Opini: Ramadhan, Bulan Mulia dan Utama

Share :

Ramadhan, Bulan Mulia dan Utama
Oleh: Arif Fikri, SHI., M.Ag
Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
Dosen UIN Raden Intan Lampung

Ramadhan adalah bulan yang mulia dan utama. Keutamaan bulan ramadhan ini disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslim dalam banyak sekali hadis-hadis beliau. Di antara keutamaannya adalah bahwa siapa saja yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap ridha-Nya, maka akan diampunilah dosa yang telah lalu. Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni,”(HR. Bukhari, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah puasa ramadhan yang benar adalah puasa yang dilandasi dengan iman dan ihtisab. Iman berarti membenarkan dan meyakini akan kewajiban ibadah puasa yang diperintahkan oleh Allah swt, serta meyakini pula akan pahala dan keutamaan yang akan diberikan atas pelaksanaan ibadah puasa tersebut.

Kalau seseorang melandasi puasanya dengan keimanan, maka tentu hatinya tidak merasa berat dalam melaksanakannya, namun justru ia akan merasa senang dan bahagia dalam melaksanakannya. Hatinya tidak merasa sulit dan susah ketika menjalani ibadah puasa. Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia jalani, sehingga ia mengisinya dengan kebaikan-kabaikan dan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, memperbanyak sedekah dan lain sebagainya.

Sedangkan makna ihtisab adalah niat dan kesungguhan untuk meraih pahala puasa yang telah dijanjikan Allah SWT. Puasa tersebut hendaknya dilakukan dengan rasa ikhlas karena Allah SWT dan mengagungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar riya’ atau sombong, mencari pujian atau hanya sekedar mengikuti kebiasaan orang-orang di sekitar. Jika seorang Muslim berhasil melaksanakan ibadah puasa ramadhan dengan landasan iman dan ihtisab, maka ia akan menjadi orang yang berhak mendapatkan ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa yang telah ia lakukan dimasa lalu.

Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa di bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, sementara pintu surga dibuka lebar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

 إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ صُفَّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ ، وَفُتِحَتْ أَبُوَابُ الجَّنَةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ

“Ketika masuk bulan Ramadlan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” (HR.  Bukhari dan Muslim).

Setidaknya ada dua penjelasan, yang diajukan para ulama tentang makna hadis tersebut. Pertama, ulama memahami hadis tersebut secara literalis, atau sesuai bunyi teks haditsnya. Yaitu pintu surga dibuka dan setan dibelenggu dipahami dalam pengertian yang sebenarnya, sehingga intensitas setan dalam menggoda manusia berkurang pada bulan Ramadhan dibanding dengan bulan-bulan lainnya.

Kedua, memahami secara majazi. Dalam konteks ini, dibukanya pintu-pintu surga dipahami bahwa Allah SWT membuka pintu-Nya dengan amal ibadah yang dapat mengantarkan hamba-Nya ke surga, seperti ibadah puasa, shalat tarawih, tadarus Al-Qur`an, sedekah dan lain sebagainya. Sehingga, jalan menuju surga di bulan Ramadhan lebih mudah dan amal ibadah yang dilaksanakan di bulan Ramadhan lebih cepat diterima. Begitu juga maksud ditutupnya pintu neraka, yaitu dengan memperbanyak ibadah di bulan ramadhan, maka akan mencegah dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan kepada neraka.

Oleh karenanya, sungguh merugi orang yang bertemu bulan Ramadhan, tetapi ia tidak dapat mengisinya dengan kebaikan dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Rasululllah SAW juga bersabda yang artinya “Sungguh rugi seseorang, ketika (Nama) ku disebut di sampingnya, tetapi dia tidak bershalawat atasku. Sungguh rugi seseorang yang bertemu dengan Ramadhan, lalu Ramadhan itu berlalu darinya sebelum dosa-dosa dirinya diampuni, dan sungguh rugi seseorang yang mendapati kedua orang tuanya dalam keadaan renta, tetapi keduanya tidak (menjadi sebab yang) memasukkannya ke dalam surga. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *