Warga NU dan Religio-Social Care
Oleh Miftahus Surur
Wakil Ketua Lazisnu Provinsi Lampung
Pagi ini 15 April 2020, ketika membuka situs NU Online tersisip berita yang memprihatinkan. Dikisahkan seorang penjual bakso keliling yang mengalami penurunan penghasilan karena sepinya pembeli, tentu saja efek dari merebaknya Covid-19.
Nasib yang dialami oleh Joni –demikian tokoh yang dikisahkan- pastinya menimpa banyak “Joni-Joni” yang lain di negeri ini. Joni si tukang bakso itu tidaklah sendirian, di ragam tempat dan wilayah, tidak sedikit dari kelompok warga masyarakat yang menjerit dan mengeluh karena semakin sulit untuk mempertahankan hidup.
Kita semua mengerti bahwa ‘kelompok terdampak’ secara ekonomi dan sosial dari Covid-19 ini adalah warga yang tidak mampu. Dan jika merujuk pada data masyarakat muslim di Indonesia, maka yang paling besar adalah warga Nahdlatul Ulama (NU).
Dan jika ditelisik lebih jauh, dari sekian banyak jumlah warga NU, mayoritas berada pada posisi yang tidak mampu. Jikalaupun terdapat warga NU yang kaya, maka itu sangatlah sedikit. Pendeknya, warga NU merupakan pihak yang paling rentan atas dampak penyebaran Covid-19 ini.
NU sendiri memang memiliki banyak Badan atau Lembaga yang memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat. Diantara Lembaga yang bergerak dibidang pengelolaan keuangan secara syar’i dan mandiri adalah NU-Care Lazisnu.
Lembaga ini dibentuk dari tingkat pusat hingga tingkat daerah (Kabupaten) bertujuan untuk menggalang zakat, infaq dan shadaqah dari warga masyarakat –khususnya warga NU- untuk meningkatkan level dan martabat keberdayaan masyarakat.
Dengan pengertian lain, Lazisnu diupayakan menjadi satu-satunya lembaga pengelola zakat di tubuh NU. Sehingga Lembaga atau Badan lainnya lebih difokuskan pada penguatan kualitas sumberdaya manusianya. Saya membayangkan, jika Lazisnu menjadi bengkel kesejahteraan (fisik) warga NU, maka Lembaga NU yang lain mengisi ruang ‘hati’ dan ‘fikiran’ warganya.
Pemilahan seperti ini penting agar fokus kinerjanya tertata dan rapi. Dari sekian Lembaga yang ada, Lazisnu mungkin belum begitu popular dibandingkan dengan nama GP Ansor, Muslimat, Fatayat, atau juga PMII. Tetapi keberadaan Lazisnu kini harus diperhitungkan secara khusus mengingat lembaga inilah yang mendapat amanat untuk mensejahterakan warga NU khususnya, dan masyarakat lain pada umumnya.
Itulah mengapa, dan sangat maklum jika sekiranya akhir-akhir ini Lazisnu di semua tingkatan bergerak turut membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak Covid-19 ini.
Dari mulai Probolinggo, Malang, hingga Bawean semuanya bergerak. Di Lampung, yang tahun 2020 ini direncanakan sebagai tempat berlangsungnya Muktamar ke-34 NU, juga tidak kalah bergerak aktif membagi-bagikan sembako, APD, atau juga masker kepada masyarakat.
Apa yang menarik dari ragam gerakan sosial ini adalah kuatnya keyakinan keagamaan yang menggerakkan setiap individu atau kelompok untuk aktif membantu yang lain. Dalil dan doktrin agama –yang shahih- mengajarkan bahwa; “manusia memiliki kewajiban terhadap lain”, “tangan diatas lebih baik daripada di bawah”, “jangan pendam hartamu tapi sisihkan untuk yang lain” merupakan deret postulat yang harus diwujudkan dalam aksi nyata. Itulah makna sebuah ke-shaleh-an.
Kepedulian sosial seperti ini kerapkali muncul dan mengemuka justru dari orang-orang yang selama ini akrab dan identik dengan keterpinggiran. Orang-orang terpinggir inilah yang sudah hafal betul bagaimana pahitnya mengarungi hidup dan kehidupan.
Memang, saat ini harta benda sangatlah penting. Tetapi terkadang, kepedulian antar-sesama juga tidak kalah penting dari sekedar uang.
Kita harus memaknai bahwa gerakan membantu yang lemah di tengah pandemi Covid-19 ini bukan semata-mata bagi-bagi uang atau sembako. Tetapi ada makna yang lebih penting dari itu, bahwa ketika kita berada pada posisi lemah dan tersudut, ternyata masih banyak sahabat yang berada di samping kita.
Allah swt tidak mungkin dijangkau dengan nalar untung-rugi, melainkan dengan kasih-sayang antar sesama. Disitulah agama dan sosial bertemu pada satu ruang dan waktu yang sama.