Sekincau Jilid 2 dan Kearifan Ramadhan
Miftahus Surur
Wakil Ketua Lazisnu Lampung
Tanggal 4 April 2020, Sekincau –lebih tepatnya Srigaluh- menjadi popular. Mungkin seluruh Provinsi Lampung atau bahkan lebih dari itu mengenal nama kampung yang satu ini. Ya, Sekincau mencuat karena warga masyarakatnya mau menerima salah satu jenazah pasien terjangkit Covid-19.
Tidak lama setelah itu, nama Sekincau mencuat kembali. Hal itu disebabkan adanya satu pasien asal daerah itu yang terjangkit secara positif oleh Covid-19. Masyarakat gaduh. Sekincau menjadi pesakitan. Siapapun yang ditengarai berasal dari Sekincau harus diawasi secara khusus.
Bahkan saat memasuki bulan Ramadhan, masjid-masjid Sekincau terbilang sunyi karena hampir tidak ada satu pun yang menggelar shalat tarawih berjama’ah di masjid atau musholla.
Dampak lain juga mulai muncul. Hasil produksi masyarakat dari daerah ini pun mengalami kemacetan. Salah satu pedagang tempe keliling mulai gelisah, karena dagangannya relatif tidak laku karena pembelinya khawatir jika tempe yang ia jajakan mengandung Covid-19. Ia ingin menjerit menangis. Tapi harus marah kepada siapa. Kondisinya memang begini. Tiada siapapun yang dapat menolaknya.
Tapi, haruskah stigma dan kecemasan itu didiamkan? Kita harus sadar bahwa tiada yang keliru dengan Sekincau, sama halnya tiada yang keliru dengan Jakarta.
Covid-19 ini tiada memiliki terminal dan stasiun khusus, juga tidak punya pelanggan tetap. Ia bisa menghinggapi siapa saja. Membiarkan, atau bahkan memupuk kecemasan terhadap kehidupan masyarakat Sekincau berarti menyiapkan kehancuran bagi mereka.
Mengatasnamakan kewaspadaan dan kehati-hatian bukan berarti mengharuskan adanya kecurigaan yang berlebihan, atau mungkin kebencian terhadap warganya.
Ramadhan kini, dengan ragam kesunyian yang melekat padanya menjadi saat yang tepat bagi kita untuk mendikte diri sendiri. Sudah banyak dalil, juga para pengkhutbah yang menderakan dakwah berkumandang bahwa prasangka harus dijauhi, kebencian harus dihapus, dan kecurigaan harus diretas.
Ramadhan menyediakan perangkat untuk memperkuat keyakinan diri betapa kasih sayang dan turut merasakan kepedihan sesama itu merupakan sesuatu yang sangat bernilai di hadapan Allah swt.
Sekincau harus dibuat tegar dan tetap berjalan tanpa terseok-seok. Jika kita mengerti bahwa Covid-19 ini dapat menyerang siapa saja, lalu mengapa takut menjejakkan kaki di wilayah terdingin ini tetapi tidak khawatir ketika berbelanja di swalayan atau di pasar lain? Akankah kita biarkan produsen sayur mayur ini terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan?
Ramadhan ini mengajarkan kita tentang kearifan, bukan semata-mata perlombaan ibadah mengharap pahala berlimpah. Kearifan Ramadhan mengajarkan kita untuk menang atas godaan dan segala sifat selfish; sifat selalu ingin bangga dan menumpuk setiap keinginan untuk kepuasan diri sendiri.
Sekincau kini, tentu tidak sendirian. Entah berapa banyak “sekincau-sekincau” lainnya yang sedang mengulurkan tangan membutuhkan bantuan.
Jika kita mau merenung lebih jauh, mengapa zakat itu dianjurkan, mengapa pula infaq dan shadaqah itu dihimbau? Tentu bukan semata-mata agar harta yang kita miliki menjadi bersih. Bukan sekedar itu. Tetapi ada keberbagian disana, yaitu keberbagian materi dan juga rasa.
Dan keberbagian rasa inilah yang lebih dari segalanya; rasa terhadap kekurangan yang lain, rasa terhadap kelaparan orang lain, juga rasa atas kepedihan hati yang lain. Anekdot Jawa mangan ora mangan sing penting ngumpul itu mengisyaratkan makna penting bahwa rasa kebersamaan yang saling dipersatukan itu jauh lebih dikehendaki daripada tumpukan harta yang tak terbagi.
Jika masih ada diantara kita yang diam tidak mau bergerak atau menggerakkan apa yang ia miliki untuk membantu sesama, terlebih ketika ia merasa bahwa Ramadhan ini hanyalah momentum untuk menggapai pahala sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah kehilangan Ramadhan yang sesungguhnya.
Bukankah Hujjatul Islam Imam Ghazali pernah menyampaikan suatu maklumat indah “puasa hamba yang spesial itu terletak pada kemampuannya menghancurkan ketamakan pribadi, bukan karena semata-mata kemampuannya mencegah mulut dari masuknya sepiring nasi dan segelas air”?
Kawan, mumpung Ramadhan, mari gunakan kearifan yang kita miliki untuk membantu yang lain. Hingga tiba pada waktunya kita mengatakan: “Sekincau, selamat datang kebahagiaan.” Indah, bukan?
Lereng Gunung Sekincau, 27 April 2020