Amaliyah NU-Santara
M. Luqmanul Hakim Habibie
Rumah Tahfidzul Quran “al Quds”
Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa dilepaskan dari cara-cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antipati terhadap nilai-nilai normatif diluar Islam, melainkan mengakulturasikanya dengan membenahi penyimpangan didalamnya dan memasukan ruh-ruh keIslaman kedalam subtansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan ritualitas Muslim Nusantara khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.
Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara khususnya kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum nahdliyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di dalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan oleh Islam.
Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a, membaca Al Qur`an dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu tersebut, tidak lebih hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis dan kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam pandangan kaum Nahdliyin kehadiran islam yang dibawa oleh Rosulullah SAW. Bukanlah untuk menolak tradisi yang telah berlaku dan mengakar menjadi kultur kebudayaan masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan dan pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rosulullah. Budaya lokal yang mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikanya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri.
Kendati demikian amaliyah dan ritual keagamaan kaum nahdliyin seperti itu sering mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktek-praktek mistisme, Khurafat, Bid`ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektivitas akibat terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar memahami hakekat amaliyah dan ritual kaum Nahdliyin tersebut. Pihak-pihak yang seperti itu, wajar apabila kemudian dengan mudah melontarkan tuduhan bid`ah atau syirik terhadap amaliyah dan ritualitas kaum Nahdliyin, seperti tahlilan, maulid Nabi, Manakib, Ziarah kubur dan amaliyah-amaliyah lainya.
Tuduhan-tuduhan bid`ah seperti itu sangat tidak berdasar secara dalil maupun ilmiah dan lebih merupakan sikap yang mencerminkan kedangkalan pemahaman keislaman. Adapun hadis yang menyatakan: setiap bid`ah adalah sesat ”Harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum”.
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه مالك)
“ Apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah”(HR. Malik)
Berdasarkan Hadist diatas ulama sepakat hal yang dianggap baik oleh kaum muslimin dan muslimat, dan hal yang membawa efek kemaslahatan bagi umat bangsa dan agama maka dibenarkan dan diterima oleh umat Islam. Islam sejak datangnya tak pernah mendikotomi antara budaya kearifan lokal serta nilai – nilai agama Syar’iyyah. justru islam datang untuk menjadikan budaya yang tadinya belum bersyahadat (*Red) menjadi Budaya atau tradisi yang Bersyahadat yang tak pernah merubah islamic values yang berazazkan al Quran maupun al Hadist.
[08:43, 10/23/2019] Rudi Santoso: mana fotonya