a Disertai Kesabaran Abu Al Faraj berkata :
“Seluruh ujian-ujian itu memiliki akhir, yang waktunya hanya diketahui oleh Allah SWT, oleh karena itu diharuskan bagi orang yang sedang diuji untuk terus bersabar sampai habisnya waktu ujian tersebut.
Hanya saja orang berdo’a tidaklah selayaknya meminta untuk dipercepat hilangnya ujian, akan tetapi hendaklah dia beribadah dengan terus bersabar, berdoa dan memutus berbagai materi yang menjadi penyebab datangnya ujian itu, karena kebanyakan ujian itu datang sebagai akibat.
“Telah Nampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS; Ar Rum : 41)
Adapun orang yang meminta dipercepat (hilangnya ujian) maka dia menyaingi Sang Pencipta, dan ini bukanlah bentuk peribadatan. Sesungguhnya kedudukan yang paling tinggi adalah keridhaan, sementara kesabaran merupakan sebuah keharusan.
“Jika hamba-Ku patuh dan menerima atas segala keputusan-Ku, maka AKU memberikan kemudahan atas segala urusannya dan mengukuhkan kekuatannya serta melapangkan dadanya.” (Hadits Qudsi)
Siapa saja yang tidak rela terhadap ketetapan-Ku dan tidak berlaku sabar terhadap cobaan-Ku, dan tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Ku, maka carilah olehmu Tuhan selain Aku! (Hadits Qudsi)
Terus meminta untuk dihentikannya ujian dengan banyak berdo’a adalah sebaik-baiknya sandaran. Sementara pembangkangan terhadap ujian merupakan hal haram dilakukan. Pada akhirnya pahamilah bebagai hal ini, karena ia dapat memudahkan setiap ujian. Wallahualam
Refrensi:
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Ir.Permadi Alibasyah (Bahan Renungan Kalbu) Pengantar mencapai pencerahan Jiwa (penerbit Cahaya Makrifat Bandung 2005),h. 38
[3] Ibit, h. 38
[4]Muhammad Abdul Jawwad (Menjadi Manajer Sukses) (Penerbit Gema Insani, Jakarta 2004), h. 169