Opini: Korona dan Keniscayaan Akan Perkara Ghaib

Share :

Korona dan Keniscayaan Akan Perkara Ghaib
Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
Pengurus MUI Lampung
Dosen UIN Raden Intan Lampung

 

Islam merupakan agama yang tidak saja mengajarkan kita untuk mengimani sesuatu yang kasat mata, akan tetapi juga mengajarkan kita untuk mengimani yang tidak kasat mata, atau perkara ghaib.

Mengimani keberadaan seorang rasul, bagi orang yang hidup sezaman dengannya merupakan bagian dari perintah untuk mengimani sesuatu yang bersifat kasat mata. Al Qur’an dalam surah Al Jumu‘ah: 2, ketika mengajak penduduk kota Makkah untuk mengimani kerasulan Muhammad saw, mengingatkan mereka untuk menggunakan pengetahuan kasat mata mereka berkaitan dengan rekam jejak beliau, bahwasannya nabi Muhammad saw merupakan sosok yang tidak membaca dan tidak menulis, sebagaimana juga mereka, yang sedari lahir berada di tengah-tengah mereka dan tinggal bersama mereka. Beliau merupakan sosok yang tidak pernah terdengar sisi negatif dari kepribadiannya sebelumnya, sebaliknya julukan Al Amîn (sosok yang dapat dipercaya) telah mereka sematkan kepada beliau, jauh sebelum beliau mendeklarasikan dirinya sebagai seorang rasul atas perintah Tuhannya.

Tuduhan yang disematkan kepada nabi Muhammad saw, bahwasannya dia adalah pembohong (Q.S. Yūnus: 38), penyihir (Q.S. (Q.S. Shâd: 4), penyair (Q.S. Ath Thūr: 30), dukun (Q.S. Al Hâqqah: 42), orang gila (Q.S. Ad Dukhân: 14), dan murid dari orang pintar yang kerap kali mengajarinya baik di waktu pagi maupun di waktu petang (Q.S. Al Furqân: 5), pasca beliau menyampaikan Al Qur’an, sebagai mu‘jizat yang membenarkan dan menguatkan kerasulannya, merupakan tuduhan-tuduhan yang jelas-jelas bertolak belakang dengan pengetahuan yang berlandaskan kasat mata mereka.

Bukan saja sosok nabi Muhammad saw yang selama ini sudah mereka kenal secara baik, akan tetapi Al Qur’an yang disampaikannya pun diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yakni: bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka, agar mereka dapat membaca dan menelaahnya (Q.S. Yūsuf: 2). Kekaguman akan kandungan Al Qur’an terlontar dari sebagian mereka, Al Qur’an pun secara berulang-ulang menawarkan tantangan kepada mereka untuk mendatangkan yang semisal dengannya, guna membuktikan tuduhan-tuduhan mereka. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk menjawabnya, sejatinya hati yang sudah tertutup mati dalam kekafiran lah yang telah menghalangi mereka untuk mengimani kerasulan nabi Muhammad saw dan Al Qur’an sebagai mu‘jizat terbesarnya (Q.S. Al Baqarah: 7).

Islam disamping mengajarkan kita pentingnya keimanan yang berlandaskan kasat mata, Islam juga mengajarkan kita pentingnya keimanan terhadap perkara ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh kasat mata kita, seperti: keimanan akan keberadaan Dzat Allah swt, keimanan akan keberadaan para malaikat, keimanan akan hari kiamat dan keimanan akan qadha dan qadar.

Al Qur’an mengingatkan kita bahwasannya musibah Korona yang melanda dunia saat ini, merupakan bagian dari qadha dan qadar Allah swt dan terjadi berdasarkan kehendak dan izin-Nya (Q.S. Ath Thaghâbun: 11), bahkan sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh jauh sebelum musibah ini benar-benar terjadi dalam kenyataan (Q.S. Al Hadîd: 22). Itulah Allah swt, Dzat yang mengetahui yang kasat maupun yang tidak kasat mata, Dzat yang mendeklarasikan diri-nya sebagai ‘Allâmul Ghuyūb (Maha Mengetahui segala perkara ghaib) (Q.S. At Taubah: 78).

Fenomena terbalik terjadi diantara kita sebelum musibah Korona mengenai kita, dimana tidak ada satupun dari kita yang memprediksi bahwasannya tempat-tempat peribadatan akan dibatasi, lembaga-lembaga pendidikan akan diliburkan, pusat-pusat perekonomian akan ditutup, destinasi-destinasi pariwisata akan dijauhi. Sehingga terheran-heranlah kita ketika semua apa yang tidak kita prediksikan sebelumnya ini, terjadi dalam kenyataan hidup kita, di saat musibah Korona ini mengenai kita.

Semua fenomena diatas yang terjadi dan tidak diprediksi sebelumnya dan dialami oleh kita pasca musibah korona mengenai kita, mengingatkan kita semua akan apa yang diingatkan oleh Allah swt dalam surah Al Kahfi: 23-24, “Janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “aku pasti melakukan itu besok pagi”, kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah (kalau Allah berkehendak)”.

Fenomena diatas menyadarkan kita akan keterbatasan pengetahuan yang kita miliki seputar perkara ghaib, seperti: tidak tahunya kita secara pasti apa yang akan kita kerjakan esok hari dan di bagian bumi mana kita akan menemui ajal kematian kita (Q.S. Luqmân: 34). Fenomena diatas juga menyadarkan kita bahwasannya hanya milik Allah swt pengetahuan seputar perkara ghaib (Q.S. Yūnus: 20). Disinilah pentingnya mempercayai perkara ghaib, tentunya yang berlandaskan kepada wahyu Illahi, Al Qur’an pun mengingatkan kita semua, bahwasannya diantara karakter yang hendaknya dimiliki oleh orang yang bertakwa, adalah: hendaknya ia mempercayai perkara ghaib (Q.S. Al Baqarah: 3).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *