Bandar Lampung: “Perekrutan (Recruitment) antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya. Hanya saja belakangan ini, wanita yang banyak bersedia untuk menjadi eksekutor,” demikian kata Nasir Abbas, seorang mantan panglima teroris menjelaskan kepada peserta Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus dalam Mencegah Fahan Radikal Terorisme yang digelar di Gedung Rektorat Lantai 2, Universitas Lampung, Rabu (8/3/2017).
Lebih jauh ia memaparkan para Mahasiswa/i kebanyakan terjebak dalam dunia hitam dan putih, kalau tidak ini ya begitu dan seterusnya. Menjadi mahasiswa itu harus berfikir secara realistis, kritis, semua itu harus dinilai dengan penuh penelitian, pelajaran, hindari dari mudah percaya dengan selebaran-selebaran, orang yang tidak kita kenal, atau siapa saja maka yang paling penting adalah bertabayyun (klarifikasi). Jika tidak mau tabayyun, ya akhirnya terjebak dalam keberpihakan (fanatisme). Berguru jangan hanya dengan satu guru, apalagi di kampus kan banyak guru. Kenapa kita malah membatasi diri dengan tidak mau membaca buku karya orang lain atau kitab-kitab lain selain dari yang dianjurkan oleh yang dianggap sebagai guru kita. Jangan dong, jangan kita membatasi diri kita, baca saja semuanya, bahkan kita membaca kitab agama lain atau mempelajari agama lain juga tidak masalah. Semua itu untuk menambah pengetahuan kita. Kalau kita membatasi diri, maka kita akan menjadi fanatik. Itu yang berbahaya.
“Orang bisa direkrut awalnya dibawa untuk sama dalam persepsi. Persepsi tentang kebencian, permusuhan, dibawa untuk hanya satu kawan, satu lawan. Contoh secara hitam putih, adalah kalau ada pertanyaan, pilih nabi Muhammad apa pilih jokowi? Pilih KUHP apa pilih al-Qur’an?, tentu anak-anak muda akan lebih memilih mencari aman, yaitu dengan memilih Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Tapi semua itu adalah pertanyaan jebakan,” paparnya.
Ia menjelaskan ciri-ciri orang yang sudah terpengaruh oleh paham radikalisme diantaranya adalah, mudah mengkafirkan orang lain, dia memiliki sifat eksklusif, merasa kelompoknya paling benar sementara yang lain dianggap kafir atau tidak benar. Kedua adalah menutup celah perbedaan, gak peduli dengan pendapat yang berbeda, serta membatasi apa yang dibaca. Tidak mau makan hewan sembelihan orang lain, karena khawatir dan ragu dengan aqidah orang yang menyembelih karena tidak menyaksikannya secara langsung. Tidak mau sholat di masjid pemerintah, karena dianggap sebagai masjid diror (masjid yang membahayakan). Kemudian adanya wanita-wanita yang menikah tanpa ada walinya, ia mengkafirkan ayahnya dikarenakan sudah tidak sepemahaman/seaqidah dengannya, sehingga bersedia menikah secara sirri dengan sesama kelompok tersebut. (Dewi Yulianti)