Sewindu Tanpa Guru Bangsa

Share :

Sewindu Tanpa Guru Bangsa

Oleh :

Akhmad Syarief Kurniawan

(Wakil Ketua PC Ansor Kabupaten Lampung Tengah)

Sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat dirindukan oleh semua kalangan lapisan masyarakat, tidak hanya keluarga besar Nahdlatul Ulama (nahdliyyin) saja, bahkan komunitas non muslim pun sangat merindukan sosok Gus Dur.

Bangsa Indonesia khususnya bahkan dunia pada umumnya kehilangan sosok Gus Dur, tak terasa tahun ini telah memasuki Sewindu (delapan) tahun, sang Guru Bangsa itu meninggalkan kita.

Bagi Eman Hermawan, salah satu aktivis muda Nahdlatul Ulama sekaligus anggota dewan pendiri LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta, ada sembilan alasan mengapa kiai-kiai tetap bersama Gus Dur, (2007 : 9 – 41). Pertama, Gus Dur adalah titisan kiai besar dan penguasa Jawa. Ayahnya KH Ahmad Wahid Hasyim adalah putra KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri Nahdlatul Ulama. Ibunya Ny Solichah, adalah putri KH Bisri Syansuri, seorang pendiri Nahdlatul Ulama bersama KH Muhammad Hasyim Asy’ari.

Garis keturunan kakek dan nenek Gus Dur, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan istrinya  Ny Nafiqoh bertemu pada Lembu Peteng (Brawijaya V), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir (Sultan Pajang, 1569 – 1587), dan dari pihak ibu melalui Ki Ageng Tarub. Darah kiai dan penguasa besar benar-benar mengalir dalam sosok Gus Dur.

Kedua, Gus Dur adalah pewaris ideologi pendiri Nahdlatul Ulama dan pendiri Republik. Suatu garis keturunan yang tidak dimiliki oleh tokoh Indonesia manapun. Kakeknya, KH Muhammad Hasyim Asy’ari adalah kiai utama pendiri Nahdlatul Ulama. Sedangkan, ayahnya KH Ahmad Wahid Hasyim adalah tokoh pendiri Republik Indonesia (founding father).

Bagi KH Ahmad Wahid Hasyim, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sah secara fiqih dan karenanya sudah final. Tidak perlu lagi dipertentangkan antara Islam dan Pancasila, asas Islam dan asas Pancasila.

KH Ahmad Wahid Hasyim adalah tokoh yang berperan besar dalam mencari solusi kepentingan nasional ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta menjadi sumber persoalan antara kalangan Islam dan masyarakat luas. KH Ahmad Wahid Hasyim-lah yang akhirnya bisa menemukan jalan keluar sehingga kebuntuan bisa diakhiri.

Ketiga, Gus Dur adalah juru bicara kosmopolitanisme tradisi pesantren. Pada masa lima belas tahun pertama Orde Baru (Orba), dunia kiai, pesantren dan Nahdlatul Ulama mengalami krisis luar biasa. Secara politik dipinggirkan. Secara ekonomi dibuat miskin karena pembangunan Orde Baru (Orba) berorientasi kepada percepatan industrialisasi, sehingga mayoritas warga Nahdlatul Ulama yang hidup dipedesaan sebagai petani dan pedagang kecil menjadi korban pembangunan, dalam perbincangan dikalangan intelektual juga diremehkan.

Sejak pertengahan 1970-an sampai awal 1990-an, Gus Dur muda menulis diberbagai media dan berbicara diberbagai seminar tentang kosmopolitanisme dunia kiai dan pandangan hidup pesantren.  Seri tulisannya tentang kiai-kiai pesantren di majalah Tempo sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an menolak anggapan kaum intelektual modern pada umumnya yang menilai kiai sebagai pihak yang identik dengan kemunduran, irasionalitas, dan kejumudan.

Gus Dur juga menulis berbagai hal tentang Nahdlatul Ulama dan tradisi berfikir serba fiqih yang menjadi ciri khas kiai sehingga pada akhirnya dunia mengakui bahwa Nahdalatul Ulama dan kiai sesungguhnya  merupakan kekuatan sangat penting dalam setiap perubahan masyarakat di Indonesia.

Keempat, Pemimpin besar yang diakui dunia. Gus Dur merupakan satu-satunya pemimpin Nahdlatul Ulama yang diakui dunia, baik wawasan keilmuannya, kepeduliannya kepada masalah demokrasi dan toleransi, serta besarnya pengaruh politik yang dimilikinya.

Pada 31 Agustus 1993, Gus Dur misalnya, menerima nobel penghargaan Ramon  sebuah “Nobel Asia” dari Pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia.

Pada akhir 1994, Gus Dur juga dipilih sebagai salah seorang Presiden WCRP (World Council for Relegion dan Peace) atau dewan dunia untuk agama dan perdamaian. Gus Dur menjadi pemimpin besar dan diakui dunia karena pemikirannya  dan gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia.

Kelima, Gus Dur adalah pembela orang tertindas dan teraniaya. Gus Dur dikenal sebagai  orang yang peduli dan selalu membela mereka yang tertindas (mustadl’afin) dan teraniaya (madzlumin). Karena itu, ia sangat dekat dengan berbagai golongan dan kelompok masyarakat dari berbagai agama, budaya, suku dan profesi.

Keenam, Gus Dur adalah pemimpin sufi, penebar silaturahim dan penjaga harmoni. Seperti dikatakan Abdul Karim ibn Hawazin al Qusyairi dalam kitabnya ar Risalah atau dikenal ar Risalah al Qusyairiyah, seorang sufi adalah mereka yang melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik.

Dalam banyak kasus, Gus Dur juga seorang sufi. Ia seorang pemaaf, meski kepada musuh yang sangat jahat sekalipun. Gus Dur sering dicaci, misalnya dituduh zionis, murtad karena membela  non muslim.

Ketujuh, Gus Dur adalah pemimpin yang tegas dan berani. Gus Dur diakui sebagai pemimpin yang tegas dan berani. Ia berani melawan otoritarianisme Presiden Soeharto, disaat para tokoh nasional berusaha terus mendukung dan mendekatinya. Salah satu contohnya adalah, Gus Dur sendirian menghadapi Soeharto justru ketika para intelektual muslim (Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia) berbaris dibelakang Soeharto.

Kedelapan, Gus Dur pembela Islam yang fanatik. Ketika sejumlah cendekiawan menyatakan bahwa kiai adalah kelompok yang paling lambat dan sukar untuk berubah melalui penelitiannya, Gus Dur membalikkan sebaliknya.

Bagi Gus Dur, justru para kiai-lah yang memprakrasai perubahan pola pikir, sikap mental, aspirasi, pandangan hidup, dan perubahan pola tingkah laku dipedesaan. Gus Dur mengajarkan kepada kita bagaimana cara membela Islam dengan cara-cara yang mulia dan bermartabat.

Kesembilan, Gus Dur penerus tradisi ulama madzhab. Ulama madzhab terdahulu mewariskan kepada kita yang sangat lengkap dengan menulis berbagai kitab kuning yang dipelajari dipesantren-pesantren.

Gus Dur merupakan penerus tradisi ulama madzhab itu dalam hal pemikirannya dan kemampuannya untuk menuangkan gagasannya dalam sebuah tulisan. Kemampuan bicaranya sama baiknya dengan kedalaman tulisannya. Guru Bangsa itu telah mewariskan puluhan buku, ratusan artikel dan makalah.

Guru Bangsa itu adalah satu-satunya orang pesantren yang jadi Presiden. Keunikan dan kelebihan Gus Dur, sehingga beliau dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk menduduki RI-1 adalah karena beliau mampu memadukan nilai-nilai kepesantrenan, kebangsaan dan kemanusiaan, bukan hanya dalam dirinya melainkan juga dalam peran – peran kenegarawanannya.

Gus Dur adalah Bapak pluralisme dan multikulturisme, kata SBY. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kepada kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan.

Tidak berlebihan jika Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah memberikan testimoni dalam novel “Sejuta Hati untuk Gus Dur, sebuah Novel dan Memorial” karya Damien Dematra, (Januari:2010),  Abdurrahman Wahid telah berangkat menghadap penciptanya untuk waktu tak terbatas. Bangsa ini telah kehilangan pahlawan humanis yang tidak mudah mencari penggantinya. Kenangan manis terhadap sahabat kita ini akan terus hidup dalam lipatan kurun yang panjang.

Kami semua rindu padamu Gus, engkau mengajarkan kami tentang demokrasi, civil society, humanisme, keadilan sosial, pribumisasi Islam, relasi agama dan negara.  Engkau guru peradaban bangsa yang mengajarkan berjuang membangun demokrasi di Indonesia tanpa boleh ada diskriminasi dan etnis tertentu terhadap etnis lain atau dari penganut agama tertentu terhadap agama lain. Wallahua’alam. Tabik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *