Penguatan Ajaran Aswaja di Tengah Pertarungan Idiologi Trans-Nasional
Dr. KH. Khairuddin Tahmid, MH
Ketua Umum MUI Lampung
Pemahaman agama yang hanya didasarkan pada manthuq an-nash saja akan menimbulkan kekakuan dalam beragama. Karena agama Islam diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai agama terakhir, sehingga apapun peristiwa dan permasalahan yang muncul seiring dengan perkembangan zaman dapat dicarikan jawabannya dalam agama. Dalil/nash keagamaan (nushush syar’iyah) terbatas pada ayat quraniyah dan sunnah nabawiyah, sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga apabila pemahaman agama didasarkan hanya pada tekstual dalil (munthuq an-nash) saja maka boleh jadi agama tidak akan bisa menjawab permasalahan yang muncul, karena tidak semuanya termaktub secara jelas di dalam dalil/nash al-Quran dan Hadis. Suatu hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang muncul hanya terpaku dengan tekstual dalil al-Quran dan hadis, karena sangat terbatas sedangkan persoalan yang terjadi terus menerus berkembang. Sebagaimana ungkapan para ulama:
لأَنَّ النُّصُوْصَ مَحْدُوْدَةٌ وَلَكِنَّ اْلحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ غَيْرُ مَحْدُوْدَةٍ أَوْ لِأَنَّ النُّصُوْصَ تَتَنَاهِى وَلَكِنَّ اْلحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ لَا تَتَنَاهِى.
“Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang muncul tidaklah terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”
Ajaran agama yang tidak disebutkan dalilnya secara eksplisit di dalam al-Quran dan Hadis biasanya dirumuskan melalui tata cara ijtihad. Imam al-Haramain, seorang ulama besar mazhab Syafi’iyah menyatakan:
فَإِنَّ مَعْظَم الشَّرِيْعَةِ صَدْرٌ مِنَ اْلإِجْتِهَادِ
“Sesungguhnya sebagian besar dari ajaran agama (syari’ah) berasal dari hasil ijtihad”
Cara memahami nash yang hanya menggunakan pendekatan tekstual dan parsial inilah yang menyebabkan para pelaku tekstualis bersikap eklusif dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hidts.
- Aswaja dan Paradigma Islam Wasathiyah
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”(QS.Al-Isra’:29).
Dalam firman-Nya yang lain :
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا“
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110).
Sementara dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat:
وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِى
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
- Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas;
- Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara qauli.
Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali;
- Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna;
- Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa;
- Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir;
- Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa);
- Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut;
- Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah;
- Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU;
- Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
- Beberapa Qoidah Penuntun
Paradigma Islam Wasathiyah harus bisa menjadi faham keagamaan mainstream umat Islam di Indonesia. Hal ini dipandang penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan keislaman di negeri ini ke kutub ekstrim, baik yang ke kiri ataupun yang ke kanan. Pergeseran ke kutub kiri memunculkan gerakan liberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama. Sedangkan pergeseran ke kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama.
Pergerakan kedua kutub ini disadari atau tidak, diakui atau tidak, merupakan gambaran pertarungan ideologi global yang menerjang Indonesia. Dampaknya pertarungan tersebut telah memporak-porandakan bangunan keislaman yang selama ini telah dibangun oleh para ulama terdahulu di negeri ini.
Islam wasathiyah sebenarnya merupakan ajaran ulama nusantara yang selama ini dianut dan diamalkan oleh umat Islam di Indonesia. Namun setelah terjadinya revolusi teknologi informasi, di mana semua faham keagamaan bisa diakses dengan mudah dan bebas oleh masyarakat, maka mulailah ajaran keagamaan yang awalnya tidak dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai masuk dan diajarkan di Indonesia, termasuk ajaran keagamaan yang radikal yang bisa membimbing pemeluknya melakukan tindakan teror. Karena itu merupakan hal yang sangat penting untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran ulama nusantara. Antara lain dengan mengembalikan pemahaman Islam wasathiyah.
Yang dimaksud Islam wasathiyah (Islam tengahan, moderat) ialah pemahaman ajaran Islam yang menggunakan kaidah-kaidah sbb; pertama, santun, tidak keras dan tidak radikal (لَيِّنًا لَا فَظًّا وَلَا غَلِيْظًا), kedua, kesukarelaan, tidak memaksa dan tidak mengintimidasi (تَطَوُّعِيًا لَا إِكْرَاهًا وَلَا اِجْبَارًا), ketiga, tolerans, tidak egois dan tidak fanatis (تَسَامُحِيًّا لَا أَنَانِيًّا وَلَا تَعَاصُبِيًّا). Prinsip dalam membangun hubungan antara muslim dan non muslim harus menggunakan kaidah (لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ), artinya : bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sedangkan prinsip dalam membangun hubungan dengan sesama muslim harus menggunakan kaidah (لَنَا مَذْهَبُنَا وَلَكُمْ مَذْهَبُكُمْ), artinya : bagi kami adalah sesuai madzhab kami, dan bagi kamu adalah sesuai madzhab kamu. Keempat, saling mencintai, tidak saling bermusuhan dan membenci (تَوَدُّدِيًّا لَا تَخَاصُمِيًّا وَلَا تَبَاغُضِيًّا). Dalam hal ini perlu dikembangkan persaudaraan antar sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan antar sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah).
Paradigma yang dikembangkan mengacu pada beberapa qoidah;
المخافضةعلى القديم الصالح
Pemeliharaan terhadap nilai-nilai terdahulu yang baik.
والاخدبالجديدالاصلح
Mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
الإصلاح إلى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلح
“Melakukan perbaikan umat pada kondisi yang lebih baik, semakin lebih baik, dan semakin lebih baik lagi”.
تقديم الاصلح الاصلح
Memprioritaskan apa yang lebih baik atas apa yang baik.
Bandar Lampung, 29 April 2017