Corona Mengajarkan Kita Pentingnya Hablun Minannâs
Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
Pengurus MUI Lampung
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Ibadah dalam Islam ada yang berupa interaksi antara hamba dengan penciptanya (Hablun Minallâh), seperti: shalat, haji dan puasa. Ada juga yang berupa interaksi antar sesama hamba (Hablun Minannâs), seperti: zakat, infak dan shadaqah.
Islam tidak pernah membeda-bedakan antara ibadah yang berdimensi vertikal (Hablun Minallâh) dan ibadah yang berdimensi horizontal (Hablun Minannâs), keduanya sama penting, sebagaimana keduanya juga tidak bisa dipisahkan. Bisa dipastikan, seseorang bermasalah sisi Hablun Minallâh nya kalau sisi Hablun Minannâs nya bermasalah, demikian pula sebaliknya. Al Qur’an mengisyaratkan akan hal itu, ketika ia menginformasikan kepada kita bahwasannya diantara ciri orang yang bermasalah dengan ibadah shalatnya, adalah orang yang tidak mau berbagi dengan sesama manusia dalam hal sepele (Q.S. Al Mâ‘ûn: 7).
Musibah Corona yang menimpa negeri kita dan berdampak sangat luar biasa dari sisi perekonomian, seperti: tidak menentunya bahkan hilangnya pemasukan harian dari banyak kalangan pekerja informal, pemutusan hubungan yang dialami oleh sejumlah karyawan perusahaan dan tersendatnya bahkan tertutupnya akses untuk mencari rezeki, menyadarkan kita betapa pentingnya dalam kondisi seperti ini untuk lebih diintensifkan Ibadah yang masuk dalam ranah Hablun Minannâs, seperti: zakat, infak dan shadaqah, guna mengentaskan dan meringankan beban sebagian kita yang terdampak dengan musibah Corona ini.
Berbicara tentang pentingnya Hablun Minannâs, Islam memang tidak mengajarkan manusia untuk berbagi dengan semua apa yang telah Allah swt karuniakan kepadanya (Q.S. Al Hadîd: 27), cukup dengan sebagiannya saja (Q.S. Al Baqarah: 3), akan tetapi ketika ini dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan, maka bisa dipastikan tidak akan terjadi fenomena kelaparan di muka bumi ini.
Diantara prilaku buruk yang diingatkan oleh Al Qur’an untuk dihindari oleh setiap manusia adalah sikap bakhil (Q.S. Al Isrâʼ: 29), bahkan Al Qur’an menggambarkan bahwasannya manusia ketika dia bersikap bakhil, sejatinya dia sendiri yang akan menanggung akibat buruk dari kebakhilannya di dunia ini (Q.S. Muhammad: 38), sebagaimana ancaman yang mengerikan di akherat pun akan mengintainya, dimana emas dan perak yang dulu ia simpan sewaktu di dunia akan dipanaskan, lalu di taruh di dahi, lambung dan punggungnya sambil ia disetrika denganya (Q.S. At Taubah: 35).
Disaat Hablun Minallâh hanya bisa dilakukan diantara orang yang seiman, tidak dengan Hablun Minannâs. Sebagaimana kemurahan Allah swt di dunia ini diperuntukkan untuk semua umat manusia, baik yang beriman atau yang tidak beriman (Q.S. Al Baqarah: 126), demikian pula dimungkinkan orang yang tidak seiman mendapatkan manfaat dari Hablun Minannâs, sebagaimana yang dilakukan oleh rasululullah saw terhadap Shafwan bin Umayyah, dimana beliau memberikan kepadanya sebagian dari harta rampasan perang Hunain, disaat dia masih dalam kekafirannya.
Sebegitu seringnya rasulullah saw berbuat baik kepada Shafwan bin Umayyah, sebuah riwayat mengabadikan perkataan Shafwan seputar sosok rasulullah saw: Innahû Laʼabghadul Khalqi Ilayya Famâ Zâla Yu‘thînî Hattâ Innahû Laʼahabbul Khalqi Ilayya (sesungguhnya dia (Muhammad saw) sosok manusia yang paling tidak aku senangi, (akan tetapi) dia terus memberiku, sampai dia menjadi sosok manusia yang paling aku senangi) (At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, No Hadits. 668).
Muhammad Sayyid Thanthawi bahkan mengatakan, bahwasannya yang dimaksud dengan kelompok keempat yang berhak menerima zakat (Al Muʼallafah Qulûbuhum): bukan saja sebatas para Muallaf guna meneguhkan keimanan mereka, akan tetapi juga orang yang masih dalam kekafiran, ketika ada kemaslahatan dan diharapkan keimanan mereka di kemudian hari (At Tafsîr Al Wasîth, Juz 6, Hal. 331).
Kalau saja sedemikian peduli, ajaran Islam terkait Hablun Minannâs dengan sesama umat manusia, walaupun mereka berbeda dalam hal keimanan, tentunya lebih lagi dengan sesama saudara yang seiman. Sebagaimana Kalau saja sedemikian penting Islam memandang Hablun Minannâs, walaupun bukan dalam kondisi bencana, apalagi disaat kita berada dalam kondisi bencana.
Memberi makan dalam kondisi bencana memang sesuatu yang berat dilakukan dan membutuhkan pengorbanan (Al ‘Aqabah), akan tetapi bagi yang sanggup melakukannya, Allah swt sejajarkan ganjarannya, seperti: ganjaran seseorang yang dengan niatan tulus dan ikhlas membebaskan seseorang dari belenggu perbudakan (Q.S. Al Balad: 12-14), dimana karenanya Allah swt akan membebaskan setiap dari anggota tubuhnya dari siksaan api neraka (Al Bukhari, Shahîh Al Bukhârî, No Hadits. 6337).