Fikih Puasa dan Mudik Di Masa Pandemi
Oleh: Fathul Mu’in, M.H.I
Pengurus MUI Lampung
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung
Ramadan 1441 H bakal dilalui sedikit berat oleh kaum Muslim di tanah air. Mengingat, hingga saat ini belum ada tanda-tanda wabah corona akan berakhir, justru jumlah pasien positif covid-19 terus mengalami peningkatan setiap harinya, bahkan jumlahnya mencapai sekitar lima ribu orang. Jika melihat kondisi tersebut maka umat Islam akan menjalankan puasa dan serangkaian ibadah lainnya di tengah pandemi. Karena kondisi itu pula, sebelum Ramadan banyak kegiatan keagamaan sudah dibatasi atau bahkan dilarang untuk mencegah penyebaran virus. Hingga pada akhirnya, pemerintah dan ormas Islam sudah memutuskan memerintahkan umat untuk beribadah di rumah masing-masing, seperti tarawih, tadarus Alquran, buka puasa bersama dan lainnya.
Fikih Puasa
Dalam fikih, hukum menjalankan puasa Ramadan adalah wajib bagi setiap orang beriman yang sudah mendapatkan beban hukum dari Allah (mukallaf). Sejumlah ayat Alquran dan hadis Nabi sudah menjelaskan tentang hal itu. Namun, di dalam benak sebagian umat Islam, situasi bulan Ramadan tahun ini menyisakan beberapa pertanyaan terkait hukum puasa di musim wabah Corona. Seperti boleh atau tidakkah meninggalkan puasa untuk menjaga kondisi kesehatan, baik kategori ODP, PDP ataupun bagi warga yang positif Covid-19, atau bahkan bagaimanahukum puasa bagi umat Islam yang tak terindikasi apa-apa.
Untuk melihat masalah ini, para ulama klasik dan kontemporer telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit tidak berpuasa. “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ayat ini menjelaskan setiap orang yang sakit atau musafir boleh tidak berpuasa. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imam Ibn Qudamah dalam kitab Al-Mughni dan Imam Al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ mejelaskan yang dimaksud sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah jika penyakit tersebut bertambah parah karena puasa, pemulihan kesehatan tertunda karena berpuasa, pasien mengalami kesulitan dalam berpuasa meskipun tidak ada peningkatan penyakit, dan yang terakhir sangat khawatir akan menjadi sakit karena berpuasa. Maka dari itu, hukum berpuasa bagi umat Islam di musim corona ada tiga kategori. Pertama, pasien baik yang positif atau yang supect (PDP) yang memerlukan obat dan penanganan medis beresiko tinggi jika berpuasa, maka wajib untuk tidak berpuasa, dia memiliki kewajiban untuk berobat. Jika pasien tersebut memilih untuk tetap berpuasa justru hukumnya bisa menjadi haram.
Kedua, pasien dalam pengawasan atau umat Islam yang tidak terjangkit corona melainkan menderita penyakit lainnya atau mengalami kesulitan dalam berpuasa dikarenakan harus menjaga kesehatan tubuhnya dengan olahraga dan minum air atau vitamin secara teratur demi menjaga kekebalan tubuhnya untuk mencegah corona, maka dia juga diperbolehkan tidak berpuasa. Termasuk paramedis yang bertugas di garis depan menangani pasien covid-19. Sedangkan bagi yang sehat jasmani dan rohaninya, tidak dalam kondisi sakit, maka tetap wajib berpuasa secara sempurna. Mengingat belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan ada hubungan antara puasa dan ancaman corona.
Fikih Mudik
Masalah lain yang muncul adalah kebiasaan mudik menjelang lebaran. Hampir setiap umat Islam yang berada di perantauan selalu pulang ke kampung halaman guna bersilaturahmi. Namun, karena Idul Fitri tahun ini diprediksi masih dibayangi wabah corona maka pemerintah melarang mudik. Disisi lain, masyarakat tetap ingin mudik dengan berbagai argumentasi, mulai dari menjalankan ajaran agama untuk bersilaturahmi, hingga desakan ekonomi lantaran tidak lagi memiliki pekerjaan karena terdampak corona. Lalu bagaimana seharusnya bersikap?
Ya, mudik memang menjadi tradisi masyarakat Nusantara dalam kondisi normal. Namun, pada kondisi hari ini situasinya sedang tidak normal. Kondisi negara dalam darurat kesehatan, maka menghindari wabah penyakit itu merupakan suatu kewajiban. Memang mudik untuk silaturahmi hukumnya adalah sunnah. Tapi, menghindari wabah penyakit justru hukumnya wajib. Jika argumentasinya adalah silaturahmi, maka di zaman modern seperti ini silaturahmi tetap bisa dilakukan dengan teknologi. Orang yang dalam perantauan tetap bisa tersambung. Banyak aplikasi yang terbukti bisa untuk saling sapa dan jadi ajang melepas kerinduan. Yang dilarang agama adalah memutuskan silaturahmi.
Karena dalam kondisi pandemi, silaturahmi mengunjungi dalam arti harfiah tentu tidak mungkin dilakukan. Sebab, jika dilakukan justru malah menimbulkan bahaya. Kondisi ini masuk dalam qaidah fiqih. “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih”. Kaidah ini menegaskan, apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemaslahatan. Maka dari itu, di tengah wabah yang sangat berbahaya ini, silaturahmi bisa jadi mafsadat jika pemudik justru membawa virus dan menularkan kepada masyarakat di kampung halaman.
Namun, pemerintah juga tidak boleh lepas tangan dalam masalah ini. Bagi masyarakat yang berada diperantuan yang ekonomi mereka terdampak corona yang tidak mudik harus mendapat perhatian. Pemerintah perlu memberikan insentif bulanan bagi warganya yang tidak mudik saat lebaran. Pemberian bantuan langsung itu diharapkan dapat menekan keinginan masyarakat yang berada di perantauan untuk mudik ke kampung halaman hingga pandemi berakhir.