Senyum dan Rindu Terakhir
Sa’daturrahmah
(Mahasiswi UIN Raden Intan Lampung)
Pohon mangga di halaman berbisik-bisik lembut tertiup angin sore, dedaunan kering saling bertemu senyum, terjatuh lembut terbawa angin kencang, seperti biasa aku berdiri di loteng atas bangunan paling tua di pondok putri bersama sahabatku (sebut saja wafa), tempat yang slalu menemani senjaku di kala banyak yang kurindu, tahukah rindu??? aku slalu padamu, kamu hal yang slalu ku nanti dan ku benci, karna banyak senyum sapa yang terjeda dengan lembut olehmu…
Wajar saja loteng pondok dapat melihat apa saja dari kejauhan termasuk pondok putra wkwk…
***
“Wafa” membuyarkan lamunanku (karena aku tak bisa lagi mengucapkan kata-kata indah hidup di dunia pesantren) ra raaaa zahraaaaa ayok turun sebentar lagi adzan kita harus siap-siap berjamaah sholat magrib.
Panggil saja aku Zahra, aku santri dari Bandar Lampung yang dikirim abiku nyantri di pondok putri Darul Falah III Jekulo Kudus Jawa tengah. Sudah dari MTS aku berada disini, sekarang aku semester akhir di IAIN Kudus Fakultas tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (jangan tanya mengapa aku betah).
“Assalamuallaikum” ucap abyan yang tiba-tiba datang (aku kaget)…
“Waalaikumussallam”. Jawabku dan sahabatku wafa yang berada saat itu di kantin bersamaku (kami satu kamar tidur di pondok yang membedakan hanya jurusan saja, wafa Pendidikan Agama Islam dan aku Bahasa Arab)
***
Aku dekat sekali dengan abyan bahkan sedekat diriku dengan urat nadiku sendiri, semenjak MTS dia slalu satu kelas dengan ku, entah hal apa yang membuat diriku slalu dekat dengan dia, pastinya dia selalu menjadi teman ributku di setiap saat, hal yang tak pernah aku lupa yaitu surat terakhir ulangan yang masih aku simpan saat ini dalam buku diaryku, dalam surat itu “Semakin senyum jarang akan hampa menyapa ra” air mataku menetes setiap kali menatap bayangan rindu senyumnya, bahwa yang dia tak tau ketika berjuta butiran rasa aku menyayangi dia dan sangat menyayanginya.
Sejak lulus Madrasah Aliyah Abyan meninggalkan sajak indah di hati ini, Abyan pergi menimba ilmu di Negeri Yaman. Aku masih menunggu tawanya beberapa tahun, aku menjalani alur cinta dan rindu yang tak pernah pasti.
Sejak lulus MA 4 tahun berlalu Abyan menemuiku “Dan menghantarkan Undangan pernikahannya dengan seseorang yang dijodohkan orang tuanya”
Tutur Abyan dalam lamunanku “Zahra, datang ya”
“Insyaallah Abyan, Zahra pasti datang”
Aku melemas, dan hatiku tak bisa tenang seakan-akan rindu yang kumiliki untuknya akan selamanya sirna, wajah yang selalu ku tatap dalam diam, akan menatap wajah yang lain setiap kedipan matanya dan akan tinggal bersama dengan wanita pilihan orang tuanya. Hatiku selalu bertanya…Apakah Abyan tak menyayangiku??? Aku tak pernah bisa melupakan wajah seseorang yang pertama sejak 10 tahun lalu…
***
Aku pulang ke kampung halaman dengan sejuta kenangan…
Banyak lelaki yang datang kerumahku untuk memberikan niat baik mereka termasuk mas Fauzan, tapi aku tetap saja tak dapat dan tak pernah bisa melupakan wajah Abyan dan semua kenangannya selama ini bersamaku yang slalu dalam angan.
Malam itu aku sangat gelisah, aku terima mas Fauzan karna ibuku bersih keras dalam penerimaan mas Fauzan untuk mendapingi hidupku.
***
Sangat jarang sekali aku melontarkan sepatah katapun kepada mas Fauzan, dia slalu sabar menghadapi sikap dinginku terhadapnya.
1 tahun berlalu pernikahan kami, akhirnya aku sangat luluh karena mas Fauzan selalu memperlakukan diriku seperti Ali bin Abi Thalib kepada Fatimah, mas Fauzan tak pernah meninggalkan diriku sedetik pun itu. (keluarga kami bahagia namun slalu ada yang kurang dengan tawa dan tangisan anak kecil di rumah kami).
3 tahun berlalu, aku dan mas Fauzan belum di karunia anak (sehingga ibu mertua tak menyukaiku bertemu dan menyapa dengan senyum mungkin hanya mimpi saja dengan ibu mertuaku) sedih, namun ku tetap tersenyum bahwa aku yakin Allah selalu berpihak bersamaku dan bersama mas Fauzan.
Ibu mertua meminta mas Fauzan untuk pulang kampung selam 4 hari karena ada surat pengalihan tanah kepada mas Fauzan.
(1, 2, 3, 4,5, dan 6 hari mas Fauzan tak mengabari diriku)
7 hari di pagi hari mas Fauzan menyapa senyum di layar ponselku….
“Assalamuallaikum, bagaimana keadaan bidadariku, ku rindu senyummu…semoga kau selalu rindu padaku”
“Waalaikumussallam mas J Alhamdulillah… aku yang slalu merindukanmu…
***
Kepergian mas Fauzan sudah 14 hari, kepalaku sering pusing dan sering sekali mual akhirnya aku memutuskan pergi ke dokter pribadiku.
Bu Zahra selamat ya…(ucap dokter bahagia)…
Alhamdulillah tak di sangka ada cahaya yang datang dalam keluarga kecilku, aku mengandung sudah 3 minggu (pikirku ini adalah hadiah terbaik yang akan ku berikan untuk mas Fauzan pada ulang tahunnya nanti)…
Slalu ku tunggu kabar mas Fauzan, selalu ku ukir goresan pena yang ada dalam buku harianku, setiap goresan kebahagiaan ku ukir tanpa mas Fauzan. Dia tak pernah mengirim sapa dan rindu kepadaku (terdiam dan melamun sejenak), tiba-tiba aku ingin memakan buah mangga di malam hari ini (terasa sudah tak tahan aku memutuskan keluar dengan memberanikan diri).
***
Braaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkk…
Banyak motor dan mobil berhenti dalam sekejab…
Aku tak tau mulai banyak orang mengelilingiku…
Darah mengucur deras di jalan…
Mataku mulai tertutup dengan lembutnya bersama malaikat kecilku…
Ku titipkan senyum dan rindu di setiap sajak lembaran kertas putih yang ku tulis untuk mas Fauzan. Bahwa aku sangat menyayanginya bersama malaikat yang slalu menemaniku di saat kepergianmu yang tak membawa kabar untukku.
***
Mas fauzan mendapat kabar dari pihak rumah sakit, dengan kabar ketiadaanku dan ketiadaan malaikat kecilku (ku lihat dalam bayang dan angan mas Fauzan meneteskan air mata dia sangat syok dan kaget mendengar kabar bahwa aku mengandung)…
Dengan sekejab senyum dan rinduku tak ada kabar…(apakah kamu merindukanku mas selama ini, kamu tak jua enggan mengirim kabar untuk diriku)…
Bahwa aku tak tau kepergiaanya selama ini, mas Fauzan di jodohkan dengan Laila wanita di desanya dengan pilihan ibu mertuaku (dengan alasan aku tak bisa memberi keturunan), tanpa ada kabar untuk memberitahuku terlebih dahulu (seakan kepercayaan yang slalu ku pegang hancur dengan sekejab, mengapa dirimu tak menolak).
***