Srigaluh: Sisi Lain tentang Covid-19
Miftahus Surur
Nusantara hiruk. Kabar berhembus demikian cepat dari sebuah dusun yang googlemaps saja ‘sulit’ menemukannya. Srigaluh, namanya. Dusun ini sedang ramai dibicarakan banyak orang dengan penuh kekaguman, mungkin juga keharuan atau puja-puji, karena keterbukaan sikap warganya yang dengan hati terbuka menerima “kepulangan” salah-satu anggotanya setelah seminggu berjibaku melawan gerogotan Covid-19.
Konon, sang jenazah dipaksa dibawa pulang untuk disemayamkan di kampung halaman setelah terdapat kabar adanya ketidakterterimaan dari beberapa warga masyarakat kota. Warga masyarakat Srigaluh yang mendengar warta itu tanpa berpikir dua kali langsung menyatakan siap menerima jasad yang “berpenyakitan” itu. Ada apa dengan Srigaluh?
Sebelumnya, dan ramai unggahan yang menyebut nama Sekincau, sebuah Desa dimana persemayaman itu dilaksanakan. Tentu tidak salah dengan itu, terlebih jika melihat bahwa Srigaluh adalah salah satu dusun yang merupakan bagian dari dalamnya.
Tetapi Sekincau tentu saja ragam. Beberapa hari sebelum peristiwa itu, di sebuah dusun lain di Sekincau juga berduka karena salah satu warganya “berpulang”. Tiada satu pun tetangga yang melongok, tiada saudara yang berkumpul melafadzkan tahlil, dan tiada pula handai-taulan yang tergopoh-gopoh membawakan keranda. Sebuah kicauan merenda: “sang jenazah mati diduga karena terjangkit Covid-19.”
Srigaluh lain.
Kini, kedatangan jasad bervirus di Srigaluh itu tak pernah ditampik. Beberapa orang juga tampak bersemangat menggalikan liang kubur sebagai tempat persemayaman terakhir sang”syahid”. Bahkan tampak pula beberapa tetangga yang menyaksikan pengebumian itu secara langsung, meskipun harus dari jarak jauh, sebagaimana anjuran dari kuasa kebijakan.
Tentu, penerimaan bumi Srigaluh itu bukan karena warganya tidak keder dengan rongrongan Covid-19, juga bukan karena tidak ciut dengan kemungkinan akan tertular atau terjangkit virus Wuhan itu. Tetapi, ada yang lebih dari sekedar khawatir dan takut yang mendera, yaitu kemanusiaan. Ya, kemanusiaan yang meluluhlantakkan sekat dan tembok tebal nalar kelas menengah. Kemanusiaan yang terwujud dari suatu pergumulan panjang warganya dengan spiritualitas yang terus-menerus dibatinkan.
Warga Srigaluh bukanlah deretan tubuh dan sosok penuh gelar. Mereka warga kampung kebanyakan. Bahkan, dari sekitar 70-an Kepala Keluarga yang ada, tidak lebih dari 10 orang didalamnya yang bergelar sarjana. Kondisi keseharian mereka pun bersahaja dengan rata-rata petani kopi dan sayur-mayur, serta sedikit pedagang eceran.
Tapi justru, dengan kesederhanaan itu, mereka sangat sadar bahwa menghargai manusia adalah juga menghargai Sang Pencipta. Itulah yang setiap saat mereka batinkan melalui sujud dan kalimat suci yang ditasbihkan, serta kajian sufistik yang telah menjadi rutin.
Spiritualitas yang dibatinkan itu menimbulkan rasa kehinaan diri sebagai makhluk yang kemudian meletupkan keyakinan bahwa kematian – dengan cara apapun dan melalui washilah apapun – bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Mereka tidak lagi peduli apakah jasad itu meninggal dengan cara “wajar” atau tidak. Yang mereka tahu, setiap manusia memiliki kewajiban terhadap manusia yang lain.
Pada akhirnya, Srigaluh ingin meraungkan sebuah sabda bahwa kemanusiaan itu lebih penting dari segalanya. Gotong-royong, kerjasama, bahu membahu, atau apapun namanya hanya mungkin dapat dihamparkan ketika kemanusiaan itu menjadi ruh, atau mengutip Bergson (1930-an) sebagai elan vital, Jalaluddin Rumi menyebutnya dengan istilah Isyq, kaum santri menyebutnya al-Hubbu (cinta), yaitu dorongan hidup yang terus-menerus mengalir dan tumbuh, dimana ilmu pengetahuan yang disusun para intelektual (kaum nalar), tidak akan mampu memahaminya. Covid-19 boleh saja menakutkan, tetapi yang lebih menakutkan adalah matinya kemanusiaan itu sendiri.
Lereng Gunung Sekincau, Subuh 06 April 2020