Opini: Wabah Covid-19 dan Ramadhan, Sebuah Pergumulan Teologis

Share :

Wabah Covid-19 dan Ramadhan, Sebuah Pergumulan Teologis
Oleh: Ahmad Muttaqin, M.Ag
Dosen UIN Raden Intan Lampung

 

 

Semenjak merebaknya pandemi Corona, yang kemudian dikenal dengan akronim Covid-19 (Corona Virus disease), hampir keseluruh belahan Dunia. Pemerintah masing-masing Negara mengambil kebijakannya demi menghentikan atau meminimalisir penyebaran virus tersebut kenegara masing-masing.

Di Indonesia Pemerintah mengeluarkan himbauan untuk Sosial Distancing, dan larangan mengadakan perkumpulan. Kebijakan ini, ternyata berimbas pula pada wilayah keagamaan, khususnya pada pelaksanaan ritual keagamaan yang menuntut dilaksanakan secara bersama-sama atau kerumunan.  Kebijakan pemerintah ini dukung oleh otoritas keagaamaan yang resmi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan beberapa ormas besar, yang tentunya dukungan ini disertai dalil-dalil yang valid dan shahih, ternyata masih muncul berbagai reaksi penolakan dari beberapa kelompok agama.

Reaksi penolakan ini dilakukan dengan berbagai bentuk, baik dengan tetap menjalankan ibadah-ibadah jama’ah, dengan cara protes, ataupun menyebarkan pandangannya-pandangannya melalui tulisan-tullisan yang kemudian tersebar di media-media sosial.

Jika ditelusuri berbagai reaksi pro dan kontra ini, tidak hanya menyangkut argumentasi ataupun keshahihan dalil-dali yang dikemukakan masing-masing, tetapi lebih dari itu ternyata juga terkait cara pandang agama dan keyakinan yang dianut masing-masing (teologi).

  1. Covid-19, Menguak Wajah Teologis Penganut Agama, Teosentris.

Pada tanggal 13-15 maret 2020, ditengah merebaknya Virus Covid 19, diberbagai belahan dunia, komunitas jama’ah keagamaan, yang dikenal sebagai jama’ah Tabligh, mengadakan pertemuan tahunan, yang dihadiri sekitar 7.600 warga muslim India dan 1300 wisatawan asing, termasuk Malaysia dan Indonesia. suatu tindakan yang abai terhadap kebijakan pemerintah india, yang sedang berupaya menghadang penyebaran virus corona ini. Arahan untuk membatalkan acara ataupun kumpulan dalam jumlah besar, diabaikan oleh kepala Jamaah Tabligh, Maulana Saad, yang bahkan mengeluarkan statement,” Jika anda berfikir akan meninggal dunia jika berkumpul di Masjid, maka saya katakan tidak ada tempat yang lebih mulia untuk meninggal dunia,” dalam sebuah rekaman audio yang bocor ke media, lapor india Today.

Akibatnya bisa ditebak, otoritas india melaporkan berhasil melacak 128 kasus covid-19 yang berkaitan dengan acara tersebut, tujuh peserta sudah dinyatakan meninggal dunia. Di Indonesia sendiri, Kementerian luar negeri Indonesia menyatakan 731 warga Negara Indonesia (WNI) mengikuti acara tabligh di India tersebut, ada 14 jamaah yang terinfeksi covid-19. Kelompok Jamah tabligh ini memunculkan sejumlah klaster covid 19 diberbagai Negara, baik di India dan beberapa Negara lainnya.

Di dalam negeri Indonesia, setelah keluarnya fatwa MUI terkait pandemi wabah corona, yang diantara fatwanya, menghimbau untuk tidak melakukan perkumpulan keagamaan, termasuk shalat jamaah dan Jum’at, menuai sejumlah reaksi penolakan, Di Bandung, spanduk maklumat ditiadakannya sholat Jumat dan sholat Jama’ah, di Masjid Raya Bandung, berujung aksi sejumlah massa yang melakukan penurunan spanduk secara paksa. Juga penolakan oleh sejumlah pemuka agama (atau mengatas namakan pemuka agama), melalui sejumlah tulisan yg beredar khususnya media sosial. Tulisan-tulisan yang sebagian bernada provokatif menentang fatwa MUI.

Ada sejumlah narasi mendasar yang digunakan dalam menolak fatwa MUI tersebut, diantaranya yang bisa disebutkan; ‘Kami lebih Takut Allah daripada Corona,’,’ Masjid adalah Rumah Allah, tentu Allah yang menjaganya”,’ bahkan,’ bahwa larangan ini merupakan agenda Zionis untuk memadamkan syi’ar Islam’.

Fenomena reaksi penolakan fatwa MUI ini, terkait covid-19, yang berkenaan dengan kegiatan agama, menurut penulis, bukan hanya soal kekuatan rumusan hukum atau soal keshashihan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing, tetapi lebih dalam lagi, merefleksikan pandangan keyakinan ketuhanan yang mereka anut, atau soal teologis, soal keimanan bagi mereka.

Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku orang-orang yang meyakininya. Karena konsep teologi yang diyakini oleh seseorangakan menjadi dasar dalam menjalani kehidupannya. Teologi merupakan bidang strategis sebagai landasan upaya pembaharuan pemahaman dan pembinaan umat, karena sifatnya metodologis, Gustavo gutterez menjelaskan, teologi merupakan aspek penting karena dapat berfungsi sebagai refleksi tindakan kritis manusia dalam memandang realitas.sosial yang dihadapinya.[1]

Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antroposentris.

Terkait wabah Covid-19, Fenomena berbagai penolakan yang muncul, bahkan diberbagai tempat, masih diselenggarakan perkumpulan, seperti sholat jama’ah, Jumat dan perayaan keberagamaan lainnya, menguak sisi wajah mayoritas keberagamaan kita, teologi kita belum beranjak dari masa kegelapan abad pertengahan Eropa, Teosentris.

Teosentris, adalah teologi yang menjadikan Tuhan sebagai faktor utama dalam setiap tindakan manusia, Dia adalah pusat Nilai, dan kepada-Nya seluruh tindakan didedikasikan. Manusia hanyalah objek Tuhan, dituntut untuk memenuhi keinginan Tuhan. Aspek lainnya, dengan Teologi ini, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang Tinggi, transenden, tak terjamah, sosok yang menuntut sesembahan dan pengorbanan manusia, penolakan dan mengabaikan-Nya adalah tindakan pelanggaran, Kafir, maksiat, dan layak dihukum.

Abad pertengahan eropa adalah contoh model kekuasaan teologi Teosentris ini, periode kekuasaan agama, karena agama sangat mendominasi kepentingan masyarakat eropa. Agama mengatur seluruh sendi masyarakat eropa kala itu. Segala hal yang bertentangan atau tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Kekuasaan Gereja begitu dominan, pada saat itu para filsuf dan Agamawan bermottokan, ‘Credo et inteligam”, atau Keyakinan diatas pemikiran.

Hasilnya, masyarakat berpandangan fatalis, menjalankan kehidupan berdasarkan dogma, pengetahuan dikesampingkan, dianggap sihir yang menyesatkan. Era yang disebut sebagai dark age, era kegelapan. Era dimana pengetahuan dieropa mengalami kemunduran, kemanusiaan disingkirkan atas nama dogma agama.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, pemahaman teosentris ini, meski ,menghasilkan dampak-dampak yang baik, berupa adanya pegangan hidup, walaupun dampak itu sendiri bisa palsu, Justeru yang lebih berbahaya dan nyata-nyata merugikan adalah dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemrosotan harkat dan kemanusiaan.[2]

Kembali pada persoalan penolakan fatwa MUI dan kebijakan pemerintah mengenai soal Soal distancing, Narasi-narasi yang mereka munculkan dalam upaya penolakan terhadap kebijakan Social distancing dan fatwa- fatwa MUI dalam rangka menghadapi wabah Covid-19, seperti, ‘Kami lebih takut Kepada Allah daripada Corona, atau Masjid adalah tempat teraman menghadapi Wabah ini, karena ia adalah Rumah Allah dan Allah yang akan menjaganya”, merupakan narasi-narasi yang menggambarkan penganut pragmatisme teologi teosentris ini, narasi yang menghadapkan kita pada untuk tetap memenuhi ‘kepentingan’ Tuhan dalam kondisi apapun, yang menuntut untuk disembah, dan menuntut pengorbanan manusia, penolakannya merupakan tindakan melawan Tuhan, tidak memiliki iman. Disisi lain berarti pengabaian terhadap kemanusiaan, sebagaimana kita ketahui sosial distancing merupakan salah satu cara dalam rangka menghentikan penyebaran virus ini, mengabaikannya berarti turut menyebarkan wabah ini, dan membiarkan korban manusia berjatuhan.

