Opini: Fleksibilitas Ajaran Islam Dibalik Musibah Corona

Share :

Fleksibilitas Ajaran Islam Dibalik Musibah Corona
Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
Pengurus MUI Lampung
Dosen UIN Raden Intan Lampung

Ajaran Islam merupakan ajaran yang tidak kaku dan tidak pula hitam putih, dia bersifat fleksibel. Sebuah ajaran dalam Islam bisa tidak berlaku ketika dia berpotensi melahirkan sebuah kemudharatan, Karena pada prinsipnya, ajaran Islam dibangun dalam rangka menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta.

Al Qur’an dalam banyak ayatnya mengingatkan kita dengan beragam redaksinya akan fleksibilitas ajaran Islam. Dalam surah Al Baqarah: 185, Allah swt menegaskan bahwasannya Dia menginginkan kemudahan bukan kesulitan atas hamba-Nya dalam menjalankan syariat-Nya. Dalam surah Al Hajj: 78, Allah swt mengingatkan bahwasannya dalam beragama, Dia tidak menginginkan kesempitan dan kesukaran. Dalam surah Al Baqarah: 286, Allah swt menyampaikan bahwasannya Dia tidaklah membebani hamba-Nya diluar batas kesanggupannya.

Dan dalam surah Ath Thalaq: 7, Allah swt juga menyampaikan bahwasannya Dia tidaklah mungkin menyamaratakan kewajiban diantara hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia atas hak preogratif yang dimilikinya membedakan hamba-Nya dalam urusan rezeki, maka demikian pula Dia hanya mewajibkan hamba-Nya sesuai dengan rezeki yang diberikan kepadanya.

Sebagaimana dalam surah Asy Syarh: 5-6, Allah swt sampai mengulang kalimat Ma`a Al `Usri Yusran sebanyak dua kali sebagai penegasan dari-Nya, bahkan membedakan antara redaksi Al `Usri (kesukaran) dalam bentuk Ma`rifah (definitif) dan redaksi Yusran (kemudahan) dalam bentuk Nakirah (indefinitif), hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwasannya ada kemudahan dibalik kesukaran, bahkan kemudahan yang Allah swt berikan kepada hamba-Nya jauh lebih luas dan jauh lebih banyak dibandingkan dengan kesukaran yang dihadapinya.

Ayat-ayat diatas menegaskan akan fleksibilitas ajaran Islam, dimana Islam tidak menginginkan sebuah kemudharatan dialami oleh manusia, disebabkan dia memaksakan diri melakukan satu amalan, dimana Islam sejatinya telah mentolerirnya untuk tidak melakukannya dan telah memberikan kemudahan kepadanya.

Para Fuqaha bersepakat merujuk kepada firman Allah swt dalam surah Al Jumu`ah: 9, bahwasannya hukum shalat jum`at adalah Fardhu `Ain, bagi seorang muslim yang merdeka, berakal, baligh, bermukim dan berkemampuan. Pandangan para Fuqaha ini, dengan catatan apabila tidak ada halangan yang membolehkannya untuk tidak melaksanakan shalat jum`at (As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah).

Wabah Corona yang melanda satu kawasan, apalagi merujuk kepada pendapat para ahli yang kredibel dan berkompeten, bahwasannya pelaksanaan shalat jum`at di kawasan tersebut harus ditiadakan karena berpotensi menjadi sumber penyebaran virus corona, dalam hemat kami jauh lebih kuat dan diterima oleh nalar untuk dijadikan alasan dari sekedar alasan hujan lebat, yang karenanya dulu pada masa rasulullah saw pelaksanaan ibadah shalat jum`at ditiadakan, dan sebagai gantinya para sahabat diperintahkan untuk melaksanakan shalat zhuhur sebagaimana biasa (H.R. Abu Dawud. No Hadits. 1061).

Itulah satu contoh kongkrit dari fleksibilitas ajaran Islam, sebuah ajaran yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan bersyukurlah kita sebagai umat Islam, dimana ajarannya bersifat fleksibel dan penuh dengan nilai-nilai kemudahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *