Dr. H. Khairuddin Tahmid, M.H
Ketua Umum MUI Lampung
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah: 168).”
Pemaknaan halal dimaksudkan sebagai sesuatu yang boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi menurut hukum Islam. Sedangkan thoyyib bermakna baik, yang mencakup keselamatan, kesehatan, lingkungan, keadilan, serta keseimbangan alam. Istilah halal sejatinya hanya dimiliki oleh ajaran Islam. Makna kata halal, selama ini lebih sering dihubungkan dengan makanan dan minuman. Padahal, kata halal memiliki makna yang luas, mencakup segala hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Singkat kata, makna halal merupakan suatu gaya hidup atau life style. Dengan kata lain halal life style dapat diterjemahkan dengan gaya hidup halal.
Halal adalah brand (merk) dan identik dengan kebaikan, sehingga sejumlah negara Asia yang sebagian besar penduduknya non Muslim, seperti Thailand, Jepang, Korea dan Australia tidak ragu mengembangkan halal tourism (pariwisata) sebagai brand.. Bahkan mereka memiliki panduan wisata Muslim untuk menunjukkan pelayanan yang lebih baik.
Adapun yang dimaksud gaya hidup yakni mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan cakupan halal dapat diperluas ruang lingkupnya tidak hanya menyangkut makanan dan minuman melainkan juga melampaui bahkan merefleksikan semua aspek dalam kehidupan kita.
Mengkonsumsi produk halal, yang terbayang adalah bahwa apapun yang kita makan harus barang yang murni, bersih secara higienis, menyehatkan, baik atau toyyib dan dapat dibenarkan secara moral, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 168 di atas. Dalam konteks halal sebagai gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan atau aktivitas yang halal, minat dan kecenderungannya dalam membelanjakan uangnya untuk makan, minum, dan kesenangan lainnya secara halal dan bagaimana mengalokasikan waktu juga secara halal.
Label halal memang merupakan tindakan duniawi dan ukhrawi, bertujuan untuk menjamin bahwa yang dimakan sesuai dengan syariat Islam. Serta merupakan upaya perlindungan kepada masyarakat Muslim. Label halal merupakan tindakan keagamaan.
Pemerintah mempunyai kewajiban mengadakan sebuah prosedur dan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan produk halal. Peranan label halal sama dengan baju yang dipakai manusia. Ia dapat membentuk dan mencantumkan citra diri pemakainya. Setiap keluarga Muslim sudah semestinya membiasakan diri memakan makanan halal dengan cara memperhatikan ada atau tidak adanya label halal pada kemasan makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetik.
Perkembangan dunia, saat ini tengah memutar jam kehidupan menjadi tren global yang menarik, yakni fenomena tren industri halal dunia. Terminologi halal tidak lagi menjadi monopoli hak paten Islam. Halal, hari ini sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat dunia. Banyak negara di berbagai belahan dunia tengah berupaya menerapkan sistem halal life style dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata yang berupaya menerapkan halal life style tidak hanya dari kalangan masyarakat negara Muslim saja yang konon selama ini memiliki jargon halal life style. Tetapi negara-negara yang berpenduduk mayoritas non Muslim juga tengah berupaya keras ingin menerapkan halal life style dalam kehidupan mereka. Kini, kesadaran masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan halal semakin meningkat. Pemahamannya tidak lagi hanya dalam hal makanan dan minuman, namun kini sudah berkembang lebih luas lagi.
Setidaknya, ada sepuluh sektor gaya hidup halal yang memberikan konstribusi besar dalam perekonomian dunia, yaitu makanan dan minuman, keuangan, biro perjalanan, kosmetik, pendidikan, mode, rekreasi, farmasi, kesehatan, serta seni dan budaya. Kenyataan ini menunjukkan, industri halal berkembang pesat di dunia.
Bisnis yang berbasis pada sistem ekonomi Islam itu bukan hanya dikembangkan oleh negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga negara-negara yang sebagian penduduknya non-Muslim. Industri halal dianggap sebagai peluang besar yang menjadi kebutuhan dan gaya hidup (halal life style).
Sekalipun, kesadaran masyarakat dunia terhadap suatu yang halal terus meningkat, namun sayangnya, Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia belum menjadikan industri halal sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Peringkat pertama diduduki Malaysia, kemudian berturut-turut, Uni Emirat Arab, Bahrain, Arab Saudi, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Yordania dan Indonesia.
Sejatinya, beberapa ayat al-Qur’an telah menegaskan soal eksistensi industri halal ini, di antaranya, “Katakanlah: berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (Q.S. al-An’am: 11). Demikian pentingnya melakukan perjalanan di muka bumi ini (berwisata) dengan tujuan mencari pelajaran dan hikmah. Oleh karena, masih diperlukan penguatan legalitas. Allah SWT menyebutkan kembali dalam ayat yang berbeda, “Katakanlah: berjalanlah kamu (di muka bumi), lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa”. (Q.S. an-Naml: 69).
Berdasarkan dua ayat di atas, menunjukkan bahwa substansi makna ayat 11 surah al-An’am adalah bahwa Allah SWT menganjurkan manusia agar melakukan perjalanan di muka bumi ini guna menemukan jawaban dan bukti bahwa orang-orang yang mendustakan kebenaran Tuhan ditimpa azab yang pedih. Sementara pada ayat berikutnya, ayat 69 surat an-Naml menunjukkan bahwa Allah menganjurkan manusia untuk melakukan perjalanan guna menemukan jawaban dan bukti bahwa orang-orang yang berdosa berakhir dengan malang. Dengan bahasa lain, pariwisata atau berwisata sesungguhnya memiliki tujuan spiritual, yakni untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT dan mengakui kebesaran-Nya.
Tidak hanya untuk mencari hikmah kehidupan, pariwisata dianjurkan oleh Islam dengan tujuan untuk mengagumi keindahan alam, supaya jiwa menjadi tenang. Wisata dalam Islam adalah sebuah safar atau traveling untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati keindahan alam untuk menguatkan keimanan dan memotivasi diri untuk terus menunaikan kewajiban hidup. Refresing sangat diperlukan oleh jiwa agar selalu tumbuh semangat baru. Pendek kata, wisata syari’ah tidak sekedar memberikan pemenuhan kesenangan ragawi, tetapi juga memberikan ketenangan dan kebahagiaan batin. Hal ini karena, dalam wisata syari’ah juga terkandung nilai-nilai Islam yang harus diperhatikan sebagai salah satu instrumen penting pengembangan wisata syari’ah. Contoh kongkritnya, semua produk yang dikosumsi sudah bersertifikasi halal, tidak boleh merusak lingkungan, memperhatikan kebersihan dan kedisiplinan, termasuk disiplin dalam beribadah dalam perjalanan.
Pariwisata syariah sejatinya sudah lama berkembang di Indonesia. Hal itu dapat ditelusuri sejak berjalannya paket-paket wisata religi, wisata ziarah, dan wisata spiritual. Dalam konteks wisata relegius terkait erat dengan agama sebagai motif seseorang dalam melakukan perjalanan rekreasi atau melancong. Tentu saja, setiap orang memiliki motif yang berbeda dalam melakukan perjalanan rekreasi tersebut. Apabila niat dalam hatinya terbesit tujuan-tujuan Islami yang diridhoi Allah dan sejalan dengan agama, maka perjalanannya tersebut dapat disebut wisata relegius. Apalagi objek-objek yang dituju adalah objek-objek yang bersejarah dan berkaitan erat dengan keislaman.
Masyarakat Indonesia selama ini lebih mengenal istilah wisata relegius (untuk kalangan Muslim) dan wisata rohani (biasanya untuk kalangan non Muslim). Wisata rohani biasa dijalankan oleh umat non Muslim, dengan mengunjungi objek-objek bersejarah agama mereka seperti rumah ibadah, makam orang-orang yang dianggap suci oleh mereka, serta dengan menapaki jejak nilai sejarah dengan maksud untuk lebih mendalami nilai agama meraka.
Ada kalangan yang lebih suka menyebut dengan nama ‘wisata Islam’ atau ‘wisata Muslim’. Wisata Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep wisata religius. Dasar, tujuan, dan niatnya tidak lain sesuai dengan yang digariskan oleh prinsip maupun ajaran Islam. Sedangkan wisata Muslim dalam konteks pengembangan wisata, secara keseluruhan, lebih merujuk pada subjek, yakni pelaku (orang Islam). Jika konsep ini yang dipakai, maka akan terbentur pada pembatasan objek, yakni pelakunya yang beragama Islam. Karena itulah, istilah wisata Muslim kurang tepat disebabkan alasan-alasan yang disebutkan di atas, selain dari sisi objek wisata yang sifatnya universal.
Sementara itu ada pula yang berpendapat, wisata halal dapat mewadahi atau mewakili apa yang dimaksud dengan wisata Islam tersebut. Namun, istilahnya pun kurang tepat karena adanya soal objek, yakni halal, yang berarti ada lawannya, yakni haram. Dengan konsep halal haram, tujuan dan target yang ingin didapat menarik ibroh, hikmah serta nilai sejarah yang besar dari keagungan ciptaan Allah, menjadi kurang mengena.
Setelah diurai wisata religi, wisata rohani, wisata Muslim dan wisata halal, maka dalam konteks pengembangan pariwisata secara umum yang terkait langsung dengan nilai dan prinsip Islam, istilah yang lebih tepat digunakan adalah ‘wisata syariah’. Dalam kehidupan beragama, Islam membagi tiga hal, yakni tauhid, syariah, dan akhlak. Jika tauhid lebih menitik beratkan pada kehidupan peribadatan makhluk kepada al-kholiq-Nya (Allah), akhlak memberikan prioritas atauran pada kehidupan sosial (muamalah), maka syari’ah mengatur pada alur kehidupan secara lebih luas, termasuk di dalamnya masalah halal/haram, dan interaksi sosial (muamalah), baik hubungan internal sesama Muslim, hubungan antar penganut agama, maupun dalam hubungan antara umat beragama dengan negara.
Wisata syariah dapat didefinisikan sebagai upaya perjalanan atau rekreasi untuk mencari kebahagiaan yang tidak bertentangan dan menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam, serta sejak awal diniatkan untuk mengagungi kebesaran ciptaan Allah. Selain itu, perjalanan dengan tujuan tertentu juga diniatkan sebagai sebuah perjalanan syiar, setidaknya dengan melafalkan ayat-ayat suci, atau bertasbih mengagumi keindahan alam sekitar, dan amalan positif lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam serta memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan sekitar.
Tegasnya, bukan saja target dan tujuan wisata syariah tercapai, tapi juga menunjukkan, khususnya pada kalangan non Muslim, bahwa syariat Islam memiliki prinsip-prinsip yang universal dan menentramkan banyak kalangan. Syariat Islam tidaklah seperti anggapan sementara pihak, terutama kalangan dunia Barat yang menggambarkan sebagai hukum yang kejam dan tidak manusiawi. Justru syariat Islam melindungi dan memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Wisata syariah sesungguhnya dapat dikatakan sebagai bentuk lain dakwah soft dan modern melalui produk-produk halal dan tindakan nyata yang sesuai dengan syariat Islam. Dakwah soft ini penting karena langsung dibuktikan dengan tindakan dan contoh nyata. Selain itu, produk halal sangat penting bukan hanya persoalan label, tapi yang jauh lebih penting adalah adanya jaminan keselamatan dan kesehatan terhadap produk yang kita konsumsi.
Life style dalam bidang kuliner, di mana kini banyak permintaan sertifikasi halal yang legalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sejak tanggal 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan kosmetika (LPPOM). Tugas LPPOM MUI adalah menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk seperti pangan, obat–obatan dan produk kosmetika aman dikonsumsi. Baik dari segi kesehatan maupun ajaran agama Islam, sehingga umat Islam akan mendapat ketenangan dalam mengonsumsi produk-produk tersebut.
Posisi LPPOM MUI diperkuat dengan ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.
LPPOM MUI merupakan lembaga di bawah MUI yang salah satu tugasnya melakukan pemeriksaan dan pengkajian halal. Selain LPPOM MUI, MUI juga memiliki lembaga lain, yakni Komisi Fatwa MUI yang menetapkan fatwa berdasarkan hasil pemeriksaan LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa. Tugas auditor LPPOM MUI sesuai dengan tupoksinya adalah memeriksa produk halal yang merupakan kepanjangan tangan (wakil sekaligus pelaksana tugas ulama) dalam mengkaji, menganalisis titik kritis kehalalan suatu produk dengan berbasis sains dan teknologi. Hasil pengkajian dan analisis ini yang kemudian dilaporkan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikaji dalam suatu sidang fatwa berdasarkan pertimbangan syar’i. Fatwa produk halal ini dinyatakan dalam bentuk sertifikat halal (fatwa tertulis).
Pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI senantiasa bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia.
Kegiatan sertifikasi halal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jaminan produk halal. Proses sertifikasi halal dilakukan dengan cara penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk pangan serta proses produksinya telah terjamin halal dan konsisten atau tidak. Hasil sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal bila telah memenuhi syarat yaitu pernyataan halal atas suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan berdasarkan hasil audit dan kajian fatwa. Adanya sertifikat halal dimaksudkan agar konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal.
Berkembang pula life style di bidang fashion, di mana semakin banyak model hijab, jilbab dan busana Muslim/Muslimah yang akhir-akhir ini semakin menjadi tren kehidupan. Di bidang akomodasi dan perhotelan juga berkembang ke arah yang baru, yakni munculnya hotel-hotel berlabel syariah, di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Lampung.
Sesungguhnya jika kita mampu menerapkan konteks halal dalam segala aktivitas kehidupan, maka akan sangat banyak manfaat yang akan diperoleh. Pertama, membawa ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dapat menjaga kesehatan jasmani maupun rohani. Ketiga, mendapat perlindungan dari Allah. Keempat, semakin teguhnya iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kelima, tercermin kepribadian yang jujur dan sikap apa adanya dalam hidup. Keenam, rezeki yang diperolehnya mendapat barokah dunia akhirat. Wallahu A’lam.