Sebagaimana motto para agamawan abad pertengahan eropa, ‘Credo et inteligam”, atau Keyakinan diatas pemikiran. Maka bagi mereka, kelompok yang menolak fatwa MUI dan himbauan pemerintah ini, sekuat  dan seshahih apapun dalil-dalil yang dikemukakan, yang utama adalah tetap ‘keyakinan’ mereka..

  1. Islam, agama yang (seharusnya) berteologi Humanis.

Hassan Hanafi, seorang pemikir Mesir, pernah mewacanakan mentransformasi teologi Teosentris menuju Antroposentris. Dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan. Bagi Hanafi, pemikiran Teosentris, dimana Tuhan menjadi pusat Kekuatan dan Kekuasaan, dan manusia harus tunduk dan ditundukkan di hadapan Tuhan, alih-alih menjawab problem kemanusiaan, dalam banyak hal justeru digunakan sebagai alat melakukan penindasan kepada Manusia. [3]. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.

Penulis sendiri lebih memilih menggunakan istilah Teologi Humanis, dibanding Antroposentris, Antroposentris sendiri, dimana menjadikan manusia sebagai pusat Nilai, merupakan antitesa dari teosentris, pada akhirnya istilah ini menolak andil Tuhan dalam kehidupan manusia, jawaban yang diambil oleh masyarakat Barat, untuk lepas dari dominasi Agama, pada Abad pertengahan, yang berujung pada sekulerisme, yang kita kenal saat ini. Pilihan Antroposentris, bisa menjauhkan umat dari Aqidahnya.

Islam sendiri sesungguhnya datang tidak hanya melakukan revolusi terhadap konsep Ketuhanan, bahkan juga terhadap Konsep Kemanusiaan. Revolusi kemanusiaan ini dibangun dengan meletakkan manusia sebagai Khalifah dimuka bumi, tertera dalam surat al-Baqarah; 30, sebagai makhluk yang diserahi tanggung jawab mengelola bumi, memakmurkannya. Otoritas tertinggi yang dimiliki makhluk-Nya.

Kata Khalifah berasal dari kata khalf, yang salah satu artinya adalah, ‘mengganti’. Manusia adalah pengganti Otoritas Tuhan di muka bumi, wakil Tuhan dalam mengelola kehidupan dimuka Bumi. Dengan pendelegasian manusia sebagai wakil Tuhan, manusia diberi berbagai potensi dan kemampuan demi suksesnya pelaksanaan tugasnya dimuka bumi, termasuk potensi Ketuhanan itu sendiri, sederhananya, bahwa untuk memfungsikan kekhalifahannya, Tuhan telah melengkapi manusia potensi Intelektual dan Spiritual.

Potensi Intelektual dianugerahi Tuhan dengan diberikan akal, kemampuan berfikir, yang dengannya manusia mampu mengelola bumi, mengatur, memelihara serta mengembangkannya. Potensi kreatif manusia untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini,

Potensi Spiritual, adalah dianugerahi manusia,’Watak’ Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dalam jiwa manusia, yang dengannya manusia dapat terhubung dengan-Nya, Manusia yang  diciptakan merupakan Copy Tuhan, ‘Ala Suratihi’ dengan bentuk-Nya, demikian menurut Kaum sufi. Yang secara actual menjadi nilai moral manusia Takhalaq bi akhlaqillah, demikian sabda Nabi, berakhlaklah dengan akhlak Allah, suatu pencapaian tertinggi moral manusia. Di sinilah laku ibadah dimaksudkan, bertujuan, menginternalisasi sifat-sifat Tuhan yang terdapat pada diri manusia, yang secara actual menjadikan manusia memiliki moral yang mulia,akhlak mulia. Bahkan Nabi saw sendiri menegaskan untuk tujuan itulah ia diutus, ‘Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak yang mulia, demikian sabdanya.

Yang dengan moral tersebut manusia mengelola bumi dan seisinya, dengan baik, tidak merusak, memperbaharui alam, memakmurkannya, tidak mengeksploitasi nya demi kepentingan nafsu manusia itu sendiri, menjalani sesuai dengan moral-moral yang mulia, berarti sesuai kehendak-Nya.

Dengan posisi manusia sebagai Khalifah ini, merupakan revolusi kemanusiaan, Islam menempatkan Posisi tertinggi sekaligus termulia diantara makhluk-Nya. Manusia adalah Aktor utama kehidupan di dunia, ia adalah subjek sekaligus objek dalam pemeliharaan dan pengelolaan dunia ini, karena otomatis ia adalah salah satu bagian dari makhluk di muka bumi ini. Pemeliharaan kehidupan manusia dan bumi dan seisinya merupakan amanah yang menjadi tanggung jawab manusia.

Dengan demikian teologi Humanis, merupakan counter terhadap pemikian dan pandangan yang menganggap agama hanyalah soal ‘berTuhan’ saja (teosentris), tetapi juga adalah cara orang untuk bermanusia, untuk manusia dan kemanusiaan. Mengekploitasi wilayah kemanusiaan, menjadikan manusia dan kemanusiaan sebagai pencapaian tertinggi dan utama dalam kehidupan beragama.

Teologi Humanis ini, dalam prakteknya telah dijalankan oleh Para ‘Ulama-ulama terdahulu, dalam kaidah-kaidah rumusan hukum, mengedepankan kemaslahatan manusia menjadi prioritas utama, rumusan Maslahatul mursalah, misalnya, bahkan Rumusan Maqashid Syariah, yang menjadi pijakan utama oleh para ahli hukum islam saat ini,  seseungguhnya rumusan hokum yang berbasiskan kemanusiaan.

Berkenaan dengan menghadapi wabah covid-19, sebagaimana pemerintah telah menghimbau, demikian juga diikuti oleh fatwa MUI dan Ormas-ormas besar untuk tidak melakukan sosial distancing, tidak berkumpul, termasuk didalamnya himbauan untuk tidak melaksanaan shalat berjamaah dan jum’at dan perayaan keagamaan lainnya, demi kemanusiaan, selayaknya kita patuhi, sesuatu hal yang tidak semestinya dipertentangkan dengan nilai-nilai beragama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain, demikian sabda Nabi saw, dengan demikian, mematuhi himbauan pemerintah demi mencegah penyebaran wabah, memiliki alasan kemanusiaan, yang sesungguhnya merupakan pencapaian nilai tertinggi dalam religiusitas beragama.

  1. Ramadhan dan Refleksi Teologis.

Sebentar lagi kita selaku umat muslim, akan kedatangan tamu agung, bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam, bulan suci Ramadhan. Kehadiran Ramadhan kali ini, datang  dalam suasana yang berbeda sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, ditengah ancaman merebaknya wabah covid-19, ramadhan kali ini diperkirakan akan terasa sepi, tak ada semaraknya shalat tarawih berjamaah, para remaja yang ngabuburit, dan kemeriahan lainnya yang biasanya menghiasi bulan ramadhan. Namun kondisi demikian bukanlah berarti mengurangi nilai ibadah yang kita lakukan

Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga keagamaan dan Fatwa agama Islam yang mewakili pemerintah dalam siarannya yang disiarkan oleh berbagai televisi di Tanah air, pada tanggal 13 April 2020, antara lain:

… mari kita songsong ramadhan dengan kesiapan lahir batin, fisik dan juga mental, serta pemahaman baru, kebiasaan baru ibadah, ditengah situasi wabah covid-19, situasi dan kondisi baru, untuk pemahaman baru, dan juga cara-cara baru, tetap dalam koridor syari’ah. Covid-19 bukan halangan untuk pelaksanaan ibadah. Menghindari kerumunan yang potensial penyebaran virus adalah ibadah disis Allah SWT. Pemahaman kita tentang tatacara ibadah harus juga diadaptasikan dengan situasi dan kondisi, taghayurul ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati wal awia’id, kita pastikan bahwa syari’at islam adalah rahmat dan juga solusi atas problem ril yang dihadapi masyarakat. Problem ril hari ini adalah ancaman covid-19, bagaim,ana etos keagamaan ramadhan bisa menjadi solusi dengan aktivitas keagamaan kita pada satu sisi meningkat tetapi pada sisi yang lain menjamin keamanan dan juga keselamatan bangsa dan Negara. Aktivitas keagamaan yang kita lakukan harus menjadi solusi masalah umat dan juga bangsa, ibadah yang kita lakukan harus bermuara kepada terwujudnya maslahah. Tidak hanya maslahah khassah, dengan ibadah yang bersifat individual tetapi maslahah ‘ammah, kemaslahatan yang bersifat umum. Ibadah ramadhan harus dijadikan momentum emas untuk mempercepat penanganan wabah covid-19 dengan etos dan semangat keagamaan. Wabah covid 19 bukan halangan untuk beribadah, justeru ini momentum meningkatkan ibadah kepada Allah hanya saja karena ada kondisi khusus, maka kebiasaan yang kita lakukan didalam ibadah ramadhan selama ini juga perlu diadaptasi dengan kekhususan itu. Pembatasan kerumunan bukan membatasi ibadah, karena menurut para ahli kerumunan dalam situasi sekarang menjadi  factor potensial penyebaran wabah. Untuk itu menghindari kerumunan dalam konteks hari ini, adalah salah satu bentuk ibadah…”

Apa yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) diatas, mengisyratkan bahwa ramadhan kali ini secara Substansi, dengan adanya wabah covid-19 ini, Ramadhan tidaklah kehilangan nilai Ibadahnya, bahkan dengan mengikuti himbauan pemerintah, untuk tidak melakukan kerumunan baik dalam aktivitas sehari-hari atau pun dalam ibadah-ibadah formal, justeru kita telah melakukan suatu ibadah yang lebih besar, ibadah kemanusiaan. Karena dengan menjauhi kerumunan ini kita telah melakukan pencegahan tersebarnya wabah virus covid ini, yang dengan demikian secara tidak langsung kita telah mencegah jatuhnya korban akibat terinfeksi virus ini, sebuah refleksi dari Teologi Humanis.

Mewabahnya virus Covid-19 keberbagai belahan dunia, memunculkan respon berupa kebijakan dari pemerintah berbagai Negara, untuk mencegah tersebarnya virus tersebut dinegara masing-masing. Kebijakan pemerintah untuk Social distancing, dan larangan untuk mengadakan perkumpulan dan menjauhi kerumunan, ternyata berimbas pula pada wilayah keagamaan, khususnya praktek-praktek keagamaan yang menuntut adanya kerumunan, seperti shalat berjama’ah dan shalat jum’at.

Walaupun kebijakan pemerintah ini, juga didukung oleh otoritas keagaamaan yang resmi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan beberapa ormas besar, yang tentunya dukungan ini disertai dalil-dalil yang valid dan shahih, ternyata masih muncul berbagai reaksi penolakan. Reaksi penolakan ini pada umumnya didasarkan bahwa kebijakan ini, dapat mengurangi nilai ibadah mereka bahkan keimanan terhadap Tuhan. hal ini terlihat dari narasi-narasi yang mereka kemukakan.

Adanya fenomena penolakan ini, jika ditelusuri secara teologis, diakibatkan dari naïf dan dangkalnya pemahaman keagamaan yang mereka anut. Pemahaman bahwa wilayah agama hanyalah yang menyangkut hubungan dengan Tuhan ansich (teosentris) sehingga abai terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

Agama Islam sesungguhnya adalah agama yang mengatur relasi Tuhan dengan manusia tetapi juga amat konsen terhadap masalah-masalah kemanusiaan, Dengan menempatkan manusia sebagai Khalifah, menempatkannya sebagai makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk lainnya, maka kepedulian terhadap masalah kemanusiaan (Teologi Humanis), menunjukkan kedalaman  keberagamaan dan hubungangannya dengan Tuhan.

Dengan pemahaman Teologi Humanis seperti ini, semestinya penolakan terhadap kebijakan pemerintah dan MUI tidak terjadi, dengan menjauhi kerumunan baik dalam hubungan sosial dan agama, sesungguhnya turut menyelamat manusia lainnya.

Wallahul muwafieq ila aqwamit tharieq

Wassalamu’alaikum wr.wb.

 

[1] Gustavo Gutterez, A Teology of liberation, New York, Maryknel, 1973, h. 5

[2] Nurcholish Madjid,Iman dan Emansipasi harkat Kemanusiaan, Dalam Islam Doktrin dan Peradaban ,Jakarta, Paramadina, 2000. h. 99-100

[3] Rumadi, Masyarakat Post teologi,Wajah baru Agama dan Demokratisasi Indonesia, Jakarta, CV Mustika Bahmid, 2002, h. 23.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *