UU No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan KdRT dalam Pasal 51, 52 dan 53 merupakan Delik aduan dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual dengan pelaku pasangan suami/istri. Secara kontekstual, sebagian besar pelaku adalah suami korban, sehingga perubahan perilaku kekerasan menjadi penting dan hal ini sudah diakomodir terkait konseling bagi pelaku pada Pasal 50, sebagai pidana tambahan. Akan tetapi, pengalaman penanganan KdRT, yang ditemukan adalah bahwa sebelum sampai proses persidangan, laporan korban yang masuk kategori delik aduan di kepolisian, sudah banyak yang dicabut dengan berbagai alasan, antara lain takut ancaman pelaku. Kondisi ini menempatkan para penyidik kepolisian pada posisi yang pelik, mengingat secara procedural terjadi pencabutan laporan delik aduan korban KdRT, sedangkan potensi pengulangan kekerasan sangat mungkin terjadi, karena pelaku tidak menerima konseling selama masa pengaduan tersebut. Bahkan, kasus dimana korban meninggal pasca mencabut laporannya, karena telah menerima perilaku kekerasan yang lebih parah dari pelaku sebagai bentuk pelampiasan dendam atas laporan korban.
Sementara dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, di Pasal 2, dengan jelas menyatakan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Dengan demikian perlindungan warga negara dari kekerasan, termasuk KdRT tidak luput dari fungsi tersebut. Salah satu kebijakan Kapolri terkait dengan hal tersebut, Kapolri mengeluarkan Surat Keputusan KAPOLRI No: Kep/1219/XI/2017, Tentang Konselor Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana para petugas yang ditetapkan tersebut terdiri dari para dokter jiwa dan psikolog klinis yang telah dilatih dan memiliki kompetensi cukup untuk menangani konseling bagi pelaku KdRT.
Atas dukungan RutgersWPF Indonesia, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR menyelenggarakan Konsultasi Formal “Pengembangan Kebijakan Payung Pelaksanaan Penanganan KdRT di Lingkungan Kepolisian” yang bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Lampung yang melibatkan 32 anggota UPPA dari Polda dan Polres Kabupaten/Kota. Kegiatan yang diselenggarakan pada 18 Desember 2019, di Hotel Emersia dengan menghadirkan narasumber: AKP. Endang Sri Lestari, SH., MSi – Polda Metro Jaya, Margaretha Hanita – konsultas Prevention+, Dr. Tisnanta, M. Hum – akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan AKBP Adisastri, SH. MH – UPPA Kepolisian Daerah Lampung.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat perspektif kepolisian tentang pentingnya intervensi terhadap laki-laki pelaku sebagai upaya menurunkan angka kekerasan berbasis gender di Lampung khususnya kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi adanya peluang dikembangkannya kebijakan payung pelaksanaan penanganan KDRT di lingkungan kepolisian di Propinsi Lampung, dan memfasilitasi konsolidasi pembelajaran pelaksanaan secara formal Panduan Penanganan KDRT di lingkungan kepolisian. (Rls)