Ramadhan ditengah Wabah Covid-19, Ramadhan dan Kemanusiaan
Oleh: Ahmad Muttaqin
Dosen UIN Raden Intan Lampung
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-muadan kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah; 183)
Demikian terjemah ayat yang menjadi dasar syari’at kewajiban berpuasa, ayat yang senantiasa kita dengar dalam-ceramah para da’I menjelang puasa. Puasa atau Shoum, sendiri bermakna imsak atau menahan, yang secara definisi syari’at,” menahan dari makan dan minum dan yang membatalkannya karena Allah SWT, dari terbit fajar sampai terbenam matahari”.
Definisi Syar’I ini, menekankan puasa pada dimensi zhahir, dimana puasa adalah aktivitas lahir menahan untuk makan dan minum, menahan hubungan seks pada pasangan yang halal, dan yang membatalkan lainnya. Puasa sendiri sesungguhnya tidak hanya berdimensi lahir, namun juga berdimensi batin. Suatu latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, memerangi hawa nafsu, sesuatu yang dikategorikan Jihad akbar oleh Nabi, ”Kalian telah pulang dari jihad kecil menuju Jihad besar, sahabat bertanya, Apakah Jihad besar itu ya rasulallah, rasul menjawab, ‘Jihad memerangi hawa nafsu”,. Demikian sabda beliau kepada sahabat-sahabat nya, saat pulang usai perang badr.
Imam al-Ghazali, membagi 3 (tiga) tingkatan orang yang berpuasa, sebagaimana dikemukakan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin;
“ Ketauhilah bahwa puasa ada tiga tingkatan, puasa umum, puasa khusus, puasa yang paling khusus.yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telingan, pendengaran, lidah tangan kaki dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (Shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT”.
Tiga tingkatan yang dikemukan al-Ghazali ini didasarkan pada sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada yang mengerjakan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya, puasa yang tidak ada yang didapatnya selain lapar dan dahaga. Puasa hanya sebatas lepas kewajiban, puasa yang hanya menekankan pada hal-hal zahir. Pada tingkatan kedua, tingkatan diatas orang-orang awam, yang tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga puasa dengan menahan diri dari melakukan dosa. Orang-orang pada tingkatan ini menilai bahwa perbuatan dosa juga menjadi pembatal puasa.
Sedangkan puasa yang paling khusus, puasa yang dilakukan selain menahan lapar, haus, menahan diri dari maksiat dan dosa, bahkan juga memfokuskan hati dan pikirannya untuk selalu mengingat Allah. Bahkan kecendrungannya pada selain Allah dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Sejatinya, objek utama dan terpenting dari puasa adalah pengendalian hawa nafsu. Hawa yang berarti keinginan (desire), sedangkan nafsu (ego). Puasa merupakan upaya mengendalikan hawa nafsu dengan cara mempersempit dorongan-dorongan hawa nafsu yang selalu membawa pada keburukan. Pengendalian hawa nafsu, sesungguhnya pengendalian terhadap daya rusak yang dimiliki manusia, betapa banyak destruksi atau kerusakan yang dilakukan dan terjadi pada hidup manusia akibat ketidakmampuan manusia mengendalikan hawa nafsu, Rasulullah saw bersabda”… maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa bisa menjadi benteng baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud benteng disini adalah benteng dari dari daya rusak diri manusia itu sendiri, yakni hawa nafsu.
Puasa, sebagaimana ibadah yang lainnya, tujuan akhirnya adalah mencapai derajat Taqwa. Puasa secara spiritual adalah latihan melawan hawa nafsu, menghilangkan nafsu-nafsu buruk. Oleh karena itu dalam puasa juga dianjurkan untuk menghiasinya dengan ibadah-ibadah lain, mengaji al-qur’an, tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya, hal tersebut tidak lain untuk mencapai derajat taqwa tersebut.
Dalam khazanah kaum sufi dikenal jenjang langkah spiritual, yakni Takhalli’ suatu jenjang untuk mengosongkan diri dari nafsu- nafsu buruk, Tahhalli,mengisi atau menghiasi diri dengan sifat-sifat baik atau dengan kata lain menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan dalam diri, dan terakhir adalah Tajjali, terserapnya sifat-sifat Tuhan, sehingga seseorang pada jenjang ini menjadi manusia paripurna (Insan Kamil) derajat orang-orang yang Muttaqin, orang yang telah mencapai derajat Taqwa.
Puasa merupakan suatu ibadah yang bersifat totalitas, dan menyeluruh, ibadah untuk melatih menapaki semua jenjang-jenjang sebagaimana yang di rumuskan kaum sufi diatas, ibadah yang menempa potensi spiritual manusia untuk menjadi manusia yang paripurna, derajat muttaqin, mencapai derajat taqwa. Manusia bertaqwa yang telah berhasil mendekati sang Khalik. Ia mengambil, menyerap serta menghayati sifat-sifat Allah.
Dengan tercapainya derajat Taqwa, bukan hanya tercapainya potensi spiritual manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, lebih jauh juga terefleksikan dalam hubungan dengan alam semesta, termasuk manusia didalamnya. Terinternalisasikan sifat-sifat Tuhan pada diri, membawa kepada sebuah kesadaran yang transenden, yang juga terefleksikan dengan rasa empati terhadap kemanusiaan, menghargai kehidupan, kepekaan terhadap sesama akan makin tajam dan akan lebih mempertegas makna manusia sebagai makhluk sosial, kesadaran manusia sebagai Khalifat fil’ardh, yang memegang amanah memelihara, mengayomi dan memelihara kehidupan.
Suatu ketika ada seseorang yang melapor kepada Rasulullah SAW bahwa ada seorang perempuan yang selalu puasa disiang hari dan shalat Tahajjud ketika malam, tetapi ia sering menyakiti hati tetangganya, Rasulullah mengatakan tempat perempuan itu dineraka. Kisah ini mengandung pelajaran bahwa ibadah tidak hanya menekankan pada sisi ritualnya belaka, tetapi justeru nilai ibadah dinilai pada sikap moralnya terhadap manusia lain, ketaqwaan seseorang pada Tuhannya justeru terefleksikan pada sikapnya terhadap sesamanya, sikap empatinya terhadap kemanusiaan.
Ramadhan kali ini, ditengah merebaknya wabah covid-19, dengan adanyanya berbagai anjuran untuk menjaga jarak Sosial Distancing, menjauhi kerumunan, tampaknya mengurangi kemeriahan dari pelaksanaan ritual puasa kali ini, tak ada semarak tarawih berjama’ah, juga perayaan-perayaan lainnya yang bersifat perkumpulan dimasjid-masjid atau tempat-tempat ibadah lainnya tergantikan dengan ibadah yang bersifat individu ataupun jama’ah dirumah.. Namun hal itu bukan berarti mengurangi nilai-nilai ibadah yang kita lakukan, justeru Ramadhan kali ini, dipandang dari sisi lain, adalah ramadhan yang ‘istimewa’, tidak hanya karena kita tetap dapat melaksanakan ritual ibadah itu walaupun sendiri, istimewa karena kita juga dituntut untuk merefleksikan nilai-nilai ketaqwaan kita, sikap empati kita terhadap kemanusiaan, karena dengan mematuhi anjuran pemerintah dan pemuka-pemuka agama untuk menjauhi kerumunan, sesungguhnya kita turut mencegah penyebaran wabah covid-19 ini, mencegah dari lebih banyak lagi jatuhnya korban akibat terinfeksi covid-19, sikap memelihara kehidupan, sikap kemanusiaan. Wallahul Muwafieq Ila Aqwqmith Tharieq, Wassalamu’alaikum wr.wb