ADHKI Sukses Gelar Seminar Nasional Keniscayaan Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”

Share :

Bandar Lampung: Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam (ADHKI) Indonesia hari ini Kamis, 21 Mei 2020 telah sukses melaksanakan Seminar Nasional secara online melalui aplikasi Zoom Meeting dan juga disiarkan secara Live di Youtube ADHKI. Sebelumnya juga sukses menggelar seminar Ketahanan Keluarga dimasa Pandemi Covid 19 dengan pembicara Dr. Nurnazli, M.A. g., Gandhung Fajar Panjalu, M.H.I., dan Dr. Atun Wardatun, M.A., dimoderatori oleh Abdul Qodir Zaelani, M.A.

Pada Seminar Nasional kali ini, ADHKI menghadirkan narasumber yang kompeten dengan tema besar yang diangkat, yakni Keniscayaan Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Narasumber tersebut YM Dr. H. Yasardin, SH., M.Hum. (Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung RI), Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA. (Ketua Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam Indonesia);
dan Prof. Dr. KH. Masnun Tahir, M.Ag. (Guru Besar Ilmu Perdata Islam UIN Mataram).

Pada pemaparan materinya, YM Dr. Yasardin menjelaskan bahwa ada beberapa pola pembaruan hukum keluarga yang selama ini berlangsung di Indonesia, yakni melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Mahkamah Agung, Qanun (Aceh), Fatwa MUI, dan Yurisprudensi atas putusan Hakim.

“Pada konteks Yurisprudensi, hakim-hakim agama di Pengadilan Agama telah banyak melahirkan putusan-putusan hukum yang progresif (out of the box) karena hakim berdasarkan Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 memiliki peluang untuk menghadirkan hukum baru yang berasas pada nilai-nilai keadilan,” jelasnya.

Sementara Prof. Dr. Khoiruddin Nasution juga menegaskan tentang peluang pembaruan hukum pada aspek sosiologi hukum, di mana hukum keluarga di Indonesia pada dasarnya bersifat egaliter. “Memberi hak yang sama antara suami dan istri, untuk itulah dibutuhkan usaha pengendalian secara preventif, represif, dan simbolis,” tegasnya yang juga menjabat Ketum ADHKI.

Sisi lain, Prof. Dr. KH. Masnun Tahir, menjelaskan kekuatan fiqh Islam yang sejak awalnya sudah sangat progresif, dan ini juga berlangsung hingga ke Indonesia dengan lahirnya UU Perkawinan, maka dibutuhkan politik hukum yang lebih kuat untuk mewujudkannya. “Akan tetapi landasan berpikirnya harus memiliki rujukan yang kuat pula dan tidak berdasar pada sumber “google” dan lain sebagainya,” tegasnya yang juga guru besar UIN Mataram.

Kegiatan tersebut dipandu oleh Dr. Ahmad Rajafi, M.HI selaku Moderator dan dihadiri oleh para Dosen dari berbagai Perguruan Tinggi baik umum maupaun keagamaan, Peneliti Hukum Islam dan Keluarga Islam, serta para praktisi baik Hakim Agama maupun Pengacara yang mengikuti secara online dari berbagai daerah di Indonesia. (AR/AQZ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *