NU dan Spiritualitas Kebangsaan
Oleh
Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., MM Ketua PCNU Kota Bandar Lampung
NU bukan sekadar institusi atau jamiyyah wadah yang menjadi rumah besar entitas (jamaah) islam ahlusunah wal jamaah di Nusantara, lebih dari itu NU bahkan menjadi sumur atau mata air yang tak pernah kering sebagai sumber kajian dan inspirasi.
Sering para pihak di luar NU luput ketika mencoba memahami NU sebagai sebuah organisasi (jamiiyyah) maupun sebagai entitas (jamaah), karena NU punya wajah, karakter, dan identitas yang unik sekaligus multiperspektif, bahkan dalam soal soal tertentu NU punya rasionalitasnya sendiri.
Kehidupan keberagamaan (islam) di nusantara ini yang diekspresikan melalui pelbagai laku ritual keagamaan yang sangat identik bercorak keindonesiaan cukup menjadi jawaban atas pertanyaan apa sesungguhnya yang menjadi kunci dan perekat sublimasi (kemenyatuan) keislaman dan keindonesiaan.
DI negeri yang berpenduduk muslim terbanyak di jagad bumi. NU tidak hanya tampil merepresentasikan diri sebagai wajah islam yang teduh, moderat, ramah serta damai, NU juga secara ajeg menjaga kesetiaannya kepada negara, dan sikap ini mewujud dalam dimensi lahir dan bathin, dalam dimensi duniawi dan ukhrowi. Kesetiaan NU tak sebatas formalis dan serba kulit, tak sekadar simbolik dan sloganik.
Tak ada bantahan apapun, bagaimana peran ulama, pesantren dan santri di zaman pergolakan melawan penjajahan kolonialisme, karena secara entitas NU adalah Indonesia itu sendiri.
NU sadar bahwa bumi yang dipijaki, sebagai karunia Tuhan merupakan jazirah negeri yang serba warna warni, beragam, berbhineka dan plural dalam berbagai identitas baik suku, ras, agama.
Negeri serupa itu sudah pasti dalam perjalanannya akan rentan ujian, sarat cobaan, penuh rintangan. Catatan sejarah sudah sangat cukup untuk menjelaskan dinamika yang terjadi. Dus pergulatan ujian atas eksistensi NKRI ini dipastikan tidak henti dan akan terus berlangsung. Maka untuk memastikan kesetian yang ajeg tersebut NU menghadirkan corak keberagamaan yang didalamnya juga menumbuhkan serta mengajarkan nasionalisme dan cinta tanah air.
Bagi NU keberagamaan dan bernegara itu ada wilayah kesamaan keduanya akan terus menerus dihadapkan tantangan perubahan dan akan terus diuji seiring berubahnya zaman, pun keduanya bermuara pada serba kemaslahatan. Maka sikap kesetiaan atau ketaatan yang ajeg disatu sisi, juga harus menghadapi dinamika zaman atau ketidak ajegan pada sisi yang lain.
NU sudah memiliki kerangka pijakan atau prinsip untuk mengantisipasi itu, pada tataran inilah ahlusunah wal jamaah (aswaja) dihadirkan bukan sekadar sebagai paham atau idiologi tetapi juga dipahami sebagai manhajul fikri, atau paradigma berfikir, bersikap dan bertindak, atau metodologi dalam pemutusan sikap. Pada konteks inilah prinsip prinsip kemasyarakatan NU seperti tawasuth (moderat), tawazun (seimbang/tidak ekstrim), tasamuh (toleran) dan itidal (adil/tegak lurus) menjadi jalan bagi NU tidak saja sebagai manifestasi keberagamaan warga nahdliyin tapi juga menjadi rujukan bagi NU dalam menyikapi perubahan yang niscaya selalu hadir.
Pada saat yang sama NU sebagai entitas, terus menerus menghadirkan religiusitas di dalam bernegara. Cobalah takar saja, sepanjang tahun dari hari kehari, berputar dan terus bergilir dari satu titik ke titik lain di seluruh wilayah negeri, tak pernah absen oleh laku ritual yang sarat nilai spritualitas keislaman dan keindonesiaan. Di kampung A menggelar maulid, hari berikutnya di kampung B, C dan seterusnya, saat lain ada tahlilan dimana mana, ada haul berbagai tokoh berganti ganti, ada ziarah yang tak henti. Kegiatan ritual ini berlangsung terus menerus berganti ganti. memutar berulang ulang, tak putus putus, dilakukan berjamaah.
Dalam dimensi ruhiyah atau ukhrowi apa yang dilakukan oleh NU sangat penting karena tidak saja memastikan ketersambungan energi kosmik lahiriyah dan bathiniyah, pada saat yang sama menebar damai di bumi dan sekaligus menghadirkan keberkahan dari langit, keberkahan untuk personal, untuk kelompok dan untuk negeri tanah air.
Pada dimensi yang lain pengembangan tradisi baik ini, juga berimplikasi pada menguatnya ukhuwah masyarakat kita (komunalitas). Spiritualitas ritual keagamaan serupa itu memastikan bagaimana ukhuwah islamiyah, ukhuwah basariyah dan ukhuwah wathoniyah bekerja, dan inilah jaminan kesetiaan NU pada negeri, kesetiaan lahir bathin, kesetiaan dunia akherat. Dan NU tidak pernah menuntut imbalan apapun. Wallohualam bishawab.