Hakikat Rumah Tangga
Oleh: Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Pernikahan adalah wadah yang legal, dikatakan sebagai wadah yang legal adalah upacara sacral, dimana menghalalkan dua si joli yaitu laki-laki dan perempuan yang terbukti secara nyata bukan satu nasab, dan jika dilakukan sebuah hubungan biologis disebuh perzinaan dan bukan pernikahan.
Membangun rumah tangga sejatinya seperti halnya membangun sebuah bangunan atau rumah yang kokoh dan teguh dalam ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalidhan), mulai dari memilih pasangan yang ideal menurut syara’ agar tidak ada penyesalan di kemudia hari, jika sudah benar-benar cocok, maka melakukan khitbah sebagai tanda keseriusan, kemudian memastikan bahwa usia telah sampai pada batas ninimal dibolehkannya menikah sebagai tanda kedewasaan dan kematangan serta kemantapan dalam berfikir, setelah itu mempersiapkan mahar yang akan diberikan kepada calon pasangannya, lantas kemudian menyiapkan segala administrasi dalam sebuah pernikahan yang lehal secara legal, hal ini merupakan syarat awal masuknya sebuah pintu gerbang yang dijaga langsung secara legal olehKantor Pencatat Pernikahan (KUA), yang bertanggung jawab secara administrasi.
Setelah semua syarat dan rukun terpenuhi, kemudian melakukan satu akad nikah yang disaksikan oleh dua saksi dan adanya wali, lantar masuk gerbang sebuah bangunan secara legal, disana harus menjalankan segala hak dan kewajibannya, seperti kepemimpinan, nafkah, dan perwalian, jika dalam ruang ini terpenuhi, maka terwujuad keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sedangkan problem dalam rumah tangga adalah ketika tidak tercapainya sebuah hak dan kewajiban secara baik berdasarkan pada ketentuan syara’. Misalnya dalam hal kepemimpinan, suami sebagai kepala rumah tangga namun tidak menjalankan kewajibannya, maka akan merugikan haknya istri sebagai yang dipimpinnya. Hal lain suami berkewajiban memenuhi nafkah dalam rumah tangga lantas kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka akan merugikan haknya istri yang seharusnya diopeni dan terjamin kehidupannya. Begitu juga dalam hal perwalian, orang tua yang seharusnya berkewajiban sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap anaknya, lantas kemudian tidak dapat menjadi penanggungjawab dan tidak dapat menjadi uswatun hasanah bagi anak-anaknya, maka akan merugikan hak anak yang seharusnya dapat hak dari orang tuanya. Begitulah isi dalah sebuah bangunan yang harus terpenuhi, jika hal tersebut tidak ada problem, maka akan terwujudlah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Namun demikian, gedung yang dibangun sedemikian kokoh bangunan ini juga menyediakan pintu keluar yang disebuah perceraian walaupun jalan ini emergency exit (pintu darurat) yang tidak terbuka setiap saat dan tidak dianjurkan dalam Islam, bahkan merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah swt., untuk keluar pintu tersebut, haruslah mengajukan ke Pengadilan Agama yang sejatinya sangat ramah, karena pada saat itu ada sebuah mediasi (yang tujuannya adalah untuk mendamaikan agar tidak terjadi sebuah perceraian), jika tidak lulus dalam tahap ini, atau permasalahan problem yang diajukan tidak dapat diselesaikan secara mediasi, maka tetap akan dibuka pintu darurat (emergency exit) dan terpaksa Pengadilan Agama tidak segan untuk mengijinkan keluar dari pintu tersebut.
Setelah ia keluar dari pintu yang disebut perceraian yaitu putusnya hubungan rumah tangga yang telah dibangun, maka lepaslah hak dan kewajiban suami istri, yang ada adalah hak waris baik bagi suami/istri ataupun kepada anak-anaknya, namun demikian, sebelum adanya pembagian hak waris jika suami meninggal atau pembagian harta bersama selama menikah, maka ada masa iddah, yaitu masa jenjang tidak dibolehkan bagi istri untuk menikah sebelum masa iddahnya terpenuhi, itulah sebuah bangunan yang digambarkan dalam sebuah bangunan rumah tangga.
Ada bebderapa problematika rumah tangga di dalamya, misalnya adanya poligami, yaitu suami menikah dengan beberapa istri, sehingga harus membagi kasih sayangnya dengan cara yang adil, nikah mut’ah dengan cara menikah dengan kurun waktu tertentu dengan alasan tidak lagi mampu menahan hawa nafsu, nikah dini yaitu sebuah nikah yang belum mencapai batas minimal usia pernikahan, nikah sirri atau nikah di bawah tangan, yaitu sebuah pernikahan yang dialkukan dengan cara tidak melegalkan sebuah pernikahan di KUA, nikah misyar yaitu sebuah pernikahan yang dilakukan kebanyakan oleh para Saudagar Arab yang menikah di beberapa panca Negara dengan selalu memberikan nafkah Maliyah dan meninggalkan nafkah bathin selama ia belum kembali, poliandri yaitu sebuah pernikahan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan laki-laki yang lebih dari satu, Wallahua’lam