Kajian Hadits Tentang Niat, Awali Kegiatan Perdana Pengajian Al Ukhuwah MUI Lampung

Share :

Bandar Lampung: Niat memegang peranan yang sangat penting dalam mengawali sebuah pekerjaan. Apalagi pekerjaan tersebut terkait dengan ibadah. Hal ini karena fungsi niat adalah untuk membedakan antara jenis ibadah satu dengan ibadah lainnya.

Selain itu niat juga dapat membedakan sebuah ibadah dengan kebiasaan. Sebuah kebiasaan bisa menjadi sebuah ibadah tatkala dilakukan dengan niat yang benar.

Demikian dijelaskan oleh Anggota Komisi Fatwa MUI Provinsi Lampung Dr. H. Abdul Malik Ghozali, Lc., MA saat menjadi Pemateri pada kegiatan perdana Pengajian Al Ukhuwah MUI Provinsi Lampung di Masjid Nurul Ulum Islamic Center Rajabasa Bandarlampung, Ahad (30/7/17).

Pada kegiatan yang diagendakan dilaksanakan pada Ahad terakhir setiap bulannya itu Dosen Pascasarjana UIN Lampung ini memberikan kajian hadits tentang niat yang sangat masyhur yaitu “Innamal A’maalu Binniat” bahwa suatu pekerjaan tergantung dengan niatnya.

“Lalu apa itu niat?” tanyanya kepada Jamaah pengajian yang berasal dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa, Santri, Ibu-ibu Muslimat dan juga dihadiri oleh Ketua Umum MUI Lampung beserta jajaran Pengurus.

Menurutnya niat adalah menyengaja melakukan suatu pekerjaan yang diiikuti oleh pekerjaan itu sendiri. Jika niat mengerjakan sesuatu tidak tepat dengan pekerjaannya bisa jadi ibadah atau pekerjaan yang dilakukan tidak diterima dan tidak dihitung sebagai sebuah ibadah.

Hadits ini menurutnya merupakan salah satu 4 hadits yang shohih karena telah memenuhi syarat ketentuan hadits dari sanad, matan dan perawinya. Ada beberapa syarat sebuah hadits sehingga bisa dikatakan shohih diantaranya sanad (jalur periwatannya) bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.

“Para perawi juga harus memiliki kualitas dalam hal ini kesolehannya diakui,” katanya seraya menjelaskan beberapa kisah yang membuat sebuah hadits diragukan kesahihannya seperti karena perawinya makan dengan berdiri.

Selain itu perawi sebuah hadits harus cerdas dan tidak pelupa. “Hadits yang diriwayatkan juga harus tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadits lainnya. Ketika ada pertentangan maka hadits tersebut harus digugurkan,” tegasnya. (Muhmmad Faizin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *