Benarkah Amalan Puasa Hanya untuk Allah Swt

Share :

Nindia Puspitasari

Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Swt berfirman kecuali, amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah)

Setiap kewajiban ibadah harus dilakukan setulus mungkin dengan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah Swt. Begitu pula dengan kewajiban berpuasa, yang jika dilihat dari hadist di atas telah mengindikasikan bahwasanya memang benar berpuasa itu hanyalah untuk Allah Swt. Hadist tersebut dengan terang menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.

Amalan puasa tidak dilipatgandakan sebatas sepuluh kebaikan atau tujuh ratus kebaikan saja, melainkan untuk amalan puasa ini tidak dibatasi lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah Swt hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangannya. Kenapa bisa demikian ? Ibnu Rajab Alhambali mengatakan “Karna orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran”. Dan mengenai ganjaran orang yang bersabar ini, Allah Swt berfirman ; “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS. Az-Zumar : 10)”

Kemudian, kenapa Allah Swt menyandarkan amalan puasa hanya untuk-Nya ? (Hanya untuk Allah ?), sebab puasa adalah rahasia antara seseorang hamba dengan Rabbnya yang tidak tampak dalam lisan maupun gerakan perbuatan sehingga tidak ada pula orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa ini berasal dari niat dalam hati, hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat yang dapat membatalkan puasa. Hakikat puasa tidak hanya sekedar mengosongkan perut dan menahan diri dari syahwat kelamin, tetapi juga mengendalikan hati, pikiran dan seluruh anggota tubuh.

Hanya untuk Allah, bermakna bahwa amalan puasa termasuk ibadah yang paling Allah Swt cinta dan paling mulia di sisi-Nya. Dengan berpuasa kita mengharap ridha dan ampunan dari Allah Swt meski semua hikmahnya kembali pada diri masing-masing. Inilah letak perbedaan keistimewaan puasa, sholat, zakat dan ibadah lainnya. Sholat hikmahnya kembali pada diri sendiri, zakat hanya dirasakan orang lain. Sementara untuk puasa istimewa di hadapan Allah Swt, karena memiliki dimensi timbal balik yang tidak saja dirasakan sendiri tetapi juga pengaruhnya dalam membina kepedulian sosial.

Menghayati hikmah amalan puasa, tidak hanya berhenti sebatas menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Amalan puasa juga memberi isyarat pentingnya melanjutkan kesucian hati dengan turut merasakan penderitaan orang lain dalam kehidupan sosial. Ketika berpuasa, kesucian hati seseorang menjadi tidak berguna sama sekali jika ia tidak memiliki kepedulian kepada orang lain yang hidup di sekitarnya.

Seseorang dapat disebut manusiawi dan berprikemanusiaan manakala ia memiliki kesadaran penuh dan tulus untuk menjadi bagian dari yang lain. Sebagaimana pepatah; “Senasib sepenanggungan, duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi”. Inilah corak kehidupan seorang muslim. Penderitaan orang lain akan dirasakan oleh dirinya pula. Ibarat anggota tubuh, rasa sakit yang menimpa salah satunya, dirasakan oleh semuanya.

Amalan puasa menjadi upaya menghadirkan Allah Swt dalam diri. Tidak ada yang luput satu pun perbuatan manusia dari pengawasan Allah Swt. Hal ini mendidik kita untuk selalu memurnikan keikhlasan hanya untuk Allah Swt. Akhirnya, barangsiapa  melakukan sesuatu yang istimewa pada waktu yang istimewa seperti berpuasa di bulan Ramadhan ini, niscaya dia akan diperlakukan istimewa pula oleh Allah Swt. Kita perlu mengistimewakan bulan Ramadhan apabila kita ingin mendapatkan efek-efek hikmah yang istimewa. Wallahu A’lam Bishawab

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *