Hukum Mengucapkan
Selamat Natal Bagi Seorang Muslim
Oleh :KH. Sobri Dinal Mustofa, MS.c
UACAPAN Selamat Hari Natal seorang Muslim kepada non Muslim dalam hal ini kaum Nasrani, adalah masalah Ijtihadiy, masalah khilafiyah yang menunai pro dan kontra antara ulama yang satu dengan lainya, walaupun mereka dalam “satu madzhab”. Memang tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad ﷺ hidup , umat Islam membutuhkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani . Berikut ini adalah dua pandangan yang saling berbeda.
1.ULAMA YANG MELARANGNYA
Sebagian ulama menganggap Hari Raya Non Muslim, bukan termasuk Hari Raya yang mendatangkan kebaikan bagi umat Islam. Oleh karena itu mengikuti tradisi mereka, seperti ucapan Hari Natal atau ikut merayakanya, dipandang tidak perlu pula itu dilakukan. Dalam konteks ini al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘anin al-Ibtida’ sebagai berikut:
ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير
من جهلة المسلمين من مشا ركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو
اكبر اعياد النصارى ] الحافظ جلال الدين السيوطي، الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع ص 141.[
“Termasuk Bid’ah Munkarot adalah penyerupaan [muslimin] terhadap orang –orang kafir, dalam hal hari-hari raya mereka, momen-momen tertentu mereka yang tidak terpuji, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang-orang muslim yang bodoh, terhadap masyarakat Nasrani. Demikian pula sikap mereka [muslim] dimana mereka melakukan sikap seperti itu pada “Kamis Putih” yang merupakan Hari Raya orang-orang Nasrani.[Al-hafidz jalaudin As-Suyuthi :Al-Amr bi al-Itiba’ Wa An-Nahyi ‘Ani al-Ibtida’: 141]
Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه … وإن بلي الرجل بذلك فتعاطاه دفعا لشر يتوقعه منهم فمشى إليهم ولم يقل إلا خيرا ودعا لهم بالتوفيق والتسديد فلا بأس بذلك وبالله التوفيق. (ابن قيم الجوزية، أحكام أهل الذمة 1/442[
“Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan Hari Raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, Hari Raya berkah buat Anda, atau Anda selamat dengan Hari Raya ini dan sesamanya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, maka termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan zina yang haram dan sesamanya. .. Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, “Ahkam Ahl al-Dzimmah”: juz 1 hal. 442).
Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa ucapan Selamat Natal, hukumnya haram dilakukan oleh seorang Muslim, karena termasuk mengagungkan simbol-simbol kekufuran menurut agamanya.
Lalu bagaimana, jika sekelompok umat Islam berpartisipasi menghadiri acara natal dengan tujuan mengamankan acara Natalan? Tentu saja, hukumnya juga haram. Al-Imam Abu al-Qasim Hibatullah al-Thabari al-Syafi’i, seorang ulama fiqih madzhab Syafi’i berkata:
قال أبو القاسم هبة الله بن الحسن بن منصور الطبري الفقيه الشافعي ولا يجوز للمسلمين أن يحضروا أعيادهم لأنهم على منكر وزور وإذا خالط أهل المعروف أهل المنكر بغير الإنكار عليهم كانوا كالراضين به المؤثرين له فنخشى من نزول سخط الله على جماعتهم فيعم الجميع نعوذ بالله من سخطه
“Telah berkata Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari, seorang faqih bermadzhab Syafi’i: “Kaum Muslimin tidak boleh (haram) menghadiri Hari Raya non Muslim, karena mereka melakukan kemunkaran dan kebohongan. Apabila orang baik bercampur dengan orang yang melakukan kemunkaran, tanpa melakukan keingkaran kepada mereka, maka berarti mereka rela dan memilih (mendahulukan) kemunkaran tersebut., maka dikhawatirkan turunnya kemurkaan Allah atas jamaah mereka (non-Muslim), lalu menimpa seluruhnya, kita berlindung dari murka Allah.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”[Q.S Al-Furqan : 72]
Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.
2. ULAMA YANG MEMPERKANANKAN
Sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[Al-Mumtahanah : 8]
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.
Nampaknya Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri ikut mengambil pandangan ulama-ulama kelompk kedua ini. Habib Ali Zainal Abidin membantah pernyataan Ibnul Qoyyim di atas yang menegaskan “haram mengucapkan sel;amat natal” sebagai Ijma Ulama. Karena Ibnul Qoyyim adalah bermadzhab Hambali, sementara madzhab ini para ulamanya terpilah pandanganya pada Tiga Hukum :Yaitu Makuh, Haram dan Jawaz [boleh]. Sembari menegaskan : bahwa siapa yang mengharamkan, karena perkara ini masuk wilayah khilafiyah, maka harus menghormati mereka [ulama] yang berpandangan sebaliknya. Jadi tidak akan terjadi saling menyalahkan apalagi sampai mengkafirkan.
Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina):
هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا
لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ.
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, yakni Umar Amrul Mu’minin, kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, hal. 609)
Catatan Penulis: mensikapi dua pendapat di atas maka barangkali layak dan tepat jika kita pilah-pilah sbb:
1.Seorang muslim secara pribadi, dengan ke-ilmuan yang cukup , bisa mengharamkan atau memperkenankan ucapan selamat natal kepada kaum Nasrani. Silahkan mengikuti sesuai Hujjah pilihanya.
2. Seorang Muslim yang awam, dengan ilmu yang minim, sebaiknya mengambil sikap yang lebih aman dan hati-hati [yakni tidak usah mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani] tetapi tetap hormat dalam kontek ukhuwah basyariyah.
3. Seorang Muslim yang punya jabatan yang dipilih dari suara rakyat [Muslim dan non muslim] , atasnama jabatanya [Presiden, Gubernur , Bupati, camat, kepala Desa] lebih santun jika pada suasana kaum Nasrani Natalan, untuk mengucapkan Selamat Natal kepada warganya yang Nasrani, jika dipandang perlu dan pada tempatnya. Wallhu A’lam Bis Showwab.
Penulis adalah Wakil Ketua MUI Kabupaten Pringsewu (Pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pringsewu periode 2012-2017)