MENEGUHKAN SPIRIT TOLERANSI
Oleh: Imam Mustofa
(Kader NU Kultural, Alumnus Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Indonesia adalah negara plural, bukan hanya dari aspek ras, suku, budaya dan bahasa, namun juga dari aspek keyakinan, agama dan aliran serta paham keagamaan. Pluralitas inilah yang menjadikan bangsa Indonesia lebih indah dengan berbagai corak warna, dinamika dan dialektika yang ada. Namun demikian, apabila pluralitas ini tidak dapat dijaga dan dimenej dengan baik, tidak menutup kemungkinan akan mengoyak keindahan “lukisan” Indonesia yang penuh warna tersebut. Oleh karena itu, spirit toleransi harus terus dibangun dan diteguhkan agar ada sikap menghargai terhadap perbedaan yang ada.
Dinamika Relasi Intra Umat Beragama
Hubungan yang terkait dengan ideologis, merupakan sosial yang paling kompleks. Hal ini terjadi karena ideologi atau agama tertentu di satu sisi bisa menyatukan, mempersatukan dan mempersaudarakan, namun di satu sisi tidak jarang malah menjadi pemicu ketegangan, bahkan memicu konflik dan perpecahan. Terlebih bila ideologi agama tersebut telah terkontaminasi dengan tendensi politik tertentu.
Seandainya seluruh umat manusia di muka bumi ini memeluk satu agama, maka ketegangan dan bahkan konflik berlatar belakang idoelogi agama akan tetap ada, bila tidak ada kedewasaan dalam menghadapi isu-isu tertentu dan tanpa adanya sikap toleransi terhadap perbedaan pemikiran dan interpretasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah persamaan idoelogi dan pemahaman, akan tetapi sikap menghargai dan menghormati berbagai perbedaan.
Sikap intoleran sering muncul di kalangan umat Islam, umat yang diklaim sebagai umat yang terbaik, (khoiru mmah), umat cinta damai, persatuan dan persaudaraan. Sikap intoleran ini berakibat pada tindakan radikal dan kekerasan.
Hubungan internal umat Islam memang rentan akan ketegangan dan konflik, hal ini secara garis besar disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, perbedaan memahami dan interpretasi teks-teks sumber Islam. Ayat-ayat dalam al-Quran dan al-Sunnah umumnya masih sangat global, sehingga menimbulkan interpretasi berbeda di kalangan umat Islam. Perbedaan interpretasi inilah yang berakibat pada praktik agama tertentu, baik yang bersifat ritual murni, maupun sikap dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Kedua, tidak adanya pemegang otoritas tunggal dalam penyebaran paham agama pasca Nabi Muhammad SAW. Semua paham agama Islam deikembangkan oleh kalangan tertentu yang tidak lepas dari unsur subyektifitas interpretasi mereka terhadap teks. Memang ada lembaga tertentu, seperti majelis ulama, namun hal tersebut tidak merepresentasikan pemegang otoritas dalam Islam.
Ketiga, adanya isu-isu tertentu yang memang sengaja atau tidak, yang muncul dan menyulut ketegangan sesama umat Islam. Isu-isu mengenai aliran atau madzhab tertentu, seperti Syi’ah, Ahmadiyah dan lainnya, wacana pemikiran Islam liberal dan isu-isu lain yang menimbulkan perbedaan di kalangan umat Islam.
Keempat, adanya kekurangdewasaan dalam menyikapi perbedaan pemikiran di kalangan tokoh agama, sehingga menimbulkan sikap dan tindakan kontraproduktif dengan nilai Islam sendiri. Misalnya dalam menyikapi wacana pemikiran Islam liberal dan relasi Suni-Syi’ah. Bila sikap yang dipegang adalah sikap kebenaran mutlak sebuah interpretasi tokoh atau kelompok terntentu, maka akan memunculkan pandangan menyalahkan dan menyesatkan kelompok lain.
Peran Tokoh Agama dalam Meneguhkan Toleransi
Para tokoh agama, Kiyai, Ustadz dan para d’ai mempunyai peran signifikan dalam membangun dan meneguhkan toleransi umat beragama. Dakwah yang mereka lakukan harus berorientasi mengajak kepada kebaikan dan dilakukan dengan cara yang baik. Tidak menggunakan bahasa-bahasa yang provokatif yang kontraproduktif dengan esensi dakwah sebagai wahana untuk mengajak kebaikan.
Tokoh agama dalam berdakwah harus mengedepankan spirit toleransi, persatuan, persaudaraan dan perdamaian (al-tasamuh wal ukhuwwah) umat manusia tanpa memandang adanya sekat-sekat sosial, suku, agama dan kekyakinan. Namun demikian, bukan berarti mempermainkan aqidah Islam, akan tetapi mengimplementasikannya dengan pandangan bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang harus dihargai dan dihormati. Menistakan atau membenci makhluq berarti menistakan dan membenci kholiqnya.
Para tokoh agama harus membangun toleransi dengan melihat nilai agama dan kebangsaan Indonesia. Toleransi yang dibangun harus melihat konteks saudara satu bangsa dan satu tanah air. Toleransi yang dibangun tersebut diletakkan di atas landasan mashlahat yang menjadi tujuan pokok dari syariat Islam. Bersikap toleran akan mendatangkan kemaslahatan lebih besar dibanding bereaksikap provokatif dan intoleran terhadap saudara sesama umat seagama. Sikap ini akan lebih baik daripada menebarkan kebencian, menyerang balik dengan kekerasan serupa. Keutuhan persaudaraan sesama anak bangsa, sudara setanah air satu agama, satu Tuhan, satu Nabi harus lebih diutamakan daripada ego sektoral dan tindakan-tindakan emosional lainnya.
Spirit dan sikap toleran harus diteguhkan. Para tokoh agama harus berperan aktif dalam menjaga persatuan umat dan bangsa. Bersikap toleran dalam rangka menciptakan kemaslahatan persatuan Indonesia, kemaslahatan persaudaraan satu agama, sesama umat beragama dan mempertahankan perdamaian di antara anak bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Bersikap toleran sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sejak masa awal Islam